Selasa 04 Feb 2014 17:24 WIB

Pembongkaran Vila Liar Diwarnai Praktik Suap

Rep: C54/Andi Nurroni/ Red: Julkifli Marbun
  Sebuah alat berat yang sedang melakukan pembongkaran villa liar di Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor, Jabar, Senin (25/11).  (Antara//Jafkhairi)
Sebuah alat berat yang sedang melakukan pembongkaran villa liar di Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor, Jabar, Senin (25/11). (Antara//Jafkhairi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Bergulirnya program penertiban vila liar di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, ternyata dimanfaatkan sejumlah oknum aparat Satpol PP untuk mencari keuntungan pribadi. Beberapa personel Satpol PP dilaporkan terlibat negosiasi tarif dengan seorang pemilik vila untuk mencoret slah satu vila sasaran penertiban dari daftar target.

Keterangan tersebut diperoleh dari penjaga vila terkait yang tidak ingin disebutkan namanya. Perempuan 45 tahun itu menceritakan kasus tersebut kepada Republika karena alasan ketidaksukaannya melihat praktik kotor yang dilakukan aparat dan majikannya. Menurut dia, ada tiga orang anggota Satpol PP yang terlibat dalam praktik tawar-menawar tarif tersebut, yang masing-masing berinisial T, J, dan W.

Sang penjaga vila mengisahkan, awal pekan lalu, T datang ke tempatnya, lalu meminta dipertemukan dengan majikannya, sang  pemilik vila. Dalam kesempatan tersebut, tanpa basa-basi, T menawarkan tarif Rp 15 juta kepada pemilik vila untuk menghindarkan vilanya dari program penertiban. Alasannya, vila tersebut bangunanya mirip rumah, sehingga bisa dimanipulasi dalam daftar, bukan sebagai vila, melainkan tempat tinggal warga.

Terjadi praktik tawar-menawar ketika itu, di mana penjaga vila menyatakan kesanggupannya hanya sebatas Rp 5 juta. Seperti ditirukan sang penjaga, kala itu T berkata kepada pemilik vila, “Kalau yang begini, biasanya, sih, dia atas Rp 10 juta.”

Sang penjaga lanjut menceritakan, pemilik vila meminta bukti hitam di atas putih atas kesepakatan yang akan mereka ambil. Namun, T menolak dan mengatakan bahwa yang sudah-sudah juga tidak menggunakan perjanjian tertulis.   

Karena bersikukuh menawar Rp 5 juta, T mkemudian menelepon J, yang dia sebut sebagai rekannya, petugas yang mendata vila-vila target pembongkaran. T lantas menyerahkan telepon genggangnya kepada pemilik vila agar keduanya dapat bernegosiasi langsung. Kapada J, F tetap mengatakan bahwa dia hanya sanggup membayar Rp 5 juta.

Menurut penjaga vila, Jumat, akhir pekan lalu, T kembali ke vila tersebut dan terlibat negosiasi berdua dengan pemilik vila. Ketika ditanya sang penjaga, T menjawab, negosiasinya dengan pemilik vila masih belum beres.

Sebelum berurusan dengan T dan J, sang penjaga vila sempat dihubungi W, anggota Satpol PP yang juga menawarkan jasa serupa. Namun ketika itu, sang penjaga tidak menyampaikannya kepada pemilik vila.

Sang penjaga mengaku, vila yang dia jaga kerap disewakan, dengan penghasilan Rp 4 juta hingga Rp 14 juta per bulan. Dari penghasilan itu, sang penjaga hanya diberi Rp 500 ribu setiap bulan, di mana sebagian besarnya habis untuk membayar tukang potong rumput dan membeli perlengkapan perawatan vila.

Menurut sang penjaga, dia bekerja di sana karena tidak punya pilihan lain. Dia tidak memiliki tempat tinggal, dan selama 14 tahun dia dan keluarga hidup di vila tersebut. Penghasilan sehari-hari untuk menyekolahkan anak dia dapat dari membuka warung kecil-kecilan di kamar yang dia tinggali.

Selain soal minimnya gaji, ketidaknyamanan sang penjaga bekerja di sana juga lantaran vila tersebut semakin sering disewa-sewakan untuk para pasangan bukan muhrim. “Saya bercerita begini, karena memang sebenarnya saya sudah tidak nyaman di sini,” ucap ibu empat orang anak tersebut.

Kini, sang ibu penjaga vila berharap pada program pemberdayaan yang dijanji-janjikan Bupati Bogor Rahmat Yasin. “Sebenarnya, bagaimana nasib kami setelah vila dihancurkan? Kok, tidak ada informasi apa-apa?” Ungkapnya.   

Berusaha dikonfirmasi, Kasatpol PP Kabupaten Bogor Tb. Luthfie Syam mengaku baru mendengar berita praktik suap-menyuap dalam program pembongkaran vila yang dia pimpin. Dia menyatakan, bila memang terjadi praktik tersebut sebagaimana diceritakan, dia menyilakan pihak yang mengetahui untuk melapor ke kepada pihak kepolisian, karena menurutnya itu sudah bersifat kriminal. “Jika tidak berani, boleh menghubungi saya, nanti saya antar,” katanya menegaskan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement