Jumat 15 Aug 2014 06:00 WIB

Merdeka Sempurna

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“... (Bangsa Indonesia) ingin berjuang untuk kemenangan akhir berupa Indonesia Merdeka, yang sebenar-benarnya berisi kemerdekaan yang sempurna.”

---- Soekarno, 31 Juli 1945

Kutipan itu saya dapatkan dalam sebuah tulisan yang dibingkai dan dipajang di dinding ruangan di Restoran Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat. Tulisan Bung Karno itu adalah sebuah kata pengantar untuk buku sejarah karya M Yamin, satu bulan menjelang kemerdekaan.

Pembaca teks proklamasi itu tak sekadar bicara kemerdekaan, tapi “kemerdekaan yang sempurna”, merdeka yang sebenar-benarnya. Sebuah ide yang dicanangkan sejak dini sekali. Ini membuktikan betapa visionernya Bung Karno tentang kerumitan kemerdekaan di kemudian hari.

Tentang kerumitan itu pernah diungkapkan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Lalu, apa wujud kemerdekaan yang sempurna itu?

Bung Karno meringkasnya dalam konsep Tri Sakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sebuah konsep yang ringkas, padat, dan lengkap. Namun, Bung Karno tak mampu mewujudkannya.

Ada satu orang lagi yang memiliki gagasan tentang kemerdekaan yang sempurna. Dia adalah Tan Malaka. Dia menyebutnya dengan “kemerdekaan seratus persen”.

Untuk mewujudkan idenya itu ia membentuk sebuah front yang diberi nama Persatuan Perjuangan, yang bertujuan menggabungkan kekuatan nasional. Ia berkeliling Indonesia untuk meyakinkan cita-citanya itu tanpa kompromi. Salah satunya adalah keberhasilannya meyakinkan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Ada dugaan, faktor inilah yang membuatnya berujung pada kematiannya yang misterius. Tan Malaka adalah manusia kontroversial dan pengelana, dari komunisme kemudian ke Murba.

Selain dua tokoh itu, hampir tak ada figur yang menyuarakan ide semacam itu di antara para founding fathers. Namun, dua-duanya tak mampu mewujudkannya. Harus diakui, kadang butuh orang yang berbeda antara yang memiliki ide dan yang melaksanakan ide. Pemimpin tipe eksekutor bukanlah tipikal pemimpin demagog yang hanya kuat di pidato dan kata-kata.

Pada Ahad nanti, tepat 69 tahun kemerdekaan Indonesia. Tak terasa, Indonesia sudah cukup tua sebagai bangsa dan negara. Suasana ulang tahun kemerdekaan tahun ini bertepatan dengan suasana menjelang pergantian kekuasaan. Hal ini bisa menjadi momentum bahwa pemimpin Indonesia mendatang ini untuk merenung dan kemudian melangkah, langgam kepemimpinan macam apa yang hendak ditampilkan.

Apakah ia akan menjadi presiden yang cuma tercatat begitu saja, atau akan menabalkan diri sebagai pemimpin besar yang akan dicatat dengan tinta emas seperti para founding fathers kita? Apakah ia akan menjadi presiden yang cuma bisa menikmati fasilitas nomor satu atau akan menjadi orang terhormat nomor satu? Apakah ia akan menjadi presiden yang menunjuk-nunjuk bahwa dirinya presiden besar atau rakyat yang akan mengelu-elukan dirinya sebagai orang besar?

Jalan terbentang lebar di depan presiden baru nanti.

Lula da Silva, mantan presiden Brasil, adalah orang yang layak menjadi cermin bagi kita. Dia baru bisa membaca pada usia 10 tahun. Kemiskinan telah membuat dirinya tak bisa sekolah. Sambil bekerja, ia juga belajar. Pada usia 12 tahun, ia menjadi tukang semir. Dua tahun kemudian ia bekerja di pabrik tembaga.

Pada usia 19 tahun, jari kelingkingnya putus saat bekerja di pabrik mobil. Ia harus keliling ke beberapa rumah sakit untuk mendapat perawatan. Hal itu menyadarkannya untuk aktif di serikat pekerja. Aktivitasnya di gerakan buruh membuat namanya melambung dan menjadi pemimpin serikat pekerja baja.

Pada 1980, ia mendirikan Partai Pekerja bersama cendekiawan dan akademisi. Setelah kalah dalam pilkada di Sao Paolo (1982), empat tahun kemudian ia terpilih sebagai anggota kongres. Pada 1986, ia maju sebagai calon presiden. Kalah. Hal itu ia ulangi pada 1994 dan 1998. Juga kalah. Baru pada 2002 ia menang dan menjadi presiden.

Di bawah kepemimpinan pria yang “tak terdidik” ini, Brasil menjadi negara besar. Salah satu negara pengutang terbesar di dunia, oleh Lula, Brasil disulap menjadi negara net-kreditur. Bersama empat negara lain, Brasil membentuk persekutuan ekonomi BRICS. Brasil menjadi kekuatan ekonomi nomor delapan di dunia.

Pada 2010, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia. Lula adalah seorang negosiator. Ia tak menampilkan diri sebagai ideolog seperti Hugo Chavez dari Venezuela. Ia seorang yang rendah hati dan presiden yang efektif.

Ia pragmatis, tapi kuat dalam prinsip. Namanya jauh lebih harum dari orang yang ia gantikan, Fernando Henrique Cardoso (seorang cendekiawan terkenal yang namanya sudah mendunia). Pada 2011, ia mengakhiri jabatannya dan mewariskan prestasi yang dahsyat.

Indonesia adalah kompleksitas fragmentasi sosial dan politik. Relasi-relasi sosial dan politik berbagai kelompok, baik dalam kaitan ekonomi maupun politik internasional, telah membuat konsolidasi nasional menjadi tak sederhana. Pada sisi lain, identitas nasional, baik dalam rupa ideologi maupun budaya belum merupakan ide yang kompak dan operasional.

Kepemimpinan nasional merupakan satu-satunya solusi untuk menyelesaikannya, seperti Malaysia atau Cina pernah melakukannya-tentu saja Brasil. Sebagai negara-bangsa yang baru, kepemimpinan yang efektif dan tepat masa merupakan jalan keluar yang niscaya.

Terus tertatih-tatihnya Indonesia karena kita tak pernah memiliki pemimpin yang efektif dalam mewujudkan kemerdekaan yang sempurna. Kesempurnaan itu bukan bermakna kita menjadi negeri tertutup yang antiasing dan antiglobalisasi. Kesempurnaan itu justru menjadi benar-benar sempurna ketika bisa memanfaatkan lingkungan global dan internasional untuk menjadi instrumen kepentingan nasional.

Kesempurnaan Indonesia dimulai dari pemimpinnya. Pemimpin yang pragmatis dan negotiable, tapi berakar pada sejarah dan kepentingan bangsanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement