Jumat 14 Feb 2014 06:00 WIB

Hariri dan Penceramah Seleb

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

Oleh Nasihin Masha

Erving Goffman memilah kehidupan sosial dalam dua bagian: panggung depan dan panggung belakang. Kehidupan sosial itu seperti pementasan. Para aktornya terlibat dalam suatu rutinitas, yang pola tindakannya sudah ditetapkan sebelumnya.

Panggung depan merupakan konsumsi publik, yang di dalamnya terdapat setting dan personal front. Ada manner (tata perilaku) dan appearance (perlengkapan pendukung). Inilah kondisi yang diidealkan sebagai panggung depan.

Sedangkan panggung belakang berisi situasi yang di luar itu semua, tergantung aktornya sedang berinteraksi dengan siapa. Karena itu, tiga elemen esensial yang melekat pada kehidupan sosial semacam ini adalah kesetiaan, disiplin, dan waspada. Ini semata-mata untuk menghindarkan kekacauan.

Namun ada kalanya ada kedekatan situasi antara panggung depan dan panggung belakang. Untuk menghindarkan kekacauan dibutuhkan kebijaksanaan para aktornya, agar panggung depan dan panggung belakang tak bercampur.

Saat ini kita dikejutkan oleh sebuah video seseorang bernama Hariri di wahana sosial media Youtube. Ia yang sedang tampil di panggung memanggil seseorang dari operator sound system. Ia kecewa dengan kualitas sound system.

Orang yang dimaksud menghampiri dan tetap berdiri di bawah panggung --panggung itu setinggi perut orang dewasa. Pria itu menyalami Hariri yang tetap duduk, lalu membungkuk mencium kakinya. Dengan cekatan Hariri berdiri, lalu lutut kirinya menghentak bagian belakang kepala pria yang tetap membungkuk itu.

Hariri mengaku hanya mengunci kepala pria itu. Mirip adegan smackdown. Bukan mendengkul dan menekan kepalanya. Semua kejadian itu disaksikan banyak orang.

Saat itu Hariri sedang berceramah agama di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Untuk memperkuat tampilan sebagai penceramah, ia mengenakan jubah putih dan kepalanya mengenakan turban.

Namun wajahnya yang lucu, gembil, dan kekanakan ia tutupi dengan rambutnya yang tetap ia biarkan panjang menggerai hingga ke dadanya, melewati lilitan turbannya.

Ia juga ingin menjadi penceramah untuk segmen anak muda. Karena itu, ia menggunakan kata ”coy” sebagai ciri khasnya.

Hariri paham benar dengan dunia panggung. Apalagi, ia sering tampil sebagai bintang sinetron dan juga pernah menjadi peserta kontes dai di TPI pada 1997 (kini berubah menjadi MNC). Pria muda lulusan SMAN 17 Kota Bandung ini adalah orang yang sadar betul tentang dunia panggung sesungguhnya, bukan semata panggung kehidupan sosial.

Tindakan Hariri seolah melengkapi wajah gagap panggung para penceramah saat ini. Kita tiba-tiba dikejutkan oleh bermunculannya para penceramah baru. Mereka muncul tenggelam bak jamur. Cepat merekah dan cepat lenyap. Cepat ngetop dan cepat sirna.

Ini berbarengan dengan dua fenomena yang bergerak beriringan. Pertama, berkuasanya dunia televisi. Kedua, laju sosial ekonomi yang cepat pasca reformasi. Penetrasi televisi di Indonesia mencapai 94 persen. Paling dekat hanya dikejar penetrasi internet yang cuma mencapai 29 persen. Radio dan koran tertinggal jauh di belakang. Televisi seolah menjadi penguasa tunggal dalam menentukan opini publik.

Akibat kemajuan sosial ekonomi pasca reformasi, masyarakat makin terintegrasi dengan wajah budaya pop. Ini terbukti penetrasi dua media pop --televisi dan internet-- menjadi yang tertinggi. Selain itu, mobilitas sosial dan kompetisi makin ketat. Irama yang cepat ini membuat tingkat stress meningkat.

Pada sisi yang lain lagi, perkembangan intelektualitas tak cepat mengejar. Pragmatisme menjadi wajah dominan kehidupan kita. Hal itu terlihat dari buruknya kualitas acara-acara di televisi. Mereka menonton televisi hanya unguk mencari hiburan ringan. Salah satu dampaknya adalah tampilnya para penceramah seleb.

Pemeran penceramah di acara sinetron yang fiksi bisa menjadi penceramah sungguhan di kehidupan sosial. Dan mereka laku. Publik demikian gamang dan mudah dimanipulasi oleh perangkat pendukung (appearance) seperti jubah, surban, dan turban.

Para penceramah itu pun sadar, seperti disyaratkan oleh Goffman, untuk sebuah pentas yang sukses dibutuhkan sebuah tim. Maka para penceramah itu pun membawa tim pendukung yang berlaku sebagai dayang-dayang yang bertugas membangun kharisma. Para dayang pun memakai jubah, surban, dan turban yang tak kalah mentereng. Dunia dakwah terjebak menjadi dunia bisnis semata. Sekali lagi inilah wajah pragmatisme kita.

Suatu kali, MUI memprotes para pengelola stasiun televisi yang lebih suka menampilkan para pelawak untuk menjadi penceramah. Dengan cepat, mereka tak menggunakan pelawak lagi. Namun mereka mengganti dengan para penceramah yang mereka ciptakan sendiri. Para pengelola televisi mendandani para calon penceramah tentang bahasa tubuh, menciptakan karakter yang menjadi ciri khas, asesoris pendukung, menentukan segmen audiens, dan tetek bengek dunia panggung.

Harapan MUI agar penceramahnya dari kalangan ulama dan dai yang sudah teruji tak tercapai. Para dai sejati biasanya tak sadar kamera, susah diatur, dan tak menghibur. Para pengelola televisi lupa pada manner, perilaku baku yang menjadi laku suci dalam setiap peran.

Manner itulah yang menghubungkan panggung depan dan panggung belakang tetap ada jalinan yang segaris dan harmonis. Bukan sesuatu yang diskontinyu bahkan bertolak belakang. Hal itulah yang membuat kehidupan sosial menjadi kacau.

Sejarah pendakwah di Indonesia biasanya melalui beberapa laku suci. Pertama, menjadi santri dan atau proses kesadaran spiritualitas. Kedua, mengikuti penceramah sebelumnya. Ketiga, mulai dipercaya untuk menggantikan peran penceramah yang dia ikuti. Keempat, melepasnya.

Pelepasan itu dilakukan biasanya setelah dinilai ada kematangan emosi, akhlak, dan spiritual. Bukan semata-mata diajarkan tentang teknik berpidato, logika, dan penguasaan massa. Juga bukan semata-mata penguasaan pengetahuan keagamaan. Semua dijalani tidak dengan instan. Menjadi pendakwah dan penceramah itu seperti proses ulat menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu.

Namun kita tak bisa menyalahkan fenomena ini kepada masyarakat yang tak punya daya kritis, pengelola stasiun televisi yang pragmatis, atau para penceramah seleb yang cuma menjadikan ceramah sebagai profesi mencari uang, tapi kita juga harus mengkritik dunia santri --pesantren maupun sekolah agama-- itu sendiri.

Para santri lebih suka menjadi politisi dan aktivis. Selain itu, pendidikan mereka kurang tune in dengan tuntutan zaman. Ada ulat yang lebih suka menjadi ular daripada menjadi kepompong yang indah. Sehingga wajar jika manner itu menjadi kacau.

Sudah saatnya para santri menyadari perubahan yang terjadi di panggung depan. Silakan menyesuaikan, bukan lari ke dunia lain atau mengutuk perubahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement