Sabtu 15 Feb 2014 06:00 WIB

BPJS dan Tiga Catatan Hati Ayah

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Asma Nadia

Hati calon ayah mana yang tak berbunga, saat menanti anak pertama. Angga, kenalan saya, pun begitu, tak sabar menanti kehadiran jabang bayi yang dikandung istrinya. Hanya saja status pengangguran dan  minimnya dana  persalinan  membuatnya khawatir luar biasa. Syukurnya kekhawatiran itu mendapat titik cerah saat dia  mendengar program Jampersal (Jaminan Persalinan) dari pemerintah, yang siap menanggung biaya persalinan bagi kalangan tidak mampu.

Tapi rasa khawatir tak sepenuhnya hilang,  pasalnya  saat itu ia berada di Depok dan istrinya ber-KTP Kalimantan. Apakah  Jampersal akan tetap berlaku? Alhamdulillah, karena berlaku nasional tidak ada masalah dengan Jampersal. Ini terjadi pertengahan tahun 2013.

Dedi Padiku, yang tidak lain ipar Angga, ikut bergembira  mendengar berita ini, mengingat  istrinya yang baru mulai mengandung. Syukurlah, berarti mereka tidak perlu memusingkan biaya persalinan.

Tapi kelegaan tidak berlangsung lama, sebab kemudian terdengar kabar Jampersal dihapus. Alasannya, pemberlakuan Jampersal akan mengakibatkan masyarakat tak mampu  dengan mudah  memutuskan punya anak tanpa memikirkan biaya persalinan. Jika hal ini terjadi,  pertumbuhan

penduduk dikhawatirkan meledak.

Teman sekantor Dedi, Agus,  lain lagi masalahnya. Putra pertamanya yang baru lahir ternyata harus mendapatkan perawatan khusus karena kondisi yang tak biasa. Hanya dalam hitungan hari biaya rumah sakit sudah menyentuh angka 10 juta rupiah. Di tengah kebingungan Agus mendapat saran agar mengurus kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sehingga membengkaknya biaya perawatannya anaknya bisa teratasi.

Sehari penuh ayah muda itu pergi mengurus kartu BPJS

Dengan kartu itu, alhamdulillah, ia tidak perlu membayar seluruh biaya perawatan. Agus bercerita  ia hanya dibebani 10 jutaan dari  total biaya 30 jutaan. Itu pun  karena yang 10 juta sudah telanjur dibayarkan hingga tidak bisa ditarik kembali, kalau tidak,    maka

biaya sepenuhnya bisa  gratis.

Kisah Agus  membuat Dedi yang sempat murung, kembali berwajah cerah. Akhirnya ada solusi  biaya persalinan dengan Kartu BPJS. Tanpa menunda, besoknya ia meminta izin tempatnya bekerja, untuk mengurus BPJS. Dari kabar yang didengarnya, proses pengurusan konon  cukup ruwet dan

memakan waktu.

Ternyata benar. Perlu waktu berjam-jam hanya untuk mengantri. Sampai akhirnya ia  meminta bertemu  kepala penyelenggara. Di ruang pimpinan penyelenggara,  ia menemukan masyarakat yang kecewa dengan program layanan kesehatan pemerintah tersebut. Seorang  ibu  menangis tersedu-sedu karena anaknya yang seharusnya  segera dioperasi, terpaksa belum bisa diambil tindakan sebab dia  tidak memiliki kartu BPJS, meski tercatat sebagai peserta program  Askes.

Ada juga manajer perusahaan yang setiap bulannya membayar cukup mahal untuk Jamsostek tiba-tiba mendapatkan kenyataan semuanya kini dibatalkan meski masih dalam masa pertanggungan.

Ada berbagai kisah-kisah lain mewarnai penerapan BPJS. Keruwetan yang menyebabkan penanganan terlambat  dan  bisa  mengakibatkan cacat fisik permanen, bahkan berisiko kehilangan nyawa.

Sejujurnya saya benar-benar mengangkat topi atas program kesehatan pemerintah untuk membantu kalangan dhuafa. Tetapi membatalkan secara sepihak, hak masyarakat yang sudah tertib membayar asuransi berdasarkan program pemerintah sebelumnya, tentu bukan langkah  bijak.

Kalau program yang lalu dialihkan, seharusnya langsung berlaku otomatis. Bukan justru terkesan  menghukum mereka yang sudah memliki kesadaran baik tentang asuransi.

Jika ditujukan untuk kepentingan sebanyak-banyaknya masyarakat, maka program seharusnya diintegralkan dalam sistem pemerintahan, melibatkan kelurahan, RT dan RW, hingga semua strata tersentuh.

Pemerintah harus aktif menjemput bola dengan mengunakan data yang ada,bukan jusru mengulang data yang sudah ada. Untuk program skala nasional, bukankah sudah ada data base yang bisa digunakan? Kartu keluarga bisa dipakai,  tinggal disatukan. Apa gunanya rakyat memiliki  E KTP yang menghabiskan triliunan kalau semua pendataan terkait berbagai hal harus diulang kembali.

Bukan tak menghargai niatan baik pemerintah. Bukan tak memaklumi proses penyesuaian yang mensyaratkan waktu. Tetapi niat baik membutuhkan pengorganisasian yang baik pula sehingga menghasilkan pencapaian terbaik.

Semoga berbagai pihak segera berbenah agar bisa memberikan pelayanan lebih sempurna dan program mencapai sasarannya, yaitu memudahkan masyarakat tidak mampu. Bukan justru menimbulkan  kerugian bagi rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement