Senin 21 Jul 2014 06:00 WIB

Kiat Hamas Jaga Semangat Juang Lawan Zionis Israel

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Sungguh memprihatinkan! Ketika para pejuang Palestina di Jalur Gaza sedang menghadapi serangan membabibuta Zionis Israel, ada beberapa pengamat Timur Tengah, pemimpin Arab, dan pihak-pihak lain yang justeru menyalahkan sikap para pemimpin Pergerakan Hamas.

Pertama, mereka mempertanyakan mengapa pejuang Hamas tetap saja meluncurkan roket-roketnya ke wilayah Israel, padahal senjata tersebut tidak membahayakan keamanan negara Zionis itu. Bahkan sebagian besar roket itu telah hancur di udara dilumpuhkan oleh sistem pertahanan canggih anti-rudal Israel yang disebut Iron Dome.

Kedua, dengan kengototan pejuang Hamas meluncurkan roket ke wilayah Israel berarti ada alasan sah Negara Yahudi itu untuk terus menyerang Jalur Gaza. Serangan yang hingga pada hari Sabtu saja, dua hari lalu, telah menewaskan 40 syahid Palestina. Dengan demikian, serangan udara dan darat tentara Zionis Israel yang berlangsung sejak beberapa hari lalu telah memakan korban sejumlah 340 syahid dan lebih dari 3.400 orang luka-luka berat dan ringan. Belum lagi ratusan rumah dan fasilitas umum yang hancur rata dengan tanah. Kalau saja Hamas tak meluncurkan roketnya, kata mereka, mungkin Israel Israel tidak akan menyerang Gaza.  

Pertanyaannya, adakah para pejuang Hamas harus memberhentikan serangan roket-roketnya ke wilayah Zionis Israel dan kemudian menerima tawaran Pemerintah Mesir untuk gencatan senjata?

Selasa pekan lalu (15/7) Mesir menawarkan solusi gencatan senjata yang dikatakannya akan menguntungkan kedua belah pihak. Dengan solusi ini, kata Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shukri,  kedua pihak berkesempatan untuk saling menghentikan perang, mencegah pertumpahan darah warga Palestina, membebaskan blokade terhadap Gaza, dan memberi kesempatan kedua belah pihak untuk berunding.

Namun, tawaran itu ditolak Hamas. Mereka menilai, solusi yang ditawarkan Mesir bukan win-win solution, tapi justeru lebih menguntungkan pihak Israel. Misalnya, dalam solusi versi Mesir itu tidak disebutkan bahwa Israel adalah pihak agresor dan penjajah, apalagi sebagai penjahat perang. Di sana, Israel juga tidak dipersalahkan menyerang Gaza dan telah menewaskan ratusan warga dan menghancurkan rumah-rumah dan falitas umum lainnya.  

Menurut kolomnis Timur Tengah Tohir Al ‘Udwan di media Aljazira.net, semua solusi yang tidak menyalahkan Israel berarti memaksa bangsa Palestina menerima semua kejahatan yang dilakukan penjajah Zionis Israel sejak 1967. Dengan demikian, katanya, bangsa Palestina  sepertinya disuruh memili dua pilihan yang sama-sama pahit.

Pertama, mereka dipaksa menerima fakta pendudukan Israel, menjadikan wilayah Palestina sebagai daerah Yahudi, blokade, penangkapan, dan pengusiran orang-orang Palestina dari tanah airnya. Dengan kata lain, tuntutan bangsa Palestina untuk membebaskan tanah airnya, mendirikan negara merdeka, dan memulangkan para pengungsi adalah ilegal.

Kedua, bangsa Palestina dipaksa tunduk dan menerima tindakan Israel selama ini, baik yang terkait dengan perundingan berat sebelah atau pembunuhan dengan berbagai senjata canggih yang bisa didapat dan dikembangkan oleh Zionis Israel. Sungguh, lanjut Al ‘Udwan, sangat aneh bila berbagai serangan dan pembunuhan yang dilakukan Zionis Israel selama ini yang justeru dipersalahkan adalah para pejuang Palestina, hanya lantaran  meluncurkan roket-roke Al Qosam ke wilayah Israel.

Sementara itu, proses perundingan yang sudah dimulai sejak 25 tahun lalu justeru  telah memberi keleluasaan kepada Zionis Israel untuk membangun ribuan pemukiman Yahudi di daerah pendudukan serta mengyahudikan identitas Masjidil Aqsa dan sekitarnya. Juga  menangkap para pejuang dan mengusir orang-orang Palestina dari rumahnya, serta menghancurkan rumah-rumah warga Palestina.

Karena itu, perlawanan bangsa Palestina -- meskipun dengan roket-roket sederhana dan mungkin ketinggalan zaman dibandingkan dengan persenjataan canggih Israel -- harus dibaca sebagai simbol perjuangan melawan kezaliman. Kezaliman dari musuh yang tidak memberi pilihan lain kecuali kematian cepat dengan serangan persenjataan canggih atau kematian pelan-pelan dengan blokade darat, udara, dan laut.

Ya, perlawanan bangsa Palestina, termasuk dengan roket-roket sederhana, harus dimaknai sebagai simbol kehendak bangsa yang ingin merdeka. Simbol sebuah bangsa yang ingin menjaga semangat juang terhadap kesewenang-wenangan. Ya, inilah kiat dan cara bangsa Palestina selama ini untuk menjaga semangat juang melawan kezaliman Zionis Israel.

Belajar dari sejarah bangsa-bangsa, ternyata senjata bukan segalanya untuk memperoleh kemerdekaan. Yang diperlukan adalah semangat juang untuk menuntut kebebasan dan kemerdekaan. Yang dibutuhkan adalah menegakkan harga diri dan kehormatan yang telah diinjak-injak oleh penjajah. Ya, kemerdekaan dan kebebasan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan bukan sebuah pemberian atau belas kasihan.

Indonesia mempunyai pengalaman panjang bagaimana merebut kemerdekaan meskipun dengan persenjataan yang sangat sederhana. Tidak ada senjata api, bambu runcing pun jadi untuk membuat keder musuh yang bersenjatakan modern. Bangsa Palestina juga sudah berpengalaman dengan intifadah 1 dan intifadah 2. Intifadah adalah perang rakyat semesta dengan bersenjatakan apa adanya: ketepel, lemparan batu, pisau dapur, dan apapun yang kejangkau oleh tangan. Gerakan intifadah pernah membuat penjajah Israel tunggang langgang meninggalkan gelanggang perang.

Kini yang dibutuhkan oleh bangsa Palestina adalah solidaritas dari dunia internasional, terutama bangsa-bangsa yang suka kebebasan dan kemerdekaan. Bangsa-bangsa yang membenci penjajahan, kezaliman, dan eksploitasi sebuah bangsa atas bangsa lain. Ya,  penjajahan seperti dilakukan Zionis Israel pada bangsa Palestina adalah musuh bersama seluruh bangsa yang menjunjung tinggi dan mencintai kebebasan dan kemerdekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement