Kamis 13 Mar 2014 06:00 WIB

Demokrasi: Pelajaran Reflektif

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Azyumardi Azra

Meski masa sejak akhir abad 20 silam dan awal abad 21 sekarang sering disebut banyak ahli demokrasi sebagai ‘abad demokrasi’, jelas demokrasi di banyak negara masih goyah. Hal ini terlihat terjadi bukan hanya di negara-negara yang sudah lebih satu dasawarsa mengadopsi demokrasi seperti Indonesia atau tengah dalam transisi menjadi demokrasi semacam negara-negara Arab yang sejak awal 2011 mengalami pembukaan demokrasi melalui ‘Arab Spring’ yang kelihatan hopeless. Bahkan di negara yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat, demokrasi mengalami stagnasi dan fatigue alias lelah.

Krisis Ukraina versus Rusia yang tengah terjadi sekarang sedikit banyak adalah konsekuensi tidak diharapkan (unintended consequences) dari demokrasi yang belum terkonsolidasi pasca-perpecahan Uni Soviet dan Semenanjung Balkan pada 1990an. Pemerintahan kleptokrasi Viktor Yanukovych terpilih pada Pemilu 2004, padahal ia belum lama tersingkir dari kekuasaan lewat ‘Revolusi Orange’. Tak lama, ia meraih kembali kekuasaan pada 2004 dan terpilih ulang dalam Pemilu 2010 yang penuh politik uang Rusia; dan rakyat Ukraina setelah itu kehilangan harapan karena pemerintahannya yang otokratik dan korup.

Gejala relatif sama juga terjadi di Thailand yang lebih lama menerapkan demokrasi, meski sering mengalami kudeta militer. Dalam beberapa tahun terakhir, demokrasi Thailand lebih menampilkan  mobocracy’, kekuatan massa yang berhasil menumbangkan pemerintahan PM Thaksin Sinawatra dengan menduduki Bandara Suvarnabhumi, pusat kota dan kantor pemerintahan. Berganti dengan PM Abhisit dan Yingluck Shinawatra, mobocracy terus menjadi gejala utama demokrasi di negara ini.Kekuatan massa gagal menumbangkan PM Yingluck dengan berakhirnya pendudukan pusat kota dan sejumlah jalan utama Bangkok. Tetapi dalam kunjungan ke Bangkok pekan lalu, saya menemukan masih berlanjutnya blokade beberapa jalan utama oleh kekuasaan massa anti-Yinguck.

Melihat berbagai fenomena itu dan juga gejolak transisi menuju demokrasi di sejumlah negara lain, nampak kekuatan lama bangkit kembali. Atau muncul pula kelompok lain yang pada dasarnya mewakili apa yang disebut Fareed Zakaria sebagai ‘illiberal democracy’. Mereka ini membajak demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ini dalam konteks negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sering disebut sebagai kekuatan politik ‘Islamis’.

Gejala terahir ini terlihat di beberapa negara Arab yang mengalami ‘Arab Spring’ sejak awal Januari 2011; mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman sampai, Bahrain, Syria. Pada keempat negara yang disebut pertama, pembukaan demokrasi berhasil menumbangkan rejim-rejim otokratik yang berkuasa dalam jangka waktu lama. Sedangkan di Bahrain, gerakan pro-demokrasi ditumpas habis penguasa; sementara di Syria gerakan demokrasi berhadapan dengan kekuatan militer Presiden Bashar Assad yang berujung perang saudara yang terus berlanjut sampai , mengorbankan ratusan ribu tewas dan jutaan lainnya menjadi pengungsi.

Pembukaan demokrasi di Tunisia dan Mesir menghasilkan rejim-rejim Islamis. Mengikuti teori ‘jebakan demokrasi’ (democracy trap), kekuatan politik Islamis memenangkan Pemilu, dan kemudian menggunakan demokrasi untuk kepentingan dan agenda mereka sendiri. Hasilnya ketidakpuasan terus meningkat yang berujung pada pelengseran Presiden Mursi di Mesir untuk digantikan pemerintahan bentukan militer. Tidak perlu waktu lama bagi ancien-regime untuk kembali ke puncak kekuasaan melalui Jenderal Asisi, calon kuat untuk Presiden yang hampir bisa dipastikan terpilih dalam Pemilu beberapa bulan mendatang.

Masih di kawasan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Turki dan Indonesia, demokrasi berjalan lebih baik, walaupun bukan tanpa banyak masalah. Di kedua negara yang sering diharapkan menjadi ‘model’ bagi Dunia Muslim dalam hal sistem politik demokrasi, perkembangan yang terjadi belakangan ini bukan tidak mencemaskan.

Di Turki, pemerintahan PM Recep Teyyep Erdogan berhasil melindungi demokrasi dari kudeta militer melalui kebijakan dan tindakan keras. Erdogan sangat tegas dan keras tidak hanya terhadap militer pembela Kemalisme (sekularisme), tetapi juga terhadap suara kritis, khususnya wartawan yang tanpa sungkan dipenjarakan sehingga Turki kini menjadi salah satu negara yang memenjarakan paling banyak wartawan.

Otoritarianisme Erdogan kian meningkat dalam beberapa bulan terakhir ketika sejumlah kasus korupsi mega (diduga melibatkan lingkaran keluarganya dan partai berkuasa AKP) mulai terungkap ke depan publik. PM Erdogan memecat banyak polisi dan jaksa; dan juga memindahkan hakim kritis ke tempat terpencil. Ia bahkan menutup sejumlah sekolah yang berafiliasi dengan Gerakan Gulen atas tuduhan sekolah bersangkutan menyebarkan paham sesat terhadap penguasa.

Demokrasi Indonesia tidak mengalami gejala kembalinya otoritarianisme ancien-regime seperti di Mesir atau Ukrania, meski ada kalangan yang rindu pada masa Orde Lama di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Juga tidak terlihat gejala kebijakan dan tindakan represif semacam dilakukan PM Erdogan di Turki.

Masalah dengan demokrasi Indonesia adalah pemerintahan yang tidak efektif dalam melakukan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat kecil. Sementara itu, korupsi masih tetap merajalela. Dalam keadaan tidak kondusif ini, demokrasi bukan tidak mungkin menjadi ‘kambing hitam’. Karena itu Pemilu 2014 seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki demokrasi kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement