Senin 24 Mar 2014 09:53 WIB

Tajussalatin, Mahkota Para Penguasa!

HM Subarkah
Foto: Republika/Daan
HM Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah

‘’Tak ada benar dan salah dalam politik. Yang ada hanyalah kalah dan menang!’’ Mungkin sebagian orang hari ini masih percaya akan ‘jargon’ tersebut. Apalagi bila mengingat kuatnya gaung kampanye pemilu yang sekarangi tengah melindas rakyat di akar rumput. Yang di kepala para politisi dan calon politisi hanyalah kata ‘menang’. Bila diibaratkan kucing, apa pun warnanya bulunya, tak peduli ‘putih’ atau hitam, asal bisa menangkap tikus maka tak perlu dipersoalkan. Sebab, yang menang itulah yang akhirnya menulis sejarah serta menentukan benar dan salah.

Dulu ada nasihat yang begitu ‘hebat’ datang dari seorang pegawai negeri asal Italia yang pada tahun 1523 menulis buku ‘Il Principe’ (Sang Penguasa), Firenze Niccolo Machiavelli. Dalam buku itu dia menuliskan berbagai metode untuk meraih kekuasaan sekaligus mengukuhkannya. Dia menyatakan hendaknya seorang pemimpin itu punya dua wajah, yakni licik seperti rubah agar tahu akan perangkap atau seperti singa agar ditakuti rakyatnya.

Bukan hanya itu, Machiavelli pun menyarankan bahwa seorang pemimpin atau penguasa itu tidak perlu mempunyai sifat yang  baik. Bila pun punya, maka kesan tersebut hanyalah sebagai sebuah hal yang pura-pura belaka. Akibatnya, bukan salah seorang pemimpin bila menipu rakyatnya karena sejatinya semenjak semula rakyatnya sendiri sudah menyediakan diri untuk ditipu.

Dan tentu saja buku ini semenjak dilahirkan menjadi sebuah hal kontroversial. Bagi pihak yang sepaham pada pemikiran itu mereka menyatakan buku ini sebagai karya terbaik tentang politik sebab berkata apa adanya tentang kekuasaan. Sedangkan bagi yang kontra, mereka menuduh buku ini adalah kitab politik menghalalkan segala cara untuk berkuasa karena menganggap pemimpin atau penguasa tak ubahnya serigala atau pemangsa bagi sesama. Mereka kemudian menyinggung jargon dari dramawan Romawi pada tahun 195 SM, Plautus: Homo Homini Lupus!

Namun berbeda dengan Machiavelli, pada era yang hampir sama, yakni  1603 M, di Kerajaan Aceh Darussalam, sebuah kitab  berbahasa Melayu yang menyoal kekuasaan, ‘Tajussalatin’ (Mahkota Para Sultan), ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Dan tak sama dengan masa Machiavelli yang menulis bukunya ketika Italia berada dalam masa ‘depresi besar’, Tajussalatin ditulis ketika kerajaan ini dalam puncak kemashuran. Aceh menjadi pusat perdagangan internasional dan kebudayaan Melayu. Penguasa kerajaan saat kitab ini ditulis tengah berada di tangan Sultan Sayid al-Mukamil (1590-1604 M), yang merupakan kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Dalam kitab itu dipesankan betapa seorang pemimpin harus menjunjung kemulaian sikap. Tak hanya patuh pada hukum, dia juga harus memuliakan akhlak atau etika. Tujuan berkuasa dengan menghalalkan segala cara, menumpuk kekayaan, hidup mewah berfoya-foya sama sekali tak diperbolehkan. Yang paling penting lagi seorang pemimpin harus dapat membedakan yang baik dan buruk bagi dirinya, masyarakat banyak, dan kemanusiaan.

Nah,sekarang para calon penguasa yang kini sibuk berkampanye tinggal memilih cara Machiavelli atau al-Jauhari? Mudah-mudahan rakyat yang memilihnya juga tak menyedidakan diri untuk ditipu. Selamat datang sang Penguasa!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement