Kamis 17 Jul 2014 06:00 WIB

Suatu Sore di Leiden

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Suatu sore di Universitas Leiden. Tidak banyak perubahan signifikan. Meski ada beberapa gedung yang direnovasi, lanskap lingkungan kampus sebagian besarnya masih seperti 20 tahun lalu.

Didirikan pada 1575, Universiteit Leiden merupakan universitas tertua di Belanda dan terbaik di negara ini (2013). Pada tingkat internasional, Universitas Leiden merupakan perguruan tinggi terbaik dalam bidang ilmu sosial dan humaniora yang menduduki peringkat ke-60-an universitas terbaik di dunia.

Kembali ke Universitas Leiden untuk Seminar tentang “Islam and Democracy in Post-2014 Elections in Indonesia: A Comparative Perspective” (26 Juni 2014), penulis “Resonansi” ini memulai percakapan tentang perasaannya yang campur aduk. Ada perasaan senang kembali ke kampus yang pada awal 1990-an masih menjadi salah satu tempat terpenting dalam melakukan penelitian disertasi selain Makassar, Banda Aceh, dan Kairo. Universitas Leiden dengan beberapa perpustakaannya, khususnya perpustakaan KITLV, menyimpan banyak sumber primer berupa dokumen, arsip kolonial, buku, dan foto terkait Islam Indonesia.

Tak ragu lagi, Universitas Leiden merupakan salah satu pusat orientalisme tertua di Eropa sejak masa jaya kolonialisme Eropa. Orientalisme pada awalnya berpusat pada kajian Islam, semula sebagai “Arab Studies” kemudian masa lebih belakangan menjadi “Islamic Studies” yang mencakup kajian Islam Indonesia.

Dalam konteks terakhir ini, orang Indonesia pertama yang meraih gelar PhD dalam Kajian Islam Indonesia dari Universitas Leiden adalah Hoessein Djajadiningrat (8 Desember 1886-12 November 1960). Kuliah di Universitas Leiden (1905-1910), Djajadingrat yang berasal dari kalangan bangsawan Banten menulis disertasi doktor berjudul “Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten”, kajian kritis tentang naskah “Sajarah Banten”. Ia tidak hanya lulus cumlaude, tetapi juga mengantarkannya menjadi “Bapak Historiografi Islam Indonesia”.

Karena itu, tidak heran kalau Universitas Leiden sampai masa lebih belakangan merupakan salah satu pusat kajian Islam Indonesia terpenting di dunia, khususnya menyangkut sejarah, sosiologi, antropologi, dan politik Indonesia terkait dengan Islam dan masyarakat Muslim Indonesia.

Dalam kaitan itu, misalnya, sejak awal 1980-an, melalui kerja sama Pemerintah Indonesia dan Belanda, kerja sama dalam kajian Islam Indonesia dilakukan dengan pengiriman dosen senior IAIN Jakarta dan Yogyakarta untuk melakukan penelitian disertasi doktor dan sekaligus mengikuti beberapa mata kuliah. Setelah itu, mereka mengikuti promosi doktor dalam program pascasarjana yang ada pada masing-masing IAIN tersebut.

Kerja sama lebih luas terlaksana melalui program INIS (Indonesian-Nederland Cooperation in Islamic Studies) sejak tahun akademik 1989. Program INIS yang melibatkan banyak akademisi Indonesia-Belanda bukan hanya menyangkut program pascasarjana dan pertukaran guru besar, melainkan juga penerbitan yang signifikan dan kontributif.

Pascaprogram INIS, kerja sama Belanda-Indonesia dalam kajian Islam terlihat menurun secara signifikan. Meski kemudian masih ada program Indonesian Young Leaders, yang terutama berupa program S-3 bagi dosen muda PTAIN, cakupan dan jumlah kegiatan berkurang secara drastis.

Menurunnya kerja sama dalam Islamic Studies dengan Universitas Leiden khususnya terkait banyak dengan pengurangan anggaran dari pihak Pemerintah Belanda. Pemotongan anggaran ini berlanjut dalam tahun-tahun terakhir. Sebagai contoh, KITLV dan perpustakaannya tidak lagi dibiayai dana pemerintah pusat. Akibatnya, kegiatan KITLV banyak yang terpangkas dan perpustakaannya diintegrasikan ke dalam Universitas Leiden.

Terlepas dari perkembangan tidak menggembirakan itu, minat sivitas akademika Universitas Leiden pada berbagai isu terkait Indonesia, Islam, dan demokrasi terlihat tetap tinggi. Apalagi, kalau ketiga hal ini dilihat secara komparatif antara Indonesia dan negara Muslim lain, khususnya di dunia Arab.

Dalam presentasi seminar, penulis “Resonansi” ini beragumen, realitas religio-kultural umat Islam washatiyah Indonesia yang distingtif merupakan faktor terpenting bagi penerimaan demokrasi. Watak keislaman washatiyah dan sosio-kultural yang memberikan banyak ruang bagi moderasi, akomodasi, dan kompromi menciptakan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi.

Mantan dubes Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam yang menjadi pembahas mendukung pandangan bahwa Indonesia adalah salah dari sedikit “titik terang” demokrasi di dunia Muslim. Menurut Van Dam, adanya “defisit demokrasi” di negara-negara Arab lebih terkait dengan faktor sosial-budaya yang khas bagi umat Islam Arab daripada faktor Islam itu sendiri. Misalnya saja, kecenderungan kehidupan sosial-budaya Arab yang didominasi kaum laki-laki dengan kesetiaan kepada keluarga dan kabilah membuat tidak banyak ruang bagi demokrasi untuk tumbuh.

Bagi Van Dam, Indonesia dengan pengalaman positif dalam demokrasi merupakan kandidat negara ideal untuk memainkan peran lebih penting di dunia Muslim. Indonesia adalah sebuah contoh baik tentang kompatibilitas Islam dengan demokrasi bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement