Senin 26 May 2014 06:00 WIB

Libya, Riwayatmu Kini

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Bagaimanakah kondisi Libya sekarang ini, sejak kejatuhan rezim Muammar Qadafi pada 2011? Seperti halnya negara-negara yang terkena hantaman angin puting beliung Al Arabi' Al Araby alias revolusi rakyat, Libya kini juga sedang mencari jati diri. Namun, di antara negara-negara yang telah dihamtam revolusi rakyat seperti Tunisia, Mesir, dan Yaman, Libya belum mampu bangkit. Negara Arab di Afrika Utara ini belum berhasil membentuk pemerintahan yang kuat.

Sejak ditinggalkan pasukan asing (Barat) yang ikut membantu menjatuhkan rezim Qadafi, Libya sepertinya tidak ada pemimpin. Pemilu ternyata tidak berhasil mendatangkan anggota-anggota parlemen yang berkualitas. Di antara mereka justeru terjadi konflik tajam dan saling tidak percaya. Akibatnya, pemerintahan yang terbentuk pun sangat lemah dan korup. Rakyat pun sudah tidak percaya kepada apa yang disebut orang-orang pemerintahan. Yang terjadi kemudian maraknya milisi-milisi bersenjata yang bisa menculik dan membunuh siapa pun.

Dalam dua tahun terakhir saja telah terjadi pergantian empat kali perdana menteri. Seorang di antaranya melarikan diri ke luar negeri takut dibunuh oleh lawan politiknya sebagaimana terjadi pada seorang wakil perdana menteri yang tewas di tangan milisi bersenjata. Dalam jangka dua tahun itu juga terjadi pengepungan gedung parlemen, pembunuhan Duta Besar Amerika Serikat, penculikan Duta Besar Yordania, dan sejumlah diplomat asing melarikan diri meninggalkan negara itu. Sejumlah warga Libia, terutama orang-orang kaya dan profesional, juga banyak yang meninggalkan negara itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain.

Dalam kondisi buruk seperti itu, mengutip kolomnis media Al Sharq Al Awsat, Abdul Arahman Al Rasyid, hanya ada tiga kemungkinan yang akan terjadi di Libya. Pertama, runtuhnya negara itu berikut lembaga-lembaganya dan berakhir dengan perpecahan. Kedua, milisi-milisi bersenjata yang berinduk ke Alqaida akan semakin marak dan menguasai kota-kota besar dan strategis yang akan mengakibatkan perang saudara. Ketiga, intervensi pasukan asing dalam jangka yang lama seperti terjadi di Afghanistan dan Irak.

Karena itu bisa dipahami ketika muncul dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Libya kepada seorang tokoh militer seperti Jenderal Khalifa Belqasim Haftar. Haftar yang kini berusia 65 tahun, sebelumnya pernah memimpin perlawanan terhadap Qadafi selama 20 tahun dari pengasingan. Pada 2011, ia pulang ke Libya dan memimpin perlawanan bersenjata terhadap rezim Qadafi hingga kejatuhannya. Kini ia merupakan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Libya.

Tugas Jenderal Haftar tentu tidak ringan. Ia harus mampu menyatukan anggota militer Libya yang kini berkelompok-kelompok dan bercerai-berai. Belum lagi harus menghadapi anggota milisi yang diperkirakan 200 ribu di antaranya mempunyai senjata berat. Mereka 'menguasai' sejumlah kota dan wilayah strategis di Libya. Bila Jenderal Haftar tidak berhasil mengambil kendali keamanan dikhawatirkan Libya akan benar-benar menjadi negara gagal seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, dan Somalia.

Dengan demikian, Libia akan menjadi contoh bagaimana negara-negara Arab, terutama negara-negara yang baru terkena hantaman revolusi rakyat, belum siap melaksanakan demokrasi. Mereka masih memerlukan tokoh-tokoh kuat dari militer seperti halnya Mesir dengan Jenderal Abdul Fatah Sisi. Juga mirip dengan Mesir ketika militer mengambil alih kekuasaan dengan 'peta masa depannya', Jenderal Haftar pun berjanji akan mendukung ketua mahamah agung untuk memegang kendali kekuasaan selama masa transisi.

Pemerintahan transisi ini kemudian menyelenggarakan pemilu anggota parlemen, menyiapkan konstitusi baru, dan kemudian melaksanakan pemilihan presiden. Semua proses kenegaraan ini tentu saja dalam pengawasan militer.

Berbeda dengan Mesir, untuk kasus Libya – yaitu pengambil-alihan kekuasaan oleh militer --, tampaknya akan didukung penuh oleh dunia internasional. Posisi Libya yang strategis yang perairannya berbatasan langsung dengan Eropa serta maraknya milisi-milisi bersenjata menjadikan Libya sebagai perhatian masyarakat global.

Apalagi Libya merupakan negara terpenting sebagai pengekspor minyak dan gas dunia. Karena itu mereka, masyarakat internasional, tidak akan membiarkan Libia ambruk dan jatuh ke tangan kelompok-kelompok garis keras dan milisi-milisi bersenjata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement