Selasa 15 Jul 2014 14:46 WIB

Bencana Itu Bernama Komersialisasi Pendidikan

Asep Sapa’at
Foto: doc pribadi
Asep Sapa’at

REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sapa’at, Pemerhati Pendidikan di Character Building Indonesia

Biaya pendidikan makin hari makin ‘mengerikan’. Alih-alih stabil atau turun, lunasnya pembiayaan gedung, misalnya, tak otomatis menghilangkan biaya gedung. Di banyak sekolah, biaya gedung sudah dilunasi orangtua murid, namun tetap saja uang gedung ditarik dari orangtua murid baru dengan berbagai alasan.

Tanpa transparansi, bagaimana bisa tahu penggunaan dana itu. Sementara begitu sekolah baru dibuka, orangtua murid di sekolah itu toh tetap dibebani biaya gedung. Sampai kapan orangtua murid bebas dari uang gedung sekolah.

Seorang sopir taksi bertutur, “Anak saya sudah lulus tes di salah satu sekolah negeri. Hanya karena tak bisa lunasi uang pendaftaran sekolah dalam tenggat waktu yang ditentukan, akhirnya saya harus merelakan anak saya tak bisa masuk di sekolah itu”.

“Tak ada uang ya tak sekolah”, ujar salah satu panitia penerimaan siswa baru tanpa tedeng aling-aling. Bagi yang tak berpunya, kata-kata ini menyayat hati. Bargaining position mereka lemah. Katanya wajib sekolah, tapi mau masuk pun sulitnya minta ampun. Jika sudah lulus tes saja tetap tak bisa masuk sekolah karena ujung-ujungnya persoalan duit, praktik komersialisasi pun tegaskan eksistensinya di dunia pendidikan.

Yang dahsyat, beberapa sekolah menerapkan model pajak progresif. Bagi yang bisa memberikan sumbangan lebih, kans anaknya diterima di sekolah lebih besar. Otomatis orangtua murid terposisi di antara dua kelompok, si kaya dan si miskin. Biaya berapa pun tak ada masalah bagi si kaya. Tapi bagi si miskin, cita-cita anaknya hendak sekolah pun lebih sering kandas karena soal fulus.

Sekolah yang lupa diri, terang-terangan lakukan hal ini. Sekolah yang masih ‘malu-malu kucing’, di depan bilang tidak, di belakang tetap agresif keruk keuntungan dari orangtua murid. Kalau sudah begini, status sekolah negeri atau swasta pun sama saja. Di atas kertas, biaya di sekolah negeri harusnya relatif lebih murah dibanding sekolah swasta. Tapi kalau sudah bertitel ‘favorit’, orangtua murid harus bayar lebih mahal untuk membeli ‘gengsi’ agar anaknya bisa masuk di sekolah negeri. Jangan tanya soal biaya di sekolah swasta elit, wow harganya selangit.

Sekolah adalah lembaga not for profit. Dari perspektif sosok lembaga, sekolah beda sekali dengan perusahaan. Kalau perusahaan orientasinya cari untung, tak demikian dengan sekolah. Memang sekolah membutuhkan biaya untuk aktivitas operasionalnya. Maka, sekolah harus punya etika moral untuk menarik dana dari orangtua murid. Tak boleh ada kesewenang-wenangan. Apalagi secara terang-terang maupun terselubung, mengkomersialisasikan semua hal. 

Dalam konteks manajemen pendidikan, status kepala sekolah (sekolah negeri) atau pendiri yayasan (sekolah swasta) di posisi simpang, pemilik atau pengelola. Jika pemilik dan ingin berbisnis, mengapa tak terang-terangan berlegal perseroan terbatas (PT). Jika berlegal yayasan, mengapa biaya pendidikan begitu mahal.

Padahal sekolah dengan legal yayasan, apa pun alasannya seharusnya bukan untuk bisnis. Maka, mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan kedok yayasan, jelas merupakan tindakan yang jauh lebih berbahaya. Pun jika dilakukan sekolah negeri milik pemerintah. Pantaslah kalau nurani tergugat, bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mengapa amat mahal? Bukankah harusnya dibiayai negara?

Kerancuan ini tampaknya sepele. Padahal dengan sesat pikir ini, sesungguhnya kita sedang mengkreasi bencana pendidikan, yaitu penjungkirbalikkan tujuan pendidikan, ketidakadilan pendidikan, dan terjadi pembodohan yang diterima sebagai kewajaran.

Tujuan pendidikan jelas untuk mencerdaskan bangsa. Bangsa yang cerdas paham beda investasi di Indonesia dan investasi untuk Indonesia. Warga negara adalah aset bangsa. Maka, pendidikan jadi instrumen penting dalam meningkatkan kualitas kompetensi dan karakter seluruh warga negara. Pemerintah alokasikan uang negara untuk pendidikan masyarakat, sebesar apa pun biayanya, itulah investasi yang sesungguhnya untuk Indonesia. Bukan malah menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik dan bisnis yang hanya bisa dinikmati orang berpunya saja. Karena itu hanya sekadar investasi di Indonesia. Yang untung segelintir orang, yang buntung jelas masyarakat banyak. Kesenjangan pun tak bisa dielakkan.

Seharusnya landasan pendidikan adalah nilai dan moral, bukan uang dan kekuasaan. Dengan nilai dan moral, tatanan masyarakat terjaga. Persoalan jangka panjang tak bisa dinikmati segera. Maka sosok lembaga pendidikan berlegal PT atau yayasan, merupakan tindakan taktis yang akan menentukan arah pendidikan di masa depan. Keliru dalam memilih, dampaknya akan merusak tatanan nilai dan moral tujuan pendidikan jangka panjang.

Tegasnya, pendidikan harusnya jadi tanggung jawab negara. Tak boleh ada satu pun lembaga pendidikan yang ‘bermain bisnis’ di wilayah kerja pendidikan. Proses pengabaian dan pembiaran dari pemerintah terhadap praktik komersialisasi pendidikan, tanda tak ada sikap tanggung jawab. Tanpa aturan main yang jelas dan tegas, jika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar, siapa bisa cegah pendidikan jadi komoditas paling laku.

Ibarat dagangan, tentu ada pemilik dan pembeli. Tujuan pendidikan jadi jungkir balik. Ibarat pelayan toko, guru cuma jadi alat pemilik. Murid jadi konsumen. Buku, seragam, kegiatan karyawisata, dan ekskul, merupakan dagangan yang pasti lakunya. Dengan pendidikan yang jadi kelontongan begini, bencana apa yang bakal dituai Indonesia di masa depan. Siapa bisa jawab?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement