Senin 16 Dec 2013 00:01 WIB

Kerusuhan Lapas (Jangan) Terulang Lagi

Rep: Firkah Fansuri/ Red: Julkifli Marbun
  Polisi berusaha mencegah aksi anarkis yang dilakukan para napi saat terjadi kerusuhan di Lapas Kelas IIA Palopo, Sulsel, Sabtu (14/12).  (Antara/Lucas)
Polisi berusaha mencegah aksi anarkis yang dilakukan para napi saat terjadi kerusuhan di Lapas Kelas IIA Palopo, Sulsel, Sabtu (14/12). (Antara/Lucas)

REPUBLIKA.CO.ID, By. Firkah Fansuri

Sepertinya tak salah jika menyebut tahun ini menjadi tahun rekor kerusuhan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Mengapa tidak, karena sepanjang 2013 ini sedikitnya terjadi enam kali kerusuhan di Lapas sejak Januari lalu.

Catatan kurang mengenakan itu bertambah ketika 284 napi di Lapas Palopo, Sulawesi Selatan, Sabtu (14/12), mengamuk dan membakar beberapa ruangan kompleks penjara. Ini adalah kerusuhan terakhir setelah sebelumnya kerusuhan sejenis terjadi di Lapas Labuhan Ruku di Kabupaten Batubara, Sumatra Utara (Sumut) pertengahan Agustus lalu.

Tentu saja berbagai kerusuhan di Lapas membuat kita prihatin. Bagaimanapun ada sesuatu yang kurang tepat sehingga peristiwa kerusuhan itu kembali terulang. Di sisi lain bukan tidak mungkin ancaman kerusuhan serupa tengah mengancam dari Lapas-lapas lain di seluruh nusantara.

Sejauh ini kita mencermati setidaknya ada dua masalah besar yang menjadi penyebab utama kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai Lapas. Kelebihan kapasitas selama ini selalu dituding menjadi penyebab seringnya terjadi keributan di dalam penjara.

Sejumlah penjara di beberapa lokasi dihuni oleh napi dengan jumlah lebih  besar dari kapasitas penjara bersangkutan. Akibatnya suasana di Lapas menjadi kurang kondusif dan potensi terjadinya gesekan pun menjadi cukup besar.

Persoalan kedua yang memicu ketidakpuasan napi adalah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) 99/2012 yang mengatur pengetatan remisi bagi terpidana kasus narkoba, korupsi, dan terorisme. Kasus kerusuhan yang terjadi di Lapas Labuhan Ruku, Sumatra Utara Agustus lalu salah satunya dipicu oleh kebijakan ini.

Sejumlah napi yang tidak memperoleh remisi mengamuk dan membuat rusuh dengan membakar ruang penjara dan mengakibatkan 33 napi melarikan diri.

Agar kejadian-kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari, sudah selayaknya semua pihak, khususnya pemerintah, mencari jalan keluar terbaik. Jika kelebihan penghuni penjara menjadi salah satu persoalan yang cukup serius maka sudah seharusnya pemerintah memperluas kapasitas penjara dengan membangun gedung-gedung Lapas baru.

Langkah lain juga bisa ditempuh untuk berkoordinasi dengan pihak lain, misalnya pengguna narkoba tidak harus mendekam dipenjara namun dikirim di tempat direhabilitasi.

Pemerintah juga sudah selayaknya mengkaji kebijakan PP 99/2012. Apalagi kebijakan ini dinilai banyak kalangan membuat para napi frustasi. Karena sebaik apapun para napi selama di penjara jika mereka terkait dengan narkoba, terorisme, dan korupsi, mereka tidak akan mendapat pengurangan hukuman.

Terlepas dari semua langkah di atas, personil di Lapas juga memiliki andil yang besar untuk menekan kerusuhan-kerusuhan supaya tidak terulang. Apalagi sejatinya Lapas adalah 'sekolah' tempat para narapidana untuk berbuat baik dan tidak mengulangi kekeliruannya.

Karena itu, para petugas di Lapas seharusnya menjadi pembina yang baik bagi para napi. Jangan seperti yang terjadi selama ini,  kondisi napi yang tidak banyak memiliki pilihan layaknya orang di luar penjara, justru banyak dimanfaatkan para petugas Lapas untuk mencari keuntungan pribadi.

Bukan rahasia umum lagi, napi yang memiliki uang banyak akan mendapat fasilitas yang lebih baik dibandingkan napi berkantong tipis. Perlakukan seperti ini akan juga menjadi bibit kerusuhan di luar Lapas yang kelebihan kapasitas dan PP 99/2012.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement