REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Asma Nadia
Hati calon ayah mana yang tak berbunga, saat menanti anak pertama. Angga, kenalan saya, pun begitu, tak sabar menanti kehadiran jabang bayi yang dikandung istrinya. Hanya saja status pengangguran dan minimnya dana persalinan membuatnya khawatir luar biasa. Syukurnya kekhawatiran itu mendapat titik cerah saat dia mendengar program Jampersal (Jaminan Persalinan) dari pemerintah, yang siap menanggung biaya persalinan bagi kalangan tidak mampu.
Tapi rasa khawatir tak sepenuhnya hilang, pasalnya saat itu ia berada di Depok dan istrinya ber-KTP Kalimantan. Apakah Jampersal akan tetap berlaku? Alhamdulillah, karena berlaku nasional tidak ada masalah dengan Jampersal. Ini terjadi pertengahan tahun 2013.
Dedi Padiku, yang tidak lain ipar Angga, ikut bergembira mendengar berita ini, mengingat istrinya yang baru mulai mengandung. Syukurlah, berarti mereka tidak perlu memusingkan biaya persalinan.
Tapi kelegaan tidak berlangsung lama, sebab kemudian terdengar kabar Jampersal dihapus. Alasannya, pemberlakuan Jampersal akan mengakibatkan masyarakat tak mampu dengan mudah memutuskan punya anak tanpa memikirkan biaya persalinan. Jika hal ini terjadi, pertumbuhan
penduduk dikhawatirkan meledak.
Teman sekantor Dedi, Agus, lain lagi masalahnya. Putra pertamanya yang baru lahir ternyata harus mendapatkan perawatan khusus karena kondisi yang tak biasa. Hanya dalam hitungan hari biaya rumah sakit sudah menyentuh angka 10 juta rupiah. Di tengah kebingungan Agus mendapat saran agar mengurus kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sehingga membengkaknya biaya perawatannya anaknya bisa teratasi.
Sehari penuh ayah muda itu pergi mengurus kartu BPJS
Dengan kartu itu, alhamdulillah, ia tidak perlu membayar seluruh biaya perawatan. Agus bercerita ia hanya dibebani 10 jutaan dari total biaya 30 jutaan. Itu pun karena yang 10 juta sudah telanjur dibayarkan hingga tidak bisa ditarik kembali, kalau tidak, maka
biaya sepenuhnya bisa gratis.
Kisah Agus membuat Dedi yang sempat murung, kembali berwajah cerah. Akhirnya ada solusi biaya persalinan dengan Kartu BPJS. Tanpa menunda, besoknya ia meminta izin tempatnya bekerja, untuk mengurus BPJS. Dari kabar yang didengarnya, proses pengurusan konon cukup ruwet dan
memakan waktu.
Ternyata benar. Perlu waktu berjam-jam hanya untuk mengantri. Sampai akhirnya ia meminta bertemu kepala penyelenggara. Di ruang pimpinan penyelenggara, ia menemukan masyarakat yang kecewa dengan program layanan kesehatan pemerintah tersebut. Seorang ibu menangis tersedu-sedu karena anaknya yang seharusnya segera dioperasi, terpaksa belum bisa diambil tindakan sebab dia tidak memiliki kartu BPJS, meski tercatat sebagai peserta program Askes.
Ada juga manajer perusahaan yang setiap bulannya membayar cukup mahal untuk Jamsostek tiba-tiba mendapatkan kenyataan semuanya kini dibatalkan meski masih dalam masa pertanggungan.
Ada berbagai kisah-kisah lain mewarnai penerapan BPJS. Keruwetan yang menyebabkan penanganan terlambat dan bisa mengakibatkan cacat fisik permanen, bahkan berisiko kehilangan nyawa.
Sejujurnya saya benar-benar mengangkat topi atas program kesehatan pemerintah untuk membantu kalangan dhuafa. Tetapi membatalkan secara sepihak, hak masyarakat yang sudah tertib membayar asuransi berdasarkan program pemerintah sebelumnya, tentu bukan langkah bijak.
Kalau program yang lalu dialihkan, seharusnya langsung berlaku otomatis. Bukan justru terkesan menghukum mereka yang sudah memliki kesadaran baik tentang asuransi.
Jika ditujukan untuk kepentingan sebanyak-banyaknya masyarakat, maka program seharusnya diintegralkan dalam sistem pemerintahan, melibatkan kelurahan, RT dan RW, hingga semua strata tersentuh.
Pemerintah harus aktif menjemput bola dengan mengunakan data yang ada,bukan jusru mengulang data yang sudah ada. Untuk program skala nasional, bukankah sudah ada data base yang bisa digunakan? Kartu keluarga bisa dipakai, tinggal disatukan. Apa gunanya rakyat memiliki E KTP yang menghabiskan triliunan kalau semua pendataan terkait berbagai hal harus diulang kembali.
Bukan tak menghargai niatan baik pemerintah. Bukan tak memaklumi proses penyesuaian yang mensyaratkan waktu. Tetapi niat baik membutuhkan pengorganisasian yang baik pula sehingga menghasilkan pencapaian terbaik.
Semoga berbagai pihak segera berbenah agar bisa memberikan pelayanan lebih sempurna dan program mencapai sasarannya, yaitu memudahkan masyarakat tidak mampu. Bukan justru menimbulkan kerugian bagi rakyat.