Selasa 17 Jun 2014 06:00 WIB

Prospek Perdamaian Fatah-Hamas (I)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dunia beradab telah cukup lama menanti agar bangsa Palestina yang tercabik-cabik selama ini menghentikan pertikaiannya yang berketiak ular, berkuah darah sesama mereka, sedangkan musuh utamanya Zionisme Israel tetap saja bermimpi untuk menghapuskan bangsa ini dari peta sejarah. Palestina sebagai bagian dari dunia Arab akan terus dicibirkan penduduk bumi selama tidak mengubah mentalitasnya yang gemar berkelahi sesama mereka, sehingga energinya terkuras secara sia-sia, sesuatu yang memang diharapkan Israel agar begitulah seterusnya.

Sekali mereka mengubah sikap mentalnya ke arah yang positif, kemerdekaan yang didambakan selama puluhan tahun itu akan menjadi kenyataan dalam tempo yang tidak lama lagi. Amerika Serikat sebagai ayah angkat Israel tentu lambat laun akan sadar juga bahwa Zionisme adalah musuh perdamaian dan musuh kemanusiaan, sebagaimana yang telah saya beberkan berkali-kali di ruang ini.

Dalam perspektif di atas, kita menyambut dengan sangat gembira peristiwa 2 Juni 2014 berupa pengumuman terbentuknya suatu pemerintah persatuan nasional antara Fatah dan Hamas yang ditengahi oleh Pemerintah Mesir di Kairo. Kecuali Israel dan pembelanya, dunia yang cinta damai pasti mendukung bangsa Palestina yang sudah mau bersatu itu.

Kita sungguh berharap bahwa perdamaian Fatah-Hamas ini akan bertahan lama, demi terciptanya sebuah negara Palestina merdeka, berdaulat penuh, demokratik, adil, dan maju. Jika impian ini menjadi kenyataan dalam tempo dekat ini, maka arwah Yasser Arafat yang selama puluhan tahun berjuang untuk kemerdekaan Palestina atau arwah Edward W Said, intelektual Palestina yang lama menjadi guru besar sastra Inggris di Universitas Kolumbia (Amerika Serikat), penulis buku Orientalisme yang menggemparkan dunia itu, akan tenang di alam sana karena cita-cita sucinya yang lama terpendam pada akhirnya terwujud diawali dengan langkah persatuan faksi Fatah dan Hamas.

Adapun sikap reaktif Benjamin Netanyahu yang menolak terbentuknya pemerintah persatuan nasional itu, tuan dan puan tidak perlu heran, karena hal itu merupakan pukulan berat bagi Israel yang memang tidak ingin melihat sebuah Palestina merdeka dan bersatu. Semua kaum Zionis hanya punya agenda tunggal: Palestina ditelan bumi!

Inilah di antara reaksi Netanyahu: “Abu Mazen [Mahmoud Abbas] kini mengatakan ya kepada teror, dan mengatakan tidak kepada perdamaian.” (Lihat Ibrahim Kalin, “Israel, Palestinian Unity and Peace” dalam Daily Sabah, 8 Juni 2014). Di mata Netanyahu, Hamas yang menguasai Jalur Gaza tidak lain dari organisasi teror yang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya. Kalin menambahkan, “Netanyahu kembali memainkan kartu terornya untuk menutupi penolakannya bagi penerimaan solusi dua-negara (the two-state solution) dan memperlakukan rakyat Palestina sederajat.”

Bagaimana pendapat Uni Eropa tentang perdamaian Fatah-Hamas di atas? Tidak saja Uni Eropa yang memuji persetujuan damai itu, Inggris pun bersikap serupa. Kita ingat bahwa Inggrislah pada 2 November 1917 yang membukakan pintu awal bagi terbentuknya negara Israel melalui apa yang dikenal dengan Balfour Declaration.

Sejak saat itu, kemudian secara bertahap sampai bulan Mei 1948 berlakulah pengusiran besar-besaran atas rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri yang sekarang bernama Israel itu. Ribuan rakyat Palestina yang mati terbunuh dalam peperangan melawan pasukan Zionisme dan puluhan ribu pula yang harus mengungsi menjadi diaspora ke berbagai negara sampai hari ini.

Jika Inggris sekarang bersikap positif atas persetujuan damai Fatah-Hamas tentunya adalah bagian dari penebusan dosa sejarahnya yang hitam atas bangsa Palestina yang malang itu. Menlu Inggris William Hague berkomentar tentang penyatuan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai: “Kondisi yang perlu bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina.” (Lihat The Jerusalem Post 5 Juni 2014).

Dukungan Inggris ini disertai syarat agar pemerintah persatuan sementara Palestina punya komitmen pada “prinsip tanpa kekerasan dan penerimaan seluruh persetujuan dan kewajiban terdahulu, termasuk hak sah bagi eksistensi Israel”. Sekalipun jalan masih terjal ke depan, simpati sementara negara Eropa pada cita-cita kemerdekaan Palestina adalah tanda-tanda kemajuan yang berarti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement