Kamis 10 Apr 2014 06:00 WIB

Militerisme Membajak Demokrasi Mesir

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Berita mengejutkan yang datang dari Mesir itu hampir tidak ada gaungnya di Indonesia. Di tengah perhatian dan kesibukan kampanye dan kontestasi politik di tanahair menjelang Pileg 9 April 2014, berita buruk dari Negeri Nil seolah lenyap bersama angin; hanya ada kepulan ‘awan tipis’ menghimbau kesadaran dan solidaritas masyarakat Indonesia yang kemudian lenyap tanpa bekas.

Berita itu bukan sekadar mengejutkan, tetapi juga tidak masuk akal. Bacalah kembali: Pengadilan di Minya, di kawasan selatan Kairo pada 25 Maret lalu menjatuhkan hukuman mati secara massal kepada 528 para pendukung Presiden Mohammad Mursi yang notabene merupakan anggota atau simpatisan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun (IM).

Mereka dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menyerang pos polisi Minya pada Agustus 2013. Serangan ini selain menewaskan para penyerang, juga wakil kepala polisi Minya. Hanya 147 tertuduh yang hadir di pengadilan; selebihnya dijatuhi hukuman mati secara in-abstentia.

Proses ini nampalknya bukan pengadilan; tetapi penetapan hukuman. Para tersangka yang dikurung dalam ruang kecil kotak berkawat rapat tidak diberi waktu membela diri. Para tersangka disediakan pembela yang tidak dibenarkan membantah ‘bukti’ yang diajukan negara lewat jaksa. ‘Pengadilan’ menghabiskan waktu kurang dari satu menit bagi setiap tersangka, yang digunakan hakim tanpa basa basi untuk langsung menetapkan hukuman mati.

Karena itu tidak mengherankan jika Amnesti Internasional menyebut sidang tersebut sebagai ‘pengadilan’ sesat yang sama sekali menyimpang dari logika akal sehat. Sidang itu tidak dapat disebut pengadilan karena gagal memenuhi standar dasar keadilan. Hasilnya, penetapan hukuman mati tidak lain adalah keputusan sesat pengadilan yang didikte diktator militer yang menyembunyikan diri di balik pemerintahan ‘sipil’ interim pimpinan ‘Presiden’ Mansour Adly.

Banyak pengamat internasional tentang Mesir menyatakan, penetapan hukuman mati itu adalah salah satu bukti terburuk ‘pembajakan’ demokrasi (democracy hijacking) oleh militer. Seolah ‘cuci tangan’ dari militerisme yang mengambilalih kekuasaan dari Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis, Jenderal Abdel Fatah El-Sissi mempurnawirawankan diri. Dengan begitu, dia dapat menyertai demokrasi prosedural lewat Pilpres yang direncanakan berlangsung dan dimenangkannya pada 26-27 Mei 2014 nanti. Inilah ‘pembajakan’ demokrasi.

Ironi dan tragedi tengah mengejawantahkan diri di Mesir. Militerisme kembali ke panggung kekuasaan dengan memanfaatkan kekeliruan Presiden Mursi melakukan ‘ikhwanisasi’ begitu berkuasa. Adalah El-Sissi melalui jaringan militer mendorong bangkitnya kekuatan anti-Mursi dan anti-IM, yang kemudian dijadikan alasan menggusur Mursi dari kursi kepresidenan.

Cerita selanjutnya adalah zero-sum-game, permainan hidup mati ala militer. Para pimpinan IM dijebloskan ke penjara; sekitar 1.200 orang—termasuk Mursi—telah, sedang atau bakal diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan kekacauan atau memprovokasi massa. Mereka bisa dipastikan tidak bakal mendapat keadilan. Lalu kantor dan gedung IM disegel, aset keuangannya dibekukan, dan bahkan dinyatakan sebagai ‘organisasi teroris”. Tidak ada kompromi atau akomodasi dari pihak militer yang memungkinkan kelak terbukanya pintu rekonsiliasi.

Sayangnya, tidak banyak masyarakat dunia dan pemerintah negara yang peduli dengan kembalinya militerisme ke puncak kekuasaan Mesir. Mereka seolah membiarkan Mesir dalam keadaan limbo untuk terjerumus masuk abyss—lubang dalam hitam-kelam tidak berdasar.

Jika banyak lembaga internasional—semacam Amnesti Internasional—beserta pemerintahan negara-negara Barat mengecam keras keputusan hukuman mati massal tadi, hampir tidak terdengar suara dari lembaga dan pemerintahan di kawasan Dunia Muslim. Media massa internasional melaporkan, hanya PM Turki Tayyip Recep Erdogan, yang juga sedang menghadapi Pemilu sela menyempatkan diri mengutuk penjatuhan hukuman mati itu.

Pemerintah Indonesia kelihatan juga bungkam seribu bahasa. Hanya MUI lewat salah satu pimpinannya Anwar Abbas, mengatasnamakan ulama Indonesia, mengecam penetapan hukuman mati itu. Juga ada beberapa ormas dan kelompok Islam non-arus utama yang mengecam keras. Selebihnya nampak tidak peduli.

Jika pemerintah Indonesia mati-matian memperjuangkan pembatalan hukuman mati untuk TKW Sutinah di Arab Saudi dengan membayar diyat tak sedikit, sekitar Rp 9-10 milyar, apakah tidak pada tempatnya juga memperlihatkan solidaritas kemanusiaan kepada warga Mesir? Tidakkah patut jika Presiden SBY mengirim utusan khusus untuk memperbaiki kenestapaan dan keaniayaan itu?

Jika pemerintah Indonesia (dan juga MUI dan ormas Islam lain seperti NU, Muhammadiyah dan semacamnya) mau, kesempatan masih ada karena keputusan hukuman mati itu kini sedang dibawa kepada pemegang otoritas keagamaan tertinggi Mesir, Grand Mufti al-Azhar; apakah hukuman mati itu dia setujui atau tolak. Hukuman tetap (inkraag) bakal ditetapkan pada 28 April. Jadi, masih ada waktu bagi pihak yang memiliki leverage (daya tekan, seperti pemerintah, dan ormas) melakukan lobbi dalam usaha menyelamatkan kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement