Kamis 25 Sep 2014 06:00 WIB

Fukuoka Prize

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Datang ke Fukuoka untuk menerima Fukuoka Prize 2014 pada 18 September, penulis Resonansi ini mendapat berbagai kesan yang agaknya menarik diceritakan buat para pembaca. Fukuoka Prize yang sering disebut sebagai salah satu penghargaan  sangat prestisius pada tingkat internasional, telah menginjak 25 tahun sejak pertama kali diberikan pada 1990. Selama itu penerima Fukuoka Prize mencapai 99 orang dari berbagai penjuru dunia, dengan enam orang dari Indonesia: Taufik Abdullah (1991), Koentjaraningrat (1995), R.M. Soedarsono (1998), Pramoedya Ananta Toer (2000), GRAy Koes Moertiyah Pakubuwono (2012), dan penulis Resonansi ini (2014),

Selain itu, penerima Fukuoka Prize juga mencakup  akademisi terkemuka internasional yang terkait banyak dengan kajian tentang Indonesia. Mereka Clifford Geertz (1992), Benedict Anderson (2000), Anthony Reid (2002), dan James C. Scott (2010).

Fukuoka Prize 2014 diberikan kepada tiga penerima (laurates); Profesor Ezra F. Vogel, gurubesar sosiologi emeritus Harvard University yang dianugerahi grand prize; Azyumardi Azra, gurubesar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai penerima academic prize; dan Danny Young, budayawan Hong Kong) untuk arts and culture prize. Mereka dipilih Dewan Juri di antara 239 nominees dari 29 negara.

Dalam kutipan pertimbangan Dewan Juri tentang Profesor Ezra Vogel dianyatakan, gurubesar ini memberikan kontribusi besar dalam kajian mengenai perubahan ekonomi dan politik Asia—khususnya Jepang dan China—pasca Perang Dunia II. Dia merupakan pioner dalam kajian menyangkut kebangkitan negara-negara industri baru Asia. Pada saat yang sama dia dengan berbagai lingkungan akademik mengembangkan kajian sejarah hubungan internasional di Asia Timur yang mendorong penguatan saling pengertian untuk perdamaian di kawasan ini.

Sedangkan untuk Profesor Azyumardi Azra, kutipan Dewan Juri adalah bahwa yang bersangkutan adalah sejarawan terkemuka, pendidik progresif dan Muslim intelektual yang gigih memperjuangkan pemahaman moderat tentang Islam. Dia memberikan sumbangan besar bagi penciptaan masyarakat sipil multikultural dan harmonis di Indonesia. Dalam kegiatan praktisnya—yang berakar pada pemahamannya yang mendalam tentang budaya Islam, memberikan kontribusi besar pada pemahaman silang budaya dalam masyarakat internasional.

Lalu tentang Danny Yung  adalah bahwa dia telah mengabdikan diri untuk pertukaran internasional, perumusan kebijakan dan pendidikan dalam dunia seni. Pada saat yang sama dia menciptakan banyak karya seni melalui perannya sebagai sutradara, dramatis, dan dramaturgi. Kontribusinya sangat krusial dalam pengembangan seni dan budaya Asia, yang menghubungkan masyarakat berbeda di Asia dan dunia lebih luas dengan melewati batas-batas ruang dan waktu.

Dalam konteks kutipan untuk masing-masing laurates itu, terlihat dasar pemberian Fukuoka Prize yang menyatakan, Asia secara distingtif merupakan rumah dari berbagai kelompok etnis, bahasa dan budaya yang umumnya hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Di atas semuanya, budaya yang beragam itu tidak hanya menjadi pemelihara warisan sejarah dan tradisi yang panjang, tetapi merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah putus.

Namun pada era globalisasi yang mengarah pada penyeragaman budaya, kian berkembang kecemasan (sense of crisis) dalam kalangan masyarakat Asia khususnya, bahwa budaya Asia tengah dan bakal kehilangan kekayaan inheren dan sifat distingtifnya. Karena itu, menjadi sangat penting merawat, mengembangkan dan mempromosikan keragaman dan kebersamaan  budaya Asia yang menekankan harmoni dan kedamaian.

Pentingnya peran budaya, khususnya dalam menciptakan kehidupan antar-bangsa yang lebih harmonis dan damai juga ditekankan Crown Prince Kekaisaran Jepang, Pangeran Akishino. Dalam sambutan singkat pada penyerahan penghargaan Fukuoka Prize, ia memandang perlunya peningkatan saling pengertian dan respek di antara budaya masyarakat dunia yang beragam dengan karakter berbeda-beda.

Pangeran Akishino yang datang ke acara penganugerahan Fukuoka Prize dengan istrinya Kiko Kawashima Akishino bukan sekedar bangsawan, tetapi juga pemegang dua gelar PhD dalam bidang biologi. PhD pertama dia peroleh dari National University for General Studies pada awal 1996 dalam bidang taksonomi ikan. Agaknya karena ilmunya ini dan kumisnya, Pangeran Akishino dicandai sebagai Pangeran ‘cat-fish’ (ikan lele).

Dalam percakapan dengan penulis Resonansi ini ketika dia melakukan perkenalan dengan ketiga penerima Fukuoka Prize 2014, Pangeran Akishino yang memegang dua gelar PhD menceritakan bahwa ia pernah melakukan penelitian pada 1993-1994 di beberapa tempat di Indonesia tentang ‘ayam hutan’ dan ‘ayam kampung’. Berkat penelitian ini dia memperoleh gelar PhD dalam bidang pada Oktober 1996 dari Graduate University for Advanced Studies, Tokyo. Ilmu tentang burung yang masih merupakan bagian biologi disebut ornithology; dan jelas tidak banyak peneliti—khususnya warga Indonesia—yang mendalami ilmu ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement