Kamis 27 Feb 2014 05:35 WIB

Jilbab Dilarang Masuk Kampus Turki

Deden Mauli Darajat
Foto: dokpri
Deden Mauli Darajat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Deden Mauli Darajat (Alumnus Universitas Ankara Turki, Dosen Komunikasi UIN Jakarta)

Setibanya saya di Turki pada akhir 2009 lalu, saya sangat ingin mengunjungi kampus Universitas Ankara, dimana saya akan belajar. Namun keinginan itu tidak langsung terwujud karena saya harus menyelesaikan masalah administrasi untuk tinggal di asrama mahasiswa di bilangan Cebeci. Setelah selesai masalah asrama, saya juga harus menyelesaikan administrasi untuk kursus bahasa Turki selama setahun.

Setelah semua urusan beres dengan bantuan teman saya, Furqan Aulia, yang sudah dua tahun tinggal di Ankara, akhirnya saya bisa berkunjung ke kampus Universitas Ankara. Karena mayoritas warga Turki di Ankara berbahasa Turki, saya pun mengajak Furqan, karena selain sudah fasih berbahasa Turki ia juga adalah mahasiswa S2 Fakultas Teknik Universitas Ankara.

Setibanya di depan kampus, saya tercengang ketika berada di depan pintu gerbang Universitas Ankara di Tandogan. Pasalnya, sekelompok mahasiswi berkerudung berkumpul di sebelah kanan pojok pintu gerbang kampus.

Saya perhatikan mereka dan bertanya-tanya dalam hati mengapa mereka berkumpul di sana dan ada apa gerangan. Selidik punya selidik rupanya mereka sedang melepas jilbab mereka sebelum memasuki kampus Universitas Ankara. Sebagiannya lagi sedang menggunakan jilbab untuk keluar kampus.

Sebenarnya larangan jilbab masuk kampus ini tidak berlaku bagi Fakultas Teologi Islam di seluruh universitas di Turki. Hanya di fakultas ini saja jilbab boleh masuk. Di fakultas lainnya tetap tidak boleh.

Menurut pengamatan saya, ada beberapa tipikal orang ‘berjilbab’ masuk kampus. Pertama, mereka menggunakan wig atau rambut palsu yang dapat menutupi jilbabnya. Kedua menggunakan topi agar rambutnya bisa tertutup dan tidak terlihat. Ketiga, melepas jilbabnya secara utuh namun pakaian tetap tertutup rapat hingga ujung kaki.

Perubahan keadaan dari Kesultanan Turki Usmani menjadi Republik Turki sejak tahun 1923 memang begitu dahsyat. Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk melarang semua yang bersangkutan dengan atribut keagaaman di ruang publik milik pemerintah seperti kampus, kantor pemerintahan dan parlemen.

Ataturk juga mengubah bahasa Turki yang dahulu menggunakan abjad Arab kini menjadi abjad latin. Ia sendiri yang langsung mengajarkan bahasa Turki beserta gramatikalnya kepada sejumlah siswa di seantero Turki. Peci dan jubah ala Arab juga dihilangkan dan diganti menjadi topi dan jas berdasi.

Perubahan ini tergambar dari film yang saya tonton di bioskop Turki berjudul Hur Adam. Dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana ulama masyhur di zaman Ataturk, Said Nursi dilarang untuk berdakwah.

Perubahan Konstitusi

Hampir setahun saya menetap di Turki, pada tanggal 12 September 2010, negara berpenduduk 70 juta itu mengadakan referendum. Dalam referendum itu warga Turki memilih untuk mencoblos ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk perubahan Konstitusi Turki. Hasilnya, dimenangkan oleh ‘ya’ untuk perubahan konstitusi yang mendapatkan hasil 57,88 persen suara.

Tidak lama setelah referendum, di akhir tahun 2010, Dewan Pendidikan Tinggi (YOK) mengeluarkan surat edaran yang berisi pencabutan larangan jilbab masuk universitas. Sejak saat itu mahasiswi tidak lagi berkumpul di pojok pintu gerbang kampus untuk melepas atau mengenakan jilbabnya. Beberapa teman saya yang tadinya tidak berani berjilbab akhirnya mengenakan jilbab ke kampus.

Meski sudah diberlakukan jilbab boleh masuk kampus, beberapa mahasiswi Indonesia yang kuliah di Middle East Technical University (METU) yang mengenakan jilbab masih mengenakan wig untuk menutupi jilbabnya. Mereka beralasan, beberapa dosen mereka masih tidak menerima akan penghapusan larangan jilbab masuk kampus. “Daripada nanti bermasalah, mending pakai wig,” ujar Annisa Ike Rossmila asal Magelang.

Saya jadi teringat kata-kata yang diucapkan Andi Mallarangeng dalam sebuah diskusi ketika ia menjabat sebagai Menpora yang berkunjung ke Ankara Turki bersama rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2010. Andi Mallarangeng saat itu mengatakan bahwa Turki adalah negara extreme secularism.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement