Rabu 20 Aug 2014 06:00 WIB

Memulihkan Semangat Proklamasi

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

”Dalam perjuangan kemerdekaan,” ujar Soekarno, ” di seluruh negeri kita yang kelihatan hanyalah kesukaran, kekurangan, kemelaratan...Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan-hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita bangkit, bergerak, berjoang untuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu.”

Maka setiap kali kemerdekaan Indonesia diperingati, hal yang harus diingat sebagai  api proklamasi  adalah semangat juang, semangat persatuan, dan semangat membangun negeri.  Dengan ketiga semangat tersebut, kita pun boleh optimis, di balik segala krisis dan kesulitan yang menghimpit kita saat ini, ada harapan kebangkitan di kemudian hari.

Masalahnya, masih adakah idealisme dan semangat berjoang di antara kita? Masih. Selepas kejatuhan Suharto, pelbagai langkah korektif telah ditempuh. Reformasi pada tingkat prosedur demokrasi telah ditempuh dengan transformasi yang nyata: amandemen konstitusi, pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonomisasi, kehadiran institusi-institusi kenegaraan baru serta pemilihan presiden dan pilkada secara langsung. Di luar arena politik, kekuatan-kekuatan swadaya masyarakat menceburkan diri di zona-zona bencana dengan ketulusan patriotis yang mengharukan. Terkenang juga para pendekar kebudayaan yang secara berdikari mengirimkan talenta-talenta terbaik bangsa ke ajang kompetisi internasional—semacam olimpiade fisika atau festival kesenian—dan pulang dengan medali tertinggi.

Hanya saja, kadar idealisme kita begitu rapuh, mudah dilumpuhkan  oleh kepentingan-kepentingan sempit. Kita bentuk partai politik untuk mengagregasikan aspirasi rakyat, namun lekas terpasung oleh  ambisi-ambisi elitis. Kita susun undang-undang baru demi kebajikan bersama, namun terdistorsi oleh kemauan ”yang kuat”. Kita pilih presiden dan pilkada secara langsung demi pemberdayaan rakyat, namun mudah terbajak oleh kekuatan-kekuatan oligarkis. Kita lahirkan cerlang-cerlang individual, namun terbunuh oleh inkonsistensi dan kealpaan sistem meritokrasi.

Masih adakah semangat persatuan di antara kita? Masih. Bahasa Indonesia makin penting sebagai lingua franca, perkawinan antaretnis pun merekatkan keindonesiaan. Elite settlement untuk mentransformasikan elit berseteru menjadi elit bersatu dalam prinsip-prinsip dasar kenegaraan mengalami kemajuan. Fanatisisme ideologis, yang mengubur eksperimen demokrasi parlementer, relatif makin cair. Tentara rela keluar dari arena politik. Desentralisasi dan distribusi kekuasaan diterima sebagai keniscayaan. Solidaritas nasional juga terasa di kala bencana mendera.

Hanya saja, solidaritas emosional tersebut mudah roboh oleh kelemahan solidaritas fungsional, karena tak terpenuhinya cita-cita kebajikan dan kesejahteraan bersama. Solidaritas dan demokrasi, menurut Alexis de Tocqeville, memiliki makna di luar politik dan budaya: yakni kesederajatan sosial dan ekonomi. Kesetaraan sosial-ekonomi memunculkan hasrat membentuk asosiasi-asosiasi yang terbuka, tanpa melihat dan dibedakan menurut silsilah. Pada gilirannya, perkumpulan ini melindungi kesetaraan dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan. Dengan demikian perkumpulan ini memiliki dua fungsi: mereka berasal dari dan menjaga solidaritas dan demokrasi.  Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, menyimpan potensi erupsi, laksana bara dalam sekam yang dalam sekejap bisa menghanguskan ikatan-ikatan persatuan. 

Masih adakah semangat membangun negara di antara kita? Masih. Alim-ulama ingatkan kebangkrutan moral, aparat pembasmi korupsi mulai beraksi, politisi pecundang perankan oposisi, tentara lepaskan aktivitas niaga, pendidik rela berupah rendah, lembaga-lembaga pemantau bersitumbuh, media massa giat beberkan keborokan, pengamat aktif mengkritisi.

Hanya saja, kita menyaksikan adanya ketimpangan yang serius dalam pembangunan.  Sejak tahun 1956, Soekarno dalam Amanat Proklamasinya telah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia telah melampuai dua taraf perjoangan: taraf evolusi bersenjata, dan taraf mengatasi akibat-akibat perjoangan bersenjata.  Lantas dia ingatkan mengenai taraf perjuangan selanjutnya yang menentukan masa depan bangsa, yakni taraf menanamkan modal (investment) dalam arti yang seluas-luasnya: investasi material, investasi manusia dan investasi mental.

Nyatanya, pembangunan Indonesia selama 50 tahun terakhir terlampau menekankan investasi material; kurang sungguh-sungguh menggalakan investasi manusia, bahkan cenderung mengabaikan investasi mental. Akibatnya, nilai ekonomis menjadi satu-satunya ukuran kehormatan, yang merendahkan penghargaan pada segi-segi intelektual yang diikuti oleh bencana moral yang parah.

Akibatnya, kita mengalami krisis keteladanan dan kepemimpinan. Mohammad Hatta pernah berkata: ”Kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapat makan.” Ketika para pemimpin negeri berpesta, sibuk menaikkan gaji dan  ”jaga imej” atau memenangkan proyek, sedang rakyat banjir airmata dilanda bencana, menjadi jelas terukur bagaimana kualitas para pemimpin kita.

Sementara para pemimpin berpesta, arus neo-kolonialisme yang membonceng globalisasi semakin dalam dan luas penetrasinya. Secara perlahan kantong-kantong usaha rakyat tergusur, sumberdaya alam terkuras, dan aktiva ekonomi mengalir ke pusat-pusat metropolis. Saat yang sama, rakyat miskin kita, yang ditelantarkan negara, terjerat sistem perbudakan baru, dalam bentuk diaspora tenaga kerja asing murahan tanpa perlindungan hukum.

Situasi inilah yang membuat capaian-capaian demokrasi prosedural menjadi kehilangan maknanya di mata rakyat.  Tentang hal ini pun, Soekarno telah mengingatkan, ”Demokrasi hanya dapat dipertahankan apabila pemimpin-pemimpin penganut demokrasi itu dapat membuktikan bahwa mereka dapat memberikan kepada Negara suatu pemerintahan yang sebaik-baiknya, yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat.”

Sejauh demokrasi dikaitkan dengan usaha mencapai kemerdekaan, Franklin Delano Roosevelt menyebutkan adanya empat hal yang menjadi ukuran kemerdekaan: freedom of speech (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan menjalankan agama yang disukai), freedom of fear (bebas dari ketakutan), dan freedom from want (bebas dari kemiskinan/kekurangan). Orde reformasi telah membawa kemajuan dalam kebebasan yang pertama; namun masih jauh panggang dari api untuk menjamin ketiga kebebasan lainnya.

Kebabasan sipil dan politik  (liberte) hanya bermakna jika dibarengi oleh kesederajataan (egalite) dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban (fraternite). Cita-cita proklamasi kita sendiri menghendaki pencapaian ketiga unsur tersebut: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Untuk itu marilah kita pulihkan kembali semangat proklamasi, semangat berjuang dengan pengikatan solidaritas kebangsaan untuk membangun negeri. Dengan semangat ini, Indonesia pernah gemilang di mata dunia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan. Dengan semangat yang sama, kita harus segera bangkit mengerjar ketertinggalan negeri dari kemajuan negeri-negeri lain yang memperoleh inspirasi kemerdekaan dari Indonesia.

Komitmen nasional harus dimulai dari pengorbanan diri. Seperti kredo Rene de Clerq yang menjadi semboyan Bung Hatta: “Hanya ada satu tanah yang bernama tanah airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement