Jumat 07 Mar 2014 10:06 WIB

Pengadilan Tanpa Ujung

taufik rachman
taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID, Kontroversi mengenai materi rancangan undang undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), tampaknya bakal semakin panjang. Menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang  mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, dan menyatakan PK boleh diajukan lebih dari satu kali.

Antasari mengajukan permohonan pengujian Pasal 268 ayat 3 UU 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya satu kali. Mahkamah pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah berpendapat keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali karena dimungkinkan ditemukan keadaan baru (novum) yang saat PK pertama kali atau sebelumnya belum ditemukan. Pengadilan yang seharusnya melindungi hak asasi manusia (HAM) tidak membatasi PK hanya sekali. Dengan membatasi PK, pengadilan telah menutup proses pencarian keadilan dan kebenaran.

Memperhatikan pertimbangan majelis, kita patut berbangga. Karena putusan itu secara tidak langsung 'memerintahkan' pengadilan untuk terus membuka proses pencarian keadilan dan kebenaran. Pengadilan harus mengedepankan hak asasi manusia dan tidak membatasi kesempatan seseorang untuk mencari keadilan dan kebenaran.

Pada sisi lain, kita bingung dengan keputusan itu. Karena seseorang boleh mengajukan PK lebih dari satu kali, proses peradilan akan semakin panjang dan tanpa ujung. Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan sulit dicapai, bahkan akan semakin sulit diwujudkan.

Dalam ranah pidana Peninjauan Kembali merupakan suatu putusan pengadilan yang terakhir dan berkekuatan hukum tetap. Misalnya, putusan PK Mahkamah Agung dalam kasus dokter Ayu. MA mengabulkan permohonan dokter Ayu dan menggugurkan putusan majelis kasasi yang menjatuhkan pidana 10 bulan penjara.

Atas putusan itu dokter Ayu dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman. Iapun dibebaskan dari penjara. Dr Ayu memang pernah mendekam dipenjara, karena putusan kasasi menghukumnya 10 bulan penjara. Sekalipun ia mengajukan PK, pengajuan PK tidak bisa melepaskan dirinya dari eksekusi putusan majelis kasasi yang menghukum pidana 10 bulan. Dokter Ayu harus mendekam dipenjara.

Bagaimana dengan nasib dokter Ayu bila kejaksaan mengajukan PK. Haruskah dokter Ayu mendekam di penjara lagi. Rumit, tanpa ujung dan tidak jelas kapan suatu proses peradilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap, membayangi hukum pidana kita. Kita akan menghadapi sebuah dilema yang baru. Tidak terbayangkan misalnya, terpidana mati yang akan menjalani eksekusi, tiba-tiba mengajukan PK. Karena mengajukan PK, eksekusi ditangguhkan.

Putusan MK telah memberi pekerjaan rumah yang dahsyat dan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Bila tidak, putusan ini akan mejadikan sistem dan bangunan hukum kita berantakan. Ia lebih dahsyat dari isu pengebirian atau pengembosan lembaga seperti KPK, PPATK atau Mahkamah Agung dalam RUU KUHP dan KUHAP yang kontroversial itu.

Barangkali ini momentum tepat untuk mengakhiri kontroversi RUU KUHP dan KUHAP. Pemerintah dan DPR RI harus legawa untuk menghentikan pembahasan. Selanjutnya, melakukan pengkajian ulang materi RUU, sekaligus melakukan penyesuaian terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Merespons keputusan Mahkamah Kontitusi perlu suatu payung hukum yang mengatur tentang peninjauan kembali dimaksud, apakah akan dibatasi menjadi dua kali atau lebih agar ada kejelasan mengenai keputusan hukum yang berkekuatan tetap. Menerbitkan Perpu tentang KUHAP, bisa menjadi jalan bagi pengakhiran kontroversi sekaligus penyiapan materi RUU KUHP dan KUHAP yang bisa diterima semua pihak.** (taufik rachman)

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement