Selasa 24 Jun 2014 06:00 WIB

Prospek Perdamaian Fatah-Hamas (2)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Penderitaan rakyat Palestina akibat kebiadaban zionisme sudah berlangsung hampir 70 tahun, sebuah perjalanan waktu yang tidak singkat. Alangkah terlambatnya kesadaran kemanusiaan sejagat untuk memahami aspirasi kemerdekaan bangsa Palestina ini.

Derita itu ditambah lagi oleh sikap negara-negara Arab yang selama ini tidak sepenuhnya membela perjuangan bangsa miskin yang gigih itu. Tetapi, perdamaian antara Fatah-Hamas kali ini umumnya disambut hangat oleh media Arab, sesuatu yang patut disyukuri. Tajuk rencana Gulf News menulis:

"Urusan Palestina bukan soal Israel …. Perkembangan penting ini harus ditengok dalam kaitannya dengan revolusi-revolusi Arab baru-baru ini, termasuk di dalamnya protes-protes yang meluas bulan lalu di Palestina sendiri. Para pemimpin, baik Fatah maupun Hamas, dengan benar telah memprediksi bahwa dengan tatanan baru Arab akan menjadi sangat tidak arif mengabaikan tuntutan kaum muda Palestina untuk perdamaian dan pemilihan umum …. Israel harus tidak ikut campur dalam urusan internal Palestina dan lebih baik memusatkan perhatian pada apakah bisa memilih sebuah perdamaian yang adil atau tidak dengan rakyat Palestina, antara lain atas kegiatan-kegiatan koloni ilegalnya."

Rakyat Palestina benar-benar ingin melihat terciptanya perdamaian di antara para pemimpinnya. Maka, baik pihak Fatah maupun pihak Hamas tidak punya pilihan lain kecuali tunduk kepada tuntutan anak muda itu. Sebuah kemajuan yang luar biasa, sekalipun proses selanjutnya tidak akan selalu mudah.

Nassar Ibrahim dalam situs Alternative Information Center menulis: “… bahwa faksi-faksi Palestina pada umumnya, dan Fatah dan Hamas khususnya, sekarang harus memulai sebuah proses politik dan sosial yang komprehensif, ditegakkan pertama dan utama pada hak-hak Palestina. Tahap baru ini memerlukan konstruksi dari sebuah strategi politik berdasarkan tinjauan kritikal atas proses Oslo dan waktu 15 tahun yang sia-sia.”

Dilanjutkan, “Perdamaian hanya mungkin dicapai melalui perlawanan Palestina yang berlanjut dan sebuah penguatan posisi Palestina lewat persekutuan dengan rakyat Arab dan bukan dengan rezim-rezim Arab.” Ungkapan terakhir ini menjadi penting dicatat karena menjelaskan tentang telah pecahnya kongsi antara rakyat dan rezim yang berkuasa. Bukankah apa yang dikenal dengan Musim Semi Arab adalah perlawanan rakyat terhadap penguasa zalim, yang sebagian adalah antek Barat?

Tajuk rencana the Jordan Times dengan nada optimistis mengungkapkan: “Penandatanganan persetujuan perdamaian antara Fatah dan Hamas di Kairo menjanjikan permulaan sebuah era baru dalam hubungan internal rakyat Palestina …. Tentu saja, beberapa bulan berikutnya akan merupakan ujian bagi kekuatan perjanjian yang diperkirakan untuk membangun landasan bagi pembentukan sebuah pemerintah sementara yang terdiri dari kaum teknokrat, dan menyiapkan pemilihan presiden dan parlemen di atas dasar demokratis.” Komitmen kepada sistem politik demokrasi adalah pertanda positif bahwa rakyat Palestina mau mengucapkan 'selamat tinggal' kepada semua sistem kekuasaan tiranik, despotik, yang menindas rakyat.

Akhirnya, bagaimana prospek perdamaian Fatah-Hamas ini akan sangat bergantung kepada pengarusutamaan jiwa kenegarawanan kedua belah pihak, demi kemerdekaan yang sudah semakin dekat. Kepentingan bangsa secara keseluruhan harus berada di atas segala kepentingan faksi yang berseteru selama ini.

Persetujuan Kairo awal Juni ini harus dijaga dengan segala daya dan stamina pengorbanan yang tinggi. Pengalaman pahit selama ini harus dijadikan pelajaran sangat mahal bagi kaum elite Palestina. Perkara pendukung zionisme Israel semakin kacau balau dan sakit kepala karena persatuan ini adalah semata-mata urusan mereka. Itulah risiko kepongahan filosofi rasialisme yang harus mereka tanggung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement