Selasa 18 Nov 2014 06:00 WIB

Patriotisme

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Syafii Maarif

Menurut Wikipedia, patriotisme sebagai kata benda abstrak baru muncul di Eropa awal abad ke-18. Hulu konsep patriotisme bisa dilacak kepada bahasa Latin abad ke-6 patriota atau bahasa Yunani kuno patriotes yang bermakna warga senegeri atau sebangsa. Maka patriotisme tidak lain keterikatan kultural kepada sebuah tanah air atau pengabdian kepada sebuah negeri dengan penuh cinta.

Jika nasionalisme merupakan sebuah konsep atau ideologi politik radikal yang bertujuan untuk mengubah keadaan suatu bangsa kepada sesuatu yang dibayangkan lebih baik, maka patriotisme lebih bersifat konsep kultural, tetapi tidak bisa dipisahkan dengan nasionalisme. Seorang nasionalis pastilah seorang patriot, tetapi seorang patriot belum tentu seorang nasionalis.

Di kalangan kaum nasionalis Muslim Indonesia, telah lama dikenal diktum hubbu 'l-watan min al-iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman), sebagaimana pernah saya dengar dari almarhum Roeslan Abdoelgani. Ini bukti bahwa umat Islam Indonesia adalah patriot dan sekaligus nasionalis.

Saya tidak tahu dari mana sumbernya ungkapan ini, tetapi tentunya bukan dari literatur hadis. Adalah sebuah fakta keras sejarah, patriotisme dan nasionalisme umat Islam nusantara untuk melawan pihak asing, jauh sebelum nama Indonesia muncul, sudah dirasakan sangat tinggi, sekalipun cakupannya lebih terbatas kepada satu suku bangsa atau kerajaan tertentu. Barulah pada 1920-an berkat kerja keras Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda, kemudian disusul oleh Sumpah Pemuda 1928 di Tanah Air, gagasan keindonesiaan semakin mengental dan mengarah kepada cita-cita kemerdekaan.

Bemula dari gerakan kultural seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain, lahirlah kemudian gerakan politik dalam bentuk partai-partai, sementara gerakan kultural terus saja berlanjut dan bertambah jumlahnya, seperti Taman Siswa (1922) dan Nahdlatul Ulama (1926). Memang ada pengecualian, di awal dasawarsa kedua abad ke-20 (1911), telah lahir sebuah partai radikal Indische Partij dengan trio pemimpinnya: EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Tetapi, partai ini hanya bertahan sampai 1913 karena tidak mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial, kemudian tokoh-tokohnya ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda.

Kembali kepada patriotisme. Seorang patriot sejati pasti tidak akan melukai bangsa dan tanah airnya dengan jalan merusak lingkungan, melakukan korupsi, mempermainkan pajak, berpolitik dengan niat busuk, dan berbagai bentuk perbuatan amoral yang lain. Hanyalah patriot gadungan yang sampai hati membenamkan diri dalam kelakuan kumuh itu. Dalam tradisi politik Eropa, khususnya Inggris, kita mengenal istilah: right or wrong my country (baik atau buruk tetaplah negeriku) dan king can do no wrong (raja/penguasa tidak dapat berbuat salah).

Dalam tradisi politik umat Islam sebagaimana terbaca dalam karya Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah (halaman 139) juga ada diktum yang tidak kurang seramnya: Inna 'l-Sultan dillu Allah fi 'l-ard, sittuna sanat min imam jair aslah min lailatin. (Sesungguhnya sultan/penguasa adalah bayangan Tuhan di muka bumi, 60 tahun di bawah pemerintahan sultan yang jahat lebih baik daripada semalam tanpa sultan).

Bagi saya ungkapan-ungkapan yang membela penguasa yang jahat dan culas tidaklah layak bagi dunia beradab. Apalagi dari sisi pandangan Alquran, seorang patriot-nasionalis tidak hanya bertugas memerintahkan yang baik-baik (al-ma'ruf), tetapi juga sekaligus mencegah kemungkaran (al-munkar) dengan segala daya dan upaya. Sebab, tanpa itu semua, sebuah masyarakat yang hendak ditegakkan atas landasan nilai-nilai moral dan etika menjadi tidak mungkin. Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim itu sudah lama tersesat dalam kubangan amoral yang sarat dengan kemungkaran ini.

Maka ke depan, tugas dan kewajiban utama para patriot-nasionalis adalah membebaskan bangsa dan negara ini dari kelakuan anak-anaknya yang curang dan mati rasa, sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh semua.

Pertanyaan saya: berapa persen di antara elite dan penjabat negara kita yang masih yang mendasarkan laku dan tindakannya kepada patriotisme? Boleh jadi jumlahnya semakin meredup. Bagi saya, masalah patriotisme ini menjadi sangat serius untuk ditancapkan kembali ke dalam jiwa bangsa ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement