Senin 07 Jul 2014 06:00 WIB

Mengapa Warga Asing Tertarik pada Ideologi Teroris ISIS?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

‘‘Kami akan pergi (berperang) ke Irak, Yordania, dan Lebonon. Atau ke mana pun Sheikh Abu Bakar Al Baghdadi memerintahkan kami, kami akan pergi... Cita-cita dan nasib umat ada di tanganmu, wahai Sheikh...’’

Bila kata-kata bernada ‘jihad’ itu disampaikan seorang ‘pejuang’ kelompok garis keras dari Suriah, Irak, Yaman, Libia, atau dari negara Arab mana saja, mungkin sesuatu yang biasa. Tidak ada yang aneh. Menjadi hal yang luar biasa dan sekaligus mengkhawatirkan lantaran yang mengatakan adalah seorang pemuda atau tepatnya remaja Inggris.

Remaja itu bernama Nasir Mutsanna. Keluarga si remaja hijrah dari Yaman dan kemudian hidup di Kota Cardiff, Wales, Inggris. Si remaja Mutsanna  lahir, tumbuh, dan bersekolah di Inggris.

Menurut pengakuan ayah Mutsanna, seperti dikutip media Al Sharq Al Awsat,  anaknya tumbuh normal seperti remaja pada umumnya. Bahkan ia termasuk remaja yang berhasil dalam sekolahnya. Setamat SMA, ia diterima kuliah di fakultas kedokteran di empat universitas top di Inggris.

Namun, yang membuat sedih dan sekaligus kaget sang orang tua, tiba-tiba sekitar 18 bulan lalu putranya menghilang. Beberapa bulan kemudian mereka baru mengetahui bahwa anaknya yang kini berusia 20 tahun telah bergabung dengan sebuah organisasi garis keras yang sering disebut sebagai Da’isy atau ISIS.  Yang terakhir ini adalah sebuah organisasi yang ingin mendirikan Negara Islam di Irak dan Syam (Suriah). Dalam sebuah rekaman video, si anak menyebut dirinya sebagai  Abu Mutsanna Al Yamani.

Yang lebih membuat sang orang tua prihatin dan sedih, ternyata si anak alias Abu Mutsanna ini juga telah berhasil membujuk adiknya di Inggris, kini berusia 17 tahun, untuk bergabung dengannya ikut berperang bersama Da’isy di Suriah dan Irak. Atau berperang ke mana saja mengikuti petunjuk dari Sheikh Abu Bakar Al Baghdadi, pemimpin tertinggi Da’isy alias Tandzimu Al Daulah Al Islamiyah fi Al Irak wa As Syam.

Berperang ini disebut oleh Abu Mutsanna sebagai jihad fi sabilillah.  Dalam rekaman video yang sempat bisa diakses lewat internet ini, Abu Mutsanna muncul bersama para pemuda lain dari negara-negara Eropa. Mereka berbicara dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. Mereka berjenggot lebat, berjubah, dan bertutup kepala ala Usamah bin Laden. Mereka mengajak para pemuda lain dari seluruh dunia untuk ikut ‘berjihad’ bersama mereka mendirikan Negara Islam di Irak dan Suriah.

Yang mengejutkan dan sekaligus mengkhawatirkan sebagaimana dirasakan orang tua Nasir Mutsanna, ISIS atau Da’isy ini bukan hanya berhasil merekrut para pemuda dari negara-negara Arab. Namun, mereka juga telah berhasil ‘membujuk’ ratusan atau bahkan ribuan pemuda dari negara-negara Barat untuk bergabung. Menurut sebuah data intelijen, sebagaimana dikutip Al Sharq Al Awsat, kini terdapat lebih dari 3 ribu ‘pejuang’ asing di Irak dan Suriah. Mereka berasal dari Belgia, Prancis, Inggris, Australia, dan Amerika. Yang terbanyak di antara mereka adalah dari Inggris.

Pertanyaannya, apa atau mengapa ribuan pemuda dari berbagai negara asing, terutama Barat, mau bergabung ikut berperang dengan kelompok-kelompok teroris atau garis keras itu? Mengapa mereka mau meninggalkan kehidupan nyaman di tengah keluarga dan masyarakat negara yang relatif lebih maju dan menerjunkan diri dalam kehidupan yang serba bahaya?  Lalu apa daya tarik dari kelompok-kelompok garis keras itu bagi para pemuda di Eropa dan Amerika? Apakah mereka merasa kehidupan di Barat sangat hampa dari spiritualitas dan kemudian mencarinya dengan menjadi ‘mujahid’ untuk berperang?

Menurut pengamat Timur Tengah, Diana Moukalled,  ketertarikan para pemuda dari negara-negara Barat kepada kelompok-kelompok garis keras di Timur Tengah tidak terlepas dari semakin mengglobalnya organisasi teroris. ‘Internasionalisasi’ organisasi teroris itu berawal pada  2001 ketika terjadi serangan pada gedung World Trade Center di New York. Pada saat itu nama Alqaida dan pemimpin tertingginya Usamah bin Ladin langsung mengglobal. Apalagi Presiden AS saat itu, George W Bush, langsung mencanangkan perang internasional terhadap teroris.

Berikutnya terjadi pada masa pemimpin Alqaida di Irak, Abu Mas’ab Al Zarkawi. Yang terakhir ini menampung para mantan ‘pejuang’ Alqaida yang selamat dari serangan AS dan sekutunya di Afghanistan. Sasaran Al Zarkawi adalah pasukan AS dan Barat, serta pasukan Irak yang dinilai pro-kepentingan Barat. Berita-berita tentang pergerakan Al Zarkawi tentu saja semakin mempopulerkan kelompok-kelompok garis keras ini.

Semakin banyak berita mengenai terorisme ternyata justeru membuat masyarakat internasional, termasuk masyarakat Barat, ingin tahu lebih banyak  tentang kelompok-kelompok garis keras ini. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan cerdik oleh kelompok Da’isy alias ISIS untuk mempropagandakan ‘perjuangan’ mereka lewat situs internet, Twitter, dan media sosial lainnya kepada para pemuda di seluruh dunia.

Hasilnya, kini terlah bergabung lebih dari 3 ribu pemuda dari negara-negara Barat dengan kelompok garis keras Da’isy alias ISIS.  Para pemuda dan remaja ini kemudian dicuci otaknya sehingga mau melakukan apa saja yang diperintahkan sang pemimpin. Bahkan mereka pun siap dijadikan pasukan berani mati kapan saja, termasuk melakukan bom bunuh diri.

Dengan didukung pasukan ‘berani mati’nya,  kini Da’isy telah berhasil menguasai wilayah yang luas dari Aleppo di Suriah Utara hingga Diyala di Irak Timur, termasuk Mosul yang merupakan kota terbesar kedua di Irak. Kini, menurut pengamat Timur Tengah lain, Abdul Rahman Rasyid, bahaya Da’isy sudah berada di depan gawang Arab Saudi, Yordania, dan Turki.

Pekan lalu mereka bahkan sudah memproklamasikan berdirinya sebuah kekhalifahan di wilayah-wilayah yang telah mereka kuasai. Dalam Negara Islam yang baru ini semua aspek kehidupan akan diatur sesuai dengan hukum Islam. Kelompok Da’isy ini juga telah mengangkat pemimpin mereka selama ini, Abu Bakar Al Baghdadi, sebagai khalifah, yang mereka katakan sebagai pemimpin semua umat Islam.

Bersamaan dengan pengumuman berdirinya Negara Islam itu, Khalifah Abu Bakar Al Baghdadi juga telah menyerukan umat Islam dari seluruh dunia untuk berimigrasi ke Negara Islam yang baru didirikan. Dalam seruan melalui situs internet dan media sosial itu, mereka membutuhkan hakim, dokter, insinyur, dan mereka yang memiliki keahlian di bidang militer dan administrasi. Mereka juga menjanjikan gaji yang layak.

Sejumlah media di Timur Tengah mengingatkan iklan lowongan tenaga kerja itu bisa jadi cara cerdik kelompok ISIS atau Da’isy untuk merekrut ‘pejuang’ asing. Sasarannya kali ini adalah negara-negara Islam miskin yang biasa mengirim tenaga kerjanya ke luar negeri, termasuk Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement