Selasa 04 Nov 2014 06:00 WIB

Tukang Cat

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sampai Sabtu, 1 November 2014, tukang cat ini telah bekerja di rumah kami di Nogotirto, Yogyakarta, selama tiga minggu, sekalipun tidak semuanya bisa masuk penuh. Inisialnya adalah W, M, S, dan D.

Pekerjaannya sangat rapi, tertib, dan fokus. Di antara keempatnya, M adalah yang paling menarik. Bawaannya lucu dan ceria. Tubuhnya kurus, rambut panjang. Saya memanggilnya seniman.

Sepeda motor Yamaha M keluaran 1977 persis sama dengan tahun kelahirannya. Warna merah, STNK-nya sudah tidak diurus lagi. Di saat kondisi motornya masih agak baik, pernah ditangkap polisi, lalu dibayar Rp 90 ribu. Lepas.

Tetapi setelah tua renta, masih ditangkap lagi karena pelanggaran lalu lintas. Minta uang rokok. Karena tidak punya uang, polisi melepaskan begitu saja. Mungkin ada rasa iba melihat sepeda yang sudah berusia hampir 40 tahun itu. Rem tangan tidak ada, kabel-kabelnya seperti berkeliaran tak teratur, tetapi fungsional. Spionnya tanpa kaca. Katanya kecepatan tertinggi masih sekitar 60 km per jam.

Di atas sadel sepeda tua inilah M hilir mudik sebagai pekerja harian, entah untuk berapa lama lagi. Tetapi tuan dan puan harus bangga, mereka ini adalah anak-anak bangsa sebagai pekerja keras dengan penghasilan UMR (upah minimal regional).

Adapun pemberi kerja yang baik hati, pasti diberi tambahan dan bonus. M pernah bekerja di Kalimantan dan Jakarta, sekarang tidak boleh oleh mertuanya pergi terlalu jauh. Karena terlambat kawin, M baru punya anak satu. Dia memang berjanji belum akan berumah tangga sampai ibunya sembuh dari sakitnya.

Adapun W, S, dan D berpenampilan kalem tetapi kadang-kadang dengan kocak menggoda M dengan kalimat-kalimat jenaka. Kami pun tertawa bersama. Saya menikmati bergaul dengan mereka.

Pembicaraan lepas kami tidak pernah menyinggung DPR atau anggotanya yang angkat meja karena berseteru. Andaikan disinggung, mereka tampaknya tidak berminat, bikin pusing kepala saja. Apalagi ada DPR tandingan yang baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Konsentrasi mereka adalah pada pekerjaan yang ditekuninya, demi melangsungkan hidup berkeluarga. Disiplin kerja tukang cat ini demikian tinggi. Saya salut pada mereka semua.

Sejak hari-hari terakhir ini, W membawa burung tacer jawa (semacam murai) ke tempat kerja yang baru dibeli dua bulan lalu. Kicauannya yang tanpa henti menjadi hiburan bagi mereka dalam suasana panas yang menyengat.

Burung dengan warna hitam putih itu itu seperti tak mengenal susah, sekalipun terkurung dalam sangkar. Kerjanya melompat ke sana kemari sambil bernyanyi. Suaranya jauh lebih merdu dibandingkan nyanyian sumbang sebagian anggota DPR dalam suasana peradaban politiknya yang masih rendah. Kicauan burung adalah untuk hiburan pendengarnya, suara anggota DPR yang lantang tetapi culas menyakitkan telinga rakyat.

Sesekali para tukang ini saya ajak makan siang bersama dengan suguhan gulai dan satai kambing masakan Jawa yang terkenal. M tidak ikut, takut kepalanya terganggu. Bisa pening katanya. Ke warung Padang, dia mau sekali. Semuanya tidak ada yang pantang.

Makan bersama dengan para tukang ini sungguh menyenangkan. Suasananya egaliter, tanpa ada sekat sama sekali. Sebagai anak kampung, saya adalah bagian dari mereka. Tetapi, saya tidak kuat bekerja fisik seperti mereka yang tahan banting itu. Mereka mesti disapa dan disantuni dalam batas-batas kemampuan kita.

Tanpa mereka, banyak sekali keperluan hidup ini yang akan terbengkalai. Para pekerja adalah tiang ekonomi yang sangat vital bagi desa dan kota. Jika mereka bekerja dengan penuh keceriaan, itu adalah pertanda mereka senang. Panas terik seperti dibawa lalu saja, karena hatinya gembira. Maka adalah sebuah kemuliaan sekiranya bos-bos besar perusahaan menyapa para pekerjanya dengan sapaan kemanusiaan yang tulus yang dapat mempertalikan hati dengan hati. Semoga demikian!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement