Rabu 16 Apr 2014 06:00 WIB

Momentum Kebangkitan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Kencederungan umum kenaikan perolehan suara partai-partai berbasis Islam pada Pemilu Legislatif yang baru lalu harus menjadi momentum kebangkitan spirit Islam dalam Politik. Usaha memulihkan kepercayaan publik pada partai-partai berbasis agama tidaklah terletak pada penggelaran simbolisme keagamaan, melainkan pada kesungguhan mengamalkan nilai-nilai etika ketuhanan dalam politik.

Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam negara Indonesia modern yang menuntut rasionalisasi, Ketuhanan dijadikan salah satu landasan politik? Apa hubungannya antara nilai-nilai keagamaan dengan kemajuan suatu bangsa? Jawaban yang bisa segera diberikan adalah, karena secara historis agama-agama telah menyejarah dalam perkembangan masyarakat Nusantara dan menjadi bagian penting dalam perjuangan dan pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Selain itu, sejarah jatuh-bangunnya peradaban dan bangsa-bangsa di muka bumi mengindikasikan signifikansi peran agama. Samuel Huntington, dalam Who Are We?, menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa, dibandingkan dengan Uni Soviet.

Di AS, urainya, “Agama telah dan masih merupakan sesuatu yang sentral, dan barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006) bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006) mewakili para ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam mempengaruhi demokrasi. Dalam A Study of History, sejarawan terkemuka Inggris, Arnold Toynbee, juga pernah melacak kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban itu. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan transenden, ibarat bangunan istana pasir.

Uraian Huntington tersebut mempertegas pandangan yang melihat hubungan erat antara nilai-nilai dan kemajuan. Dalam kaitan ini, ada argumen yang didukung fakta historis bahwa faktor nilai atau budaya merupakan penentu penting kemampuan suatu negara untuk makmur karena budaya membentuk pemikiran orang-orang mengenai resiko, penghargaan dan kesempatan. Ini menegaskan bahwa nilai-nilai budaya memang penting dalam proses kemajuan manusia karena mereka membentuk cara orang-orang berpikir tentang kemajuan itu sendiri. Secara khusus, nilai-nilai budaya penting karena mereka membentuk prinsip-prinsip yang di sekitarnya kegiatan ekonomi diatur—dan tanpa kegiatan ekonomi, kemajuan tidaklah mungkin.

Memang, ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi yang penting dalam proses demokrasi karena ia mempengaruhi aspek-aspek demokrasi itu sendiri. Tentu saja, banyak faktor yang ikut mempengaruhinya, sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana pula ia menjadi pendorong kemajuan, merupakan hal yang harus dipertimbangkan.

Kedua pandangan tersebut tentu saja hasil generalisasi dan idealisasi, oleh karena realitas variabel-variabel budaya tidaklah hitam-putih melainkan sebuah spektrum di mana warna-warni saling berbaur, dan mungkin variabel yang satu lebih kuat ketimbang yang lain. Menurut Harrison (2006: 436), ada sebab-akibat yang saling mempengaruhi antara budaya dan kemajuan, tetapi kekuatan budaya dapat ditunjukkan. Dalam bukunya yang terkenal Making Democracy Work (1993), Putnam misalnya menyimpulkan bahwa evolusi Italia selama berabad-abad menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada pembangunan ekonomi.

Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan penempatan sila Ketuhanan di atas sila-sila yang lain, politik negara mendapat akar kerohanian dan dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing—seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945—melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.

Dengan peran kepemimpinan moralnya, dalam rangka pencapaian tujuan negara, sila Ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta mempertemukan dalam hubungan simbiosis antara konsepsi ‘daulat Tuhan’ dan ‘daulat rakyat’, yang disebut oleh Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo sebagai ‘teodemokrasi’. Dengan Pancasila, kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekular ke tingkat moral atau sakral. Di sini, terdapat perpaduan antara teosentrisme dan antroposentrisme; terdapat pula rekonsiliasi antara tendensi ke arah sekularisasi dan sakralisasi. Dalam peristilahan politikologi orang memakai konsep religi politik (Kartodirdjo, 1994).

Dalam Pancasila, wawasan teosentris akan memperkuat etos kerja karena kualitas kerjanya ditransendensikan dari batasan hasil kerja materialnya. Oleh karena teleologi kerja yang transendental memberi nilai tambah spiritual, maka hal itu memperkuat motivasi di satu pihak dan di pihak lain memperbesar inspirasi dan aspirasi para warga negara. Dengan wawasan teosentris, kita dituntut untuk pandai menjangkarkan kepentingan (interest) kepada nilai (value) dalam politik. Ada banyak cara untuk menggambarkan perpaduan itu. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa Pancasila adalah mono-dualisme, perpaduan antara nilai-nilai spiritual dan tuntutan pemuasan material. Kuntowijoyo (1997), menjelaskannya dalam terma budaya Jawa, loro-loroning atunggal. Kepandaian memadukan yang abstrak dengan yang konkret, yang absolut-universal-abadi dengan yang relatif-partikular-sementara, dan yang ukhrawi dengan yang duniawi.

Dalam demokrasi yang berketuhanan, kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat. Menurut Kuntowijoyo, Tuhan dan rakyat harus dibaca dengan ‘satu’ tarikan napas, karena itu ditulis dengan ‘teodemokrasi’. Di satu sisi, hal itu berarti bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban dengan sungguh-sungguh. Manusia tidak boleh bermain-main dengan kekuasaan itu. Dalam demokrasi modern, hal ini selaras dengan konsep tanggung jawab dan transparansi. Konsep accountability di hadapan Tuhan Yang Maha ini harus disadari oleh setiap orang supaya orang tidak melalaikan tugas-tugas kekuasaannya. Di sisi lain, harus dicegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atas nama Tuhan dengan mengembangkan demokrasi. Sebelum ada konsep demokrasi, tanggung jawab itu hanya kepada Tuhan. Dalam sejarah Jawa, raja bergelar khalifatullah, dan dalam sistem pengetahuan rakyat, kekuasaan raja memang dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat, karena itu raja bisa bertindak sewenang-wenang. Dengan konsep demokrasi, kekuasaan itu dibatasi oleh rakyat. Kekuasaan itu juga diawasi oleh rakyat, disamping diawasi oleh Tuhan. Di sini kekuasaan itu menjadi transparan, bukan sesuatu yang ajaib, sehingga dianggap steril dari kontrol dan pengawasan.

Di bawah panduan nilai-nilai Ketuhanan, Pancasila bisa memberikan landasan moral dan filosofis bagi sistem demokrasi yang hendak kita kembangkan. Penghayatan mendalam yang membuat sila Ketuhanan itu memiliki makna dalam realitas kebangsaan dan kenegaraan akan membantu memberikan visi pembebasan dan vitalitas bagi masa depan bangsa. Dalam ungkapan Bung Hatta (1956), “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement