Senin 28 Apr 2014 10:07 WIB

Suara Rakyat (Bukan) Suara Tuhan

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Istilah ini begitu populer. Bahkan masyarakat luas pun banyak yang tahu dan mengerti istilah itu dalam bahasa aslinya.

   

Ya, istilah dalam bahasa Latin vox populi vox dei sudah begitu mendunia. Dalam bahasa Indonesia, kalimat sakti ini memiliki makna ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Suara rakyatlah yang akan menentukan hitam dan putihnya panggung politik atau yang menentukan hasil dari kontes politik/pemilu.

   

Awal mulanya, istilah itu lebih dikenal dalam dunia peradilan. Para pengadil dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu keputusan para hakim harus mencerminkan keadilan, suatu tindakan yang hanya bisa dimiliki oleh Tuhan.

   

Agar keputusan hakim mendekati keadilan yang sesungguhnya, maka para pengadil itu harus memahami benar suara rakyat. Paling tidak, keputusan hakim ini harus mendekati kehendak atau suara rakyat banyak. Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebagai penyampai kehendak Illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas dianggap mengusung suara Tuhan.

   

Dalam perkembangannya, istilah suara ‘rakyat adalah suara Tuhan’ lebih menempel ke panggung politik. Kehendak rakyat mayoritas akan sangat menentukan dalam suatu proses politik atau pemilihan umum. Begitu kuatnya kehendak rakyat itu, maka tak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.

   

Untuk alasan itu pulalah maka proses politik yang melibatkan seluruh masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika proses atau keputusan politik itu disampaikan lewat perwakilan yang sering kali bersifat transaksional alias dagang sapi, maka itu dianggap tak sesuai dengan kehendak rakyat atau suara Tuhan.

   

Semula saya sepenuhnya sepakat dengan kalimat sakti yang menjadi landasan setiap penyelenggaraan pemilu. Namun kali ini, saya tak lagi percaya kalimat sakti tersebut. Betapa tidak, bau busuk dalam pelaksanaan pemilu legislatif tanggal 9 April lalu begitu terasa menyengat.

Saya haqul yakin dalam pemilu sebelumnya pasti juga terjadi praktik politik uang, yakni caleg maupun tim suksesnya membagi-bagikan uang pada konstituen menjelang pencoblosan. Hanya saja, temuan banyak pihak soal politik uang tak semasif dalam pemilu kali ini. 

   

Tak hanya antara caleg dengan konstituen, praktik politik uang yang sangat marak juga terjadi antara caleg beserta tim suksesnya dengan para pelaksana pemilu, mulai dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), hingga penyelenggara pemilu di tingkatan yang lebih tinggi. Bahkan kongkalikong untuk memberikan suara pada caleg tertentu sudah diskenariokan sejak sebelum pelaksanaan pemilu.

   

Dua orang teman saya yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di Jakarta dan Jawa Barat mengutarakan hal itu. Menurut cerita teman saya sebulan menjelang pemilu 9 April, beberapa anggota PPS di wilayahnya sering tak datang saat diundang untuk rapat sosialisasi oleh KPUD. Anehnya, mereka justru hampir selalu hadir ketika caleg tertentu melakukan sosialisasi atau temu kader.

   

Teman saya yang anggota KPUD itu sempat menanyakan, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawaban mengejutkan justru datang dari petugas PPS tadi. Para penyelenggara pemilu itu mengutarakan, dengan honor hanya Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu per bulan, apa yang bisa mereka lakukan?  Dengan sadar, sang penyelenggara pemilu itu mengatakan ingin mencari nafkah tambahan. Dalam praktiknya, tambahan nafkah itu dilakukan dengan ‘bermain mata’ bersama sang caleg. Tak heran utak-atik formulir kertas suara C1 pun banyak dilakukan meski hasil resminya sudah ditandatangani oleh para saksi.

   

Tanpa ragu, sang penyelenggara pemilu bahkan menawarkan sejumlah suara pada si caleg dengan imbalan uang. Per suara ada yang ditawarkan dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 200.000, tergantung untuk kursi DPRD atau DPR. Untuk kursi DPR, harga per suara yang ditawarkan memiliki nilai lebih tinggi.

   

Belum lagi kalau kita lihat lolosnya seorang calon anggota Dewan Perakilan Daerah meski dia dianggap memiliki rekam jejak tak baik, yaitu cacat moral. Sang calon anggota DPD itu seorang mantan bupati, yang pernah dihujat khalayak luas dan akhirnya dicopot dari jabatannya karena kasus menikah siri yang dijalani hanya dalam hitungan hari.

Bukan hanya itu, cara dia menceraikan sang istri juga dianggap tak berperikemanusiaan, yakni hanya lewat pesan singkat (sms) dengan dalih sang istri dinilai sudah tak perawan. Aneh bian ajaib, sang caleg ini melenggang lolos sebagai anggota DPD. Perolehan suaranya pun menakjubkan, lebih dari satu juta orang yang mencoblosnya.

   

Dengan kenyataan seperti ini, masihkah kita menganggap suara rakyat adalah suara Tuhan? Bagi saya tidak, sama sekali tidak. Suara Tuhan tidak bisa diperjualbelikan. Suara Tuhan tidak akan pernah memilih caleg brengsek.

   

Bila fakta seperti itu yang terjadi, maka itu adalah suara setan. Suara setanlah yang sangat mudah dipengaruhi untuk hal-hal buruk atau dikomersialkan tetapi tidak pada tempatnya. Suara setan pula yang  memihak atau memilih caleg busuk. Wallahu a’lam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement