Jumat 30 May 2014 06:00 WIB

Negative Campaign, Black Campaign, dan Bandul Suara Islam

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

 

Negative campaign dan black campaign bukan monopoli Indonesia. Juga bukan monopoli negara berkembang. Pemilu di Amerika Serikat, negeri yang disebut sebagai kampiun demokrasi di dunia, juga diwarnai dua jenis kampanye semacam itu.

 

Negative campaign adalah jenis kampanye yang mengeksploitasi sisi-sisi kelemahan dan sisi-sisi kelam seorang kandidat. Bisa menyangkut dirinya, bisa pula menyangkut keluarga dan pendukungnya. Bisa menyerempet visi, bisa pula menyenggol pendapat dan perilakunya. Sedangkan black campaign adalah serangan dengan mengungkap sesuatu yang tak faktual, cenderung kepada fitnah atau tuduhan yang sulit dibuktikan.

 

Barack H Obama adalah kandidat presiden AS yang paling banyak mendapat serangan kampanye negatif dan kampanye hitam. Nama Husein pada nama tengah Obama dieksploitasi. Husein adalah nama ayahnya. Nama Husein ini diidentikkan dengan nama seorang Muslim. Ayah Obama memang dari keluarga Muslim di negeri asalnya di Afrika. Di negeri yang mayoritas beragama Kristen, tentu saja merupakan suatu anomali jika seorang Muslim bisa menjadi presiden. Walau suku, agama, ras, dan asal-usul bukan merupakan kesesatan dalam demokrasi namun dalam praktik hal itu bukan sesuatu yang mudah. Karena itu agama Obama menjadi isu politik di negeri tersebut. Kewarganegaraan Obama juga sempat menjadi isu. Ini terutama karena ia pernah tinggal di Indonesia dan berayah tiri orang Indonesia. Yang paling lucu adalah mempersoalkan pendidikan Obama yang pernah sekolah di SD Negeri di Menteng, Jakarta Pusat. Indonesia sebagai negeri yang pernah didera terorisme akut menjadi bahan eksploitasi masa sekolah Obama.

 

Pemilu 2014 yang sedang kita jalani ini merupakan pemilu yang paling keras. Untuk kali pertama, cuma ada dua kandidat. Pada sisi lain, dua kandidat ini, secara kualitatif relatif memiliki skor yang imbang. Plus dan minusnya sama. Pada sisi lain, sesuai survei, di tahap awal jarak elektabilitas keduanya relatif jauh. Namun secara perlahan elektabilitas Prabowo meningkat. Sedangkan elektabilitas Jokowi fluktuatif. Suatu saat jauh di atas, suatu saat turun. Ini karena angka swing voters yang masih tinggi, sekitar 20-30 persen. Dengan demikian, mereka terus bekerja keras dan bermanuver mencari simpati dan dukungan. Mereka membangun persepsi diri dan meruntuhkan persepsi publik terhadap lawannya.

 

Keniscayaan hadirnya kampanye negatif dan kampanye hitam bukan merupakan pembenar bagi dominannya dua jenis kampanye buruk tersebut. Kita ingin yang banyak mengemuka adalah persaingan program dan keunggulan masing-masing. Kita bersyukur di media mainstream jenis kampanye buruk itu tak begitu menjadi warna. Namun di media sosial hal itu begitu dominan. Itu yang membuat sebagian netter mulai muak. Apalagi kemudian berkembang menjadi isu dari mulut ke mulut.

 

Kelebihan Jokowi adalah pada karakter dan rekam jejaknya. Ia dikenal sebagai figur yang sederhana, bisa mendengar, dekat dengan rakyat, pekerja keras, gemar blusukan, sukses sebagai wali kota Solo. Sedangkan kelebihan Prabowo adalah visinya yang kuat, tegas, kalimatnya bermantra, pidatonya penuh semangat, mengapungkan mimpi publik tentang Indonesia yang jaya dan sejahtera. Namun di balik berbagai kelebihan itu, baik Jokowi maupun Prabowo juga dihinggapi berbagai kekurangan yang saat ini banyak dijadikan celah untuk menggulirkan kampanye negatif tentang keduanya.

 

Siapa yang terpilih di antara keduanya sangat tergantung pada kecerdasan dan kearifan pemilih. Apakah dua pasang kandidat itu merupakan solusi buat bangsa dan negara ini atau justru makin menjadi bagian dari masalah. Apakah karakter mereka cocok untuk memberantas korupsi, membangun kesejahteraan dan keadilan, menciptakan kestabilan dalam masyarakat yang plural atau justru menciptakan ketegangan baru. Kita menghadapi ketimpangan kaya-miskin yang parah, kesenjangan wilayah yang akut, korupsi yang massif dan gigantik, birokrasi yang tak efisien dan kekacauan kewenangan antara pusat dan daerah, ketakjelasan pembangunan energi, ketersediaan dan kedaulatan pangan yang runyam, infrastruktur transportasi yang tak terencana dan tak kunjung terselesaikan, melambungnya harga-harga pangan, penataan pertambangan, lapangan kerja yang seret, jumlah penduduk miskin yang luar biasa, struktur industri yang tak jelas, kualitas pendidikan yang rendah, layanan dan biaya pengobatan yang ramah untuk semua, dan kemampuan menempatkan Indonesia di peta global. Pekerjaan rumah presiden mendatang sangat berat. Hal yang paling mendesak adalah tekanan fiskal yang kian kuat. Jika kita salah memilih pemimpin maka Indonesia tak hanya kehilangan momentum tapi juga membuat kerusakan kian parah.

 

Harus diakui, untuk pemilu kali ini, pemilih muslim merupakan bandul penentu kemenangan. Ini karena pemilih dari garis Sukarnois dan Kristen/Katolik serta Hindu-Buddha sudah relatif terpatok pada figur Jokowi. Ini bukan berarti tak ada mereka pada pendukung Prabowo. Prabowo berasal dari keluarga multi-religi. Ibunya dari Minahasa dan beragama Kristen. Iparnya Katolik, demikian pula adiknya juga Kristen. Sebagai seorang tentara, dan lebih suka menggunakan Subianto daripada Djojohadikusumo, Prabowo memiliki posisi yang jelas. Subianto adalah pamannya, seorang tentara yang gugur di medan perang di masa revolusi fisik. Gerindra juga merupakan partai nasionalistik. Dengan demikian, pertimbangan pemilih muslim untuk memilih Jokowi atau Prabowo bukan sesuatu yang simpel.

 

Ada dua pertimbangan yang tak mudah disimbiosiskan. Pertama, pertimbangan sentimen keagamaan. Kedua, pertimbangan kemaslahatan. Untuk pertimbangan pertama ada dua faktor. Pertama, barisan pemilih dan kelompok kepentingan non-muslim sudah rapi di belakang Jokowi. Kedua, partai-partai Islam dan berbasis massa Islam lebih banyak berkumpul di Prabowo. Karena itu, pilihan Jokowi menggamit Jusuf Kalla sebagai wapresnya merupakan keputusan jitu. Kalla bukan saja memiliki pengalaman, kematangan, dan kemampuan di bidang ekonomi tapi juga karena dia orang NU, alumni HMI, dan ketua Dewan Masjid Indonesia. Pada sisi lain di koalisi Jokowi juga ada PKB dan tokoh-tokoh NU. Hadirnya Hatta Rajasa dan sejumlah tokoh reformasi di belakang Prabowo juga tak memudahkan cap fasis untuk dilekatkan pada Prabowo. Lalu siapa yang lebih maslahat bagi bangsa dan umat Islam Indonesia?

 

Sebetulnya, siapapun pemenangnya, kedua pasangan ini memiliki pandangan ekonomi yang relatif sama. Mereka mengutamakan pemerataan ekonomi dan nasionalisme ekonomi. Yang membedakan keduanya adalah pada preferensi masing-masing dan orang-orang di sekelilingnya. Pada titik inilah kita menilai rekam jejak, karakter, dan link up masing-masing kandidat menjadi sangat penting.

 

Siapapun yang terpilih mereka adalah presiden kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement