Senin 03 Mar 2014 06:00 WIB

Kacamata Kuda Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Apa yang salah pada Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin (IM) sehingga berhasil digulingkan oleh kudeta militer tepat setahun setelah terpilih jadi presiden/penguasa Mesir?  Sejumlah pengamat Timur Tengah sebagaimana dimuat di Aljazira.net – Basyir Abdul Fatah, Yasir Al Za’atira, Amal Musa, Fahmi Al Huwaidi – menilai IM kurang matang dalam berpolitik.

Mereka melihat politik dengan kacamata kuda. Lurus tidak berbelak-belok. Padahal, seperti kita tahu, politik adalah sebuah ‘permainan’ untuk memperoleh kekuasaan. Ia membutuhkan kepiawaian. Politik adalah tarik ulur. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan bagaimana memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Politik adalah pragmatisme.

Di sinilah barangkali kekeliruan IM. Begitu memenangi pemilu presiden, mereka mengambil semua (pemerintah). Mereka tidak melibatkan kekuatan-kekuatan revolusioner lain yang bersama-sama ikut menggulingkan rezim Husni Mubarak. Meminjam istilah Basyir Abdul Fatah (Aljazirah.net, 12/2/2014), IM menggunakan Syar'iyatu Al Shunduq (legalitas kotak suara) sebagai dasar memonopoli kekuasaan. Padahal kemenangan Mursi/IM tidak mutlak. Hanya 51,7 persen berbanding 48.3 persen suara yang diperoleh saingannya, Ahmad Syafiq.

Di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, partai pemenang pemilu bisa saja mengambil semua kekuasaan (eksekutif/pemerintah) tanpa menimbulkan gejolak yang berarti. Di Inggris dan Australia bahkan partai oposisi sudah mempunya kabinet bayangan untuk persiapan bila wawaktu-waktu  berkuasa. Namun, tradisi politik semacam ini akan sangat sulit dilakukan oleh negara-negara yang baru mengalami gonjang-ganjing revolusi seperti halnya di Mesir.

Sementara itu, contoh Revolusi Islam Iran juga tidak mungkin dilakukan oleh IM. Revolusi Iran yang menumbangkan rezim monarki Shah Reza Pahlavi boleh dikata digerakkan oleh seorang tokoh, yaitu Ayatullah Imam Khomeini. Sedangkan revolusi di Mesir tidak ada satu tokoh sentral. Perlawanan menggulingkan Mubarak dilakukan berbagai kelompok dengan idealisme politik yang berbeda-beda. Dari kelompok pemuda, sekuler, liberal, komunis, kelompok Muslim moderat, hingga kelompok kiri dan  kelompok garis keras lainnya. IM hanyalah salah satu kelompok dari mereka.

Dengan kondisi seperti itu mustinya IM berbagi kekuasaan (koalisi) dengan kekuatan-kekuatan revolusioner lain. Ia tidak seharusnya memaksanakan kehendak. Apalagi kelompok-kelompok fulul (rezim Husni Mubarak) masih sangat kuat, yang diwakili oleh militer, kepolisian, aparat hukum, media, dan juga lembaga keagamaan seperti Al Azhar. Semua lembaga yang tersebut ini belum tersentuh oleh reformasi. Bahkan hampir semua pejabatnya dipilih sejak zaman Mubarak. Ahmad Syafik -- pesaing kuat Mursi dalam pemilu presiden -- misalnya,  merupakan pentolan rezim Mubarak. Ia perdana menteri terakhir dari rezim fulul.

Namun yang justeru terjadi, Mursi dan IM ingin berkuasa sendirian. Mereka hanya berkoalisi dengan Partai An Noor dari kelompok Salafi yang tidak menonjol perannya dalam revolusi rakyat menggulingkan rezim Mubarak. Salafi kemudian terbukti berkhianat bergabung dengan militer untuk ikut menggulingkan Mursi. Padahal yang mereka hadapi adalah Daulah 'Amiqoh, yaitu rezim lama yang sudah mengakar dan berurat berdaging. Daulah 'Amiqoh tidak otomatis ‘habis’ dengan tumbangnya pucuk pimpinan (Mubarak). Ia juga tidak berarti berakhir begitu era baru demokrasi dimulai. Untuk mengakhiri pengaruh Daulah 'Amiqoh diperlukan kerja sama kekuatan-kekuatan revolusioner untuk membentuk pemerintahan sipil yang kuat.

Sayangnya, IM/Mursi justeru membentuk pemerintahan teknokrat yang tidak melibatkan kekuatan-kekuatan revolusioner lain. Bahkan dalam pemerintahan teknokrat itu mereka masih melibatkan pentolan rezim lama untuk pos penting seperti menteri dalam negeri dan pertahanan Jenderal (Purn) Mohammad Ibrahim dan Jenderal Abdul Fatah Sisi). Karena itu bisa dipahami bila kelompok-kelompok revolusioner lain (pemuda, liberal, sekuler, sosialis/kiri, moderat) sangat marah karena tersisihkan. Mereka merasa berperan besar dalam gerakan revolusi menggulingkan rezim Mubarak. Bahkan revolusi pelengseran Mubarak boleh dikata diawali dari aksi-aksi unjuk rasa yang digalang para pemuda. Namun, ketika IM berkuasa mereka tidak ikut menikmati kue kekuasaan.

Mereka yang kecewa dan marah inilah yang selama setahun kekuasaan Mursi dan IM membentuk kelompok oposisi yang kuat. Mereka hampir setiap hari berdemonstrasi menentang setiap kebijakan Presiden Mursi. Mereka menuduh Mursi dan IM ingin menjadikan Mesir sebagai negara Ikhwanul Muslimin (Akhunatu Al Daulah). Apalagi pengaruh IM terbukti merasuk di hampir semua lini kehidupan. Dari kehidupan sosial, keagamaan, hingga bisnis dan lainnya.

Ketika kemudian Mursi dan IM menawarkan dialog dan bahkan berbagi kekuasaan,  kelompok oposisi pun menolak. Mereka menilai tawaran itu terlambat. Apalagi posisi Mursi dan IM sudah mulai terdesak. Mereka bahkan bertekad segera mengakhiri kekuasaan Mursi dan IM. Untuk maksud ini mereka pun melilih berkoalisi dengan militer, kepolisian, dan sisa-sisa rezim Mubarak di lembaga-lembaga tinggi negara yang dulu mereka lawan.

Karena itu bisa dimengerti pula bila aparat keamanan dan hukum sengaja melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi unjuk rasa menentang Mursi dan IM. Hampir sepanjang setahun, pemerintahan Presiden Mursi  terus digoncang demonstrasi dan tindak kriminalitas. Gangguan kamtibnas (keamanan dan ketirtiban nasional) ini pada gilirannya menyulitkan roda pemerintahan Mursi.

Buntut dari semua itu adalah terjadinya polarisasi rakyat Mesir. Puncaknya pada 30 Juni 2013 -- tepat setahun kekuasaan Presiden Mursi --, berlangsung demonstrasi besar-besaran antara yang pro dan kontra terhadap Presiden Mursi. Dengan alasan penyelamatan bangsa dan negara dari perpecahan, Jenderal Sisi -- didukung kelompok oposisi – empat hari kemudian mengumumkan pelengseran presiden dari IM itu.

Penggulingan Mursi yang kemudian diikuti dengan keputusan bahwa IM sebagai organisasi terlarang jelas merupakan pukulan telak bagi partai Islam dan demokrasi. Mesir akan kembali 'dikuasai' oleh militer atau oleh orang-orang yang mendapat restu dari mereka. Sedangkan demokrasi hanya sebagai asesoris seperti halnya pada zaman Husni Mubarak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement