Jumat 16 May 2014 06:00 WIB

Momok Sang Capres

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Supriyono

Jantung perpolitikan nasional kian berdegup kencang. Usai pemilihan umum legislatif tanggal 9 April lalu, semua perhatian tertuju pada perhelatan pemilihan presiden yang akan digelar pada 9 Juli 2014.

   

Polarisasi kekuatan politik kian lama kian jelas dan semakin mengerucut. Ibarat laron, partai politik terus mencari pusat cahaya atau rangsangan yang akan didekati. Dua nama kini bersaing keras untuk menduduki singgasana istana, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meski masih memungkinkan munculnya satu nama lagi sebagai calon presiden, namun dua nama inilah yang saat ini paling santer disebut-sebut khalayak.

   

Saling unjuk kekuatan di antara dua kubu ini kian terasa. Secara resmi kampanye memang belum dimulai. Akan tetapi perang udara secara terbuka antara dua kubu sudah mengemuka.

   

Bagi saya merupakan hal yang lumrah bila ada pihak yang melakukan propaganda negatif atau memunculkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki lawan politik alias pesaingnya.  Masyarakat luas memang perlu tahu seluruh rekam jejak yang dipunyai sang calon. Lantaran itu, mengungkap seluruh identitas calon harus dianggap sebagai hal yang wajar. Sepanjang bukan propaganda/kampanye hitam yang berisi sumpah serapah dan fitnah, langkah itu masih bisa dipahami. Namun, bila hal itu berupa fitnah belaka maka selaiknya hal demikian dibuang jauh-jauh atau dihindari.

Propaganda berupa fitnah masih kita jumpai. Salah satu contohnya adalah serangan terhadap Joko Widodo. Menyebarkan informasi, bahwa Joko Widodo sebagai keturunan Cina dan bukan berasal dari keluarga nonmuslim merupakan bentuk fitnah. Anehnya, kalangan agamawan juga ikut terhasut dan menjadi bagian dari penyebarluasan isu ini.

Seorang teman saya mengaku resah dengan hal ini. “Saya sama sekali bukan pendukung Joko Widodo akan tetapi sangat tidak simpati dengan cara-cara yang dilakukan teman pengajian saya yang ikut menyebar isu tak benar itu. Kalau sudah fanatik terhadap calon tertentu, mereka ternyata mengabaikan nilai kebajikan yang diajarkan agamanya,’’ tutur teman saya berapi-api.

Berbeda dengan Joko Widodo, Prabowo sepertinya belum menghadapi serangan fitnah seperti itu. Namun jangan salah, propaganda negatif yang menghantam Prabowo jauh lebih dahsyat. Sebagian masyarakat (terutama aktivis dan kalangan menengah ke atas) kembali mengungkit tudingan keterlibatan Prabowo atas kerusuhan 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa dan belasan warga masyarakat di sekitar Jakarta. Sosok Prabowo sebagai capres dinggap layaknya hantu bagi pegiat hak asasi manusia (HAM).

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat yang mengatakan agar seorang calon pemimpin sebaiknya memiliki rekam jejak yang baik dan bersih dari pelbagai kasus, termasuk pelanggaran HAM. Dalam hal ini, mereka menganggap Prabowo melakukan pelanggaran HAM dan paling bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 tersebut.

Hal yang membuat saya jengah adalah mengapa isu pelanggaran HAM yang diarahkan ke Prabowo --berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden-- baru santer terdengar belakangan ini. Saat Prabowo maju sebagai calon presiden pada konvensi Partai Golkar dalam menghadapi Pemilu 2004, isu itu nyaris tak terdengar. Hampir tak ada satu pun kelompok yang meminta agar Prabowo ditolak sebagai peserta konvensi Partai Golkar.  Kasus serupa terjadi pada saat pemilihan presiden tahun 2009. Prabowo kala itu maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati. Seruan untuk menolak dan menghambat  pencalonan Prabowo yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM atau kerusuhan Mei 1998 juga tak bergema. Tanpa hambatan berarti, Prabowo melenggang dan mendampingi Megawati meski akhirnya kandas dalam pemilu.

Kalau memang Prabowo dianggap sebagai musuh besar HAM, mestinya sejak dulu dia dicegah untuk maju sebagai kandidat dalam posisi sebagai apa pun. Apa karena waktu itu Prabowo merapat ke Mega dan PDIP sehingga keberadaannya tak layak diusik?  Apa lantaran posisi Prabowo hanya sebagai cawapres sehingga dosanya sebagai musuh HAM pun bisa ditoleransi?  Walau beda kasus, kondisi itu hampir serupa dengan peristiwa majunya Megawati sebagai capres usai pemilu 1999. Saat itu ada suara yang menghendaki agar syarat menjadi calon presiden haruslah berpendidikan sarjana atau S-1. Tentu saja usulan ini membuat berang kubu PDIP dan dianggap hal itu hanya hasrat untuk menjegal Mega semata yang memang tak sempat lulus kuliah. Usulan itu akhirnya menguap begitu saja.

Becermin dari kejadian itu, semestinya kita bersikap adil sejak dari awal. Kalau ada ‘hantu’  yang ingin menjadi pejabat, dan kita semua mengetahuinya, sudah selayaknya kita berteriak lantang mengingatkan masyarakat atau bahkan meminta aparat untuk menyingkirkannya meski dia berada dalam satu barisan dengan kita. Jangan karena dia berada di pihak yang berseberangan, lantas kita berteriak sekencang mungkin untuk menyingkirkannya.

Jangan pula karena kita takut kalah, lantas serangan membabi buta itu baru kita lancarkan sekarang. Adillah dalam bersikap dan bertindak dalam suasana apa pun. Sikap adil dan konsisten itu merupakan pelajaran berharga bagi anak-anak kita dan kelak bisa menjadi pijakan dan norma dalam setiap berperilaku atau bertindak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement