Jumat 05 Sep 2014 16:43 WIB

Jokowi dan Budaya Malu Pejabat

Faqih
Foto: Republika/Daan
Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Mansyur Faqih

Jero Wacik menambah daftar menteri yang akhirnya masuk daftar pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jero diduga memperkaya diri dengan memanfaatkan dana operasional menteri (DOM).

Tak tanggung-tanggung, nilai harta yang dicatutnya mencapai Rp 9,9 miliar. Diperkirakan, tindakan rasuah itu telah dilakukannya sejak pertama kali menjabat sebagai menteri ESDM pada 2011.

KPK menyatakan menjerat Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat itu dengan pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 421 KUHP. Sontak, desakan agar Jero mundur pun bermunculan. Tak hanya dari posisinya sebagai pembantu presiden. Namun juga dari jabatannya di partai.

Nasib Jero di DPR pun dipertanyakan. Mengingat, ia merupakan anggota DPR terpilih dari daerah pemilihan Bali yang meliputi Kabupaten Badung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Jembrana, Kabupaten karangasem, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar.

Namun, hingga saat ini, Jero belum juga resmi mundur. Meski pun jajaran kementerian ESDM menyatakan sudah ada permintaan dari Jero kepada stafnya untuk membuatkan surat pengunduran diri.

Di Indonesia, rasa malu dan mengundurkan diri memang belum menjadi budaya bagi para pejabat. Lihat saja pejabat yang telah dinyatakan sebagai tersangka namun tetap ngotot dan enggan lengser. Padahal, tak sedikit malah dari mereka sudah mendekam di penjara.

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di negara maju semisal Jepang dan Korea Selatan. Di negeri gingseng, pernah ada kejadian seorang menteri ekonomi pengetahuan yang membawahi urusan energi mundur karena hampir dua juta rumah di negara itu mati listrik selama satu jam. Di Indonesia sering ada gurauan yang menyebut listrik mati seperti minum obat, bisa tiga kali dalam satu hari.

Contoh lainnya, PM Korsel Chung Mong-won juga menyatakan mengundurkan diri karena kejadian tenggelamnya kapal feri Sewol. Keputusan itu diambil sebagai bentuk tanggung jawab kepala pemerintahan atas kejadian yang menewaskan setidaknya 187 orang tersebut.

Di Indonesia, pejabat mundur memang bukan hal baru. Namun biasanya, mereka mundur bukan karena rasa malu atau tanggung jawab. Tapi karena memang atas perintah undang-undang menyusul keluarnya keputusan hukum tetap atas kasus korupsi yang dijalani.

Lihat saja bagaimana Atut Chosiyah masih enggan melepaskan posisinya sebagai Gubernur Banten. Padahal, ia telah mendekam di penjara dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus pemberian suap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada Lebak.

Padahal, jika berbicara kinerja, coba saja iseng dan berjalan-jalan ke daerah di Banten. Lihat bagaimana kondisi masyarakat yang tinggal di sana.

Jangan bicara mengenai pusat perbelanjaan. Di beberapa daerah Banten, jalan mulus dan listrik masih menjadi barang mewah. Padahal, jaraknya hanya beberapa jam dari Jakarta yang merupakan ibu kota negara.

Sementara Atut, menjalani keseharian dengan gaya hidup yang serbamewah. Saat menjalani pemeriksaan, Atus sempat mengenakan sepatu bermerek Hogan yang ditaksir seharga Rp 4,3 juta. Ia juga mengenakan kerudung Louis Vuitton nilainya diperkirakan mencapai Rp 6,5 Juta.

"Jadi begini, kalau kerja kan mesti berpakaian. Masak telanjang," kata Atut ketika ditanya mengenai hobinya ke luar negeri dan pakaian mewahnya.

Lalu, bagaimana agar para pejabat bisa memiliki budaya malu dan ikhlas mundur jika gagal menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat? Kuncinya ada di tangan pimpinan tertinggi negara. Pimpinan harus mampu memberikan contoh dan menjadi teladan bagi para pejabat di bawahnya.

Artinya, pekerjaan besar Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) saat menjadi presiden dan wapres nanti tak hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan saja. Namun juga bagaimana mengajarkan rasa malu serta menjadi contoh dan teladan bagi para bawahannya.

Yaitu, bagaimana seorang pemimpin bersikap konsisten dengan kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadanya. Serta bahwa jabatan yang diraih merupakan amanat untuk melayani rakyat yang ada dari Sabang hingga Merauke.

Apakah Jokowi-JK mampu melakukan hal itu? Apakah Jokowi mampu menjadi pemimpin yang sejati dan menjawab keraguan beberapa kelompok saat ia memutuskan untuk ikut berkompetisi merebutkan kursi RI 1?  

Menjawab keraguan atas sikap amanah Jokowi saat ia maju menjadi calon presiden dan meski pun masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jawabannya masih menjadi misteri. Setiap masyarakat masih harus menunggu apa yang akan dilakukan mantan wali kota Solo itu setelah dilantik pada 20 Oktober mendatang.

Kita semua tentu berharap kalau Jokowi mampu. Apalagi, selama ini ia kerap dianggap sebagai representasi 'wong cilik'. Sehingga diharapkan mengerti rasa muak rakyat akan perilaku para pejabat yang tak tahu malu dan jauh melenceng dari apa yang diharapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement