Jumat 04 Jul 2014 19:22 WIB

Pelajar dan Santri Tuntut Franz Magnis Suseno Minta Maaf

Rohaniawan, Frans Magnis Suseno (kiri).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Rohaniawan, Frans Magnis Suseno (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaudaraan Pemuda Indonesia (PPI) dan Poros Pelajar Santri Indonesia (PPSI) mendesak Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis Suseno, untuk meminta maaf dan memberi klarifikasi terkait surat terbuka yang sudah menjadi konsumsi publik.

"Kami menuntut Romo Magnis yang kami hormati untuk mengklarifikasi atas surat terbuka yang sudah dilayangkan dan menjadi konsumsi publik serta mengoreksi dan meminta maaf atas kekeliruan-kekeliruan yang ada dalam surat terbuka tersebut," kata perwakilan dari PPI, Delianur, di Jakarta, Jumat.

Rohaniawan Katolik yang memiliki panggilan akrab Romo Magnis membuat surat terbuka yang diberi judul "Masa Depan Bangsa dalam Taruhan". Dalam surat yang ditulis pada 25 Juni tersebut, Romo Magnis menyatakan tidak mungkin memberi suara pada Prabowo Subianto karena ia menilai Prabowo menjadi tumpuan pihak Islam garis keras.

Ia juga mengkritik Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional Amien Rais yang ditulis Romo Magnis bahwa Amien menempatkan kontes Prabowo-Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah yang mau menghancurkan umat islam yang masih kecil.

Menanggapi hal tersebut, Delianur, menilai terdapat beberapa hal keliru dari pernyataan Romo Magnis yang perlu dikoreksi. Menurutnya, Romo tidak dalam kapasitas membicarakan perang Badar.

"Kritik Romo terhadap Amien Rais mengenai perang badar selain keliru juga sangat dangkal. Seolah-olah perang badar jadi motivasi Pilpres kali ini, perang antara Islam dan kafir. Padahal Amien Rais menganalogikan Pilpres dengan perang badar bukan dalam konteks perang Islam dan kafir," jelas Delianur.

Ia menuturkan dalam pidatonya Amien Rais mengajak para pendukung untuk melihat Pilpres kali ini seperti perang badar bukan perang uhud dan perang yang dimaksud, lanjut Delianur, bukan konteks perseteruan antara muslim dan kafir tetapi "spirit" dalam perang tersebut.

"Pada perang badar kaum muslimin meskipun jumlah pasukan dan amunisi sedikit tetapi bisa mendulang kemenangan. Kuncinya adalah keikhlasan dalam berjuang karena motivasi memperjuangkan agama islam. Niat yang jadi kekuatan utama. Dikontraskan jangan seperti perang uhud, ketika orang Islam berperang dengan orang kafir, orang Islam kalah karena niatnya sudah salah cari harta rampasan perang (ghanimah)," jelasnya.

"Jadi Pak Amien ingin mengatakan pada pendukung Prabowo, kalau mau menang mari tempatkan Pilpres ini dengan spirit perang badar. Ikhlaskan, bukan untuk cari ghanimah, harta rampasan perang, bagi-bagi kekuasaan tapi membangun negara ini," tambahnya.

Delianur juga mengkritik pandangan Romo Magnis bahwa Prabowo sebagai capres dikelilingi oleh kelompok garis keras.

"Bagi kami kekerasan atau fundamentalisme itu bukanlah gejala yang bisa dikaitkan dengan agama tertentu. Beberapa saat setelah kritikan Romo, muncul tindak kekerasan oleh salah satu pendukung capres yang juga didukung Romo Magnis," ujar Delianur yang merujuk pada penyerangan terhadap salah satu TV swasta nasional.

Delianur menambahkan, tragedi HAM yang terjadi di Indonesia bukan hanya peristiwa Semanggi atau penculikan aktivis 1998.

"Tragedi HAM 1998 hanya sebagian kecil yang terjadi di negeri ini. Kalau memang mau mengatakan mesti bela HAM, kami sepakat, tapi konteksnya harus diperluas yakni seluruh tragedi HAM yang ada di Indonesia," kata Delianur.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement