Rabu 26 Mar 2014 06:00 WIB

Pendidikan dan Kebudayaan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Di atas segalanya, pendidikan adalah suatu proses belajar menjadi manusia. Mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana ditulis oleh David Reeve (2013), manusia adalah “perwujudan khusus” atau “diferensiasi” dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari jagad besar, manusia harus berusaha untuk menyatukan diri dengan aturan alam yang agung itu. Akan tetapi, berbeda dengan respons otomatis yang naluriah dari tumbuhan dan hewan terhadap tuntutan alam, manusia dapat menentukan pilihan dan memiliki peranan aktif dan kreatif di dalam alam. Menurut Ki Hadjar, inilah sifat-sifat kekhalifahan-ketuhanan yang menimbulkan gagasan tentang kehalusan adab, kesusilaan dan kebudayaan. Singkat kata, manusia adalah makhluk yang berkebudayaan dan berkeadaban.

Dalam proses belajar menjadi manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu memiliki tiga potensi besar sebagai kreator kebudayaan, yang disebutnya sebagai “trisaksi” insani: cipta (pikiran), yang membuahkan pengetahuan, pendidikan, filsafat; rasa yang membuahkan keindahan, keluhuran batin, seni, adat istiadat, penyesuaian sosial, nasionalisme, keadilan dan keagamaan; dan karsa (kemauan) yang menimbulkan perbuatan dan buatan manusia seperti industri, pertanian, bangunan-bangunan (arsitektur) dan lain-lain.

Tiga kekuatan tersebut digerakkan oleh pancaindra. Pancaindra terpenting menurutnya adalah penglihatan, yang dihubungkan dengan pikiran, dan pendengaran, yang dihubungkan dengan rasa. Walaupun pikiran biasanya memainkan peran lebih aktif dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang paling seimbang, harmonis dan ritmis, rasa merupakan “sumber” dan “penuntun” akhir. Dalam hal ini, penggunaan musik dan tari Jawa di Taman Siswa mengandung tujuan moral, yaitu pengolahan kepekaan indra-indra tersebut, dan dengan demikian nilai etika dan estetika juga.

Selain itu, sebagai perwujudan khusus dari alam, manusia harus menyadai dirinya sebagai makhluk individu yang khas sekaligus sebagai makhluk sosial yang memiliki persamaan dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial punya kewajiban kepada individu lain, negara dan kemanusiaan secara umum. Pemahaman seperti itu tertuang dalam semboyan, “mangaju-aju salira, mangaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa” (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan manusia).

Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar memperoleh wahana untuk membumikan visinya tentang masyarakat kekeluargaan yang berevolusi bak organisme hidup, di mana “ketertiban dan kedamaian” dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan nasional dapat dicapai “melalui pengenalan dan penerapan asas hak individu untuk menentukan nasib sendiri yang dipadukan dengan tuntutan kolektif”. Dalam visi pendidikan Taman Siswa, karakteristik asas kekeluargaan ini ditekankan sebagai berikut: “Terbawa dari pandangan ‘kesempurnaan dan kesucian hidup’ itulah tak boleh tidak, kita harus mementingkan sempurna dan sucinya keluarga, dengan adanya bapak dan ibu, yang dalam tiap keluarga yang baik berjajarlah tempatnya, sama haknya, berlainan pekerjaannya, bersatu kepentingan, bersatu tenaga, bersatu jiwa.”

Dalam perwujudannya, asas kekeluargaan ini, menurut Ki Hadjar, tidak hanya patut menjadi pedoman dalam kehidupan pribadi, tetapi juga pantas menjadi landasan etis untuk mendamaikan seluruh kepentingan kelompok dalam kepentingan bersama yang lebih besar. Asas ini harus diterapkan oleh manusia dalam berbagai lingkungan sosial, yang dibayangkannya sebagai lingkaran konsentris yang semakin besar: sebagai anggota keluarga, komunitas, bangsa dan akhirnya umat manusia. Asas itu harus diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan dalam ranah kebudayaan masing-masing maupun kebudayaan nasional yang baru; juga dalam berbagai kepentingan kelompok sosio-ekonomi dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan antarbangsa yang merdeka, dengan tujuan bersama yakni: “persaudaraan manusia secara universal”.

Dalam pandangan Ki Hadjar, kebudayaan Indonesia terancam oleh “individualisme, egoisme dan materialisme”, dan ia memperingatkan bahwa tanpa menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan dan kepribadian bangsa “niscayalah kita hanya akan mendapat pergerakan borjuis, yang hanya akan memberi kenikmatan pada borjuis, yakni orang-orang kaum atasan dan pertengahan, sedangkan rakyat akan terus hidup sengsara”.

Alhasil, proses pendidikan sebagai proses pembudayaan harus mampu mengembangkan “trisakti” insani dengan memberdayakan segala potensi indrawinya sebagai ikhtiar untuk memanusiakan manusia. Proses pendidikan juga harus mampu menghubungkan kapasitas moral individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia. Untuk itu, selain diperlukan pendikan moral personal yang biasanya diajarkan lewat pendidikan agama dan filsafat moral, juga perlu pendidikan kewargaan dalam konteks kemajemukan sosial, yang memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstuktur untuk menghubungkan moral judgment dan moral situations yang dihadapinya, serta kesanggunggupan untuk menghadapi aneka perbedaan dengan semangat kekeluargaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement