Senin 25 Nov 2013 05:00 WIB

Negara Kok Kayak Kue, Jadi Rebutan..

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

From Russia with Love. Dari Rusia membawa cinta. Inilah judul film James Bond yang dirilis pada 1963. Film ini merupakan seri kedua dan kelanjutan dari film 'Dr No'. Kedua film bergenre spionase ini diadopsi dari novel karya Ian Fleming dengan judul yang sama. Pemain utama kedua film ini adalah Sean Connery yang berperan sebagai James Bond dan bertindak sebagai agen rahasia 007.

Dilatarbelakangi Perang Dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Sovyet), film box office ini mengambil lokasi di Kota Istanbul, Turki, berkisah di sekitar dunia spionase dan intelijen, lengkap dengan sadap-menyadap dan adegan-adegan yang menegangkan. James Bond bertindak sebagai mata-mata super tak terkalahkan. Ia dikelilingi wanita-wanita cantik yang dikenal sebagai Bond Girls.

Film ini kini sedang jadi rujukan sejumlah media dan pengamat Arab terkait dengan pengaruh Rusia yang semakin besar di kawasan Timur Tengah. Tidak jelas apa hubungan cerita film From Russia with Love dengan perkembangan politik di sana. Mungkin karena kawasan Timur Tengah sedang bergejolak, mereka -- sejumlah rezim yang ingin mempertahankan kekuasaannya -- memerlukan agen-agen rahasia secanggih James Bond, guna mematai-matai lawan-lawan politiknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pengaruh Rusia yang semakin besar itu ditandai dengan kunjungan dua menterinya secara bersamaan ke Mesir dua pekan lalu. Media di Arab mendiskripsikan kunjungan itu sebagai ‘Min Rusiya Ma'al Hubb’ atau ‘Al hubb min Rusiya’, yang tak lain adalah  'From Russia with Love'. Kedua menteri itu adalah Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dan Menterti Pertahanan Sergei Shoigu. Selama di Mesir mereka bertemu dengan Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Fattah Al Sisi dan Menteri Luar Negeri Nabil Fahmi.

Sejumlah pengamat Arab menilai positif kunjungan kedua pejabat tinggi Rusia tersebut. ''Orang-orang Rusia telah datang (Al Rus Qodimun),'' judul artikel Abdulrrahman Al Rasyid. ''Kembalinya Beruang Merah Rusia ('Audatu Al Dubb Al Rusy ),'' tulis Abdul Mun'im Sa'id. ''Orang-orang Rusia sedang kembali (Al Rus Ya'udun),'' kata Ali Salim. Ketiganya merupakan kolomnis tetap Al Sharq Al Awsat, harian Arab Saudi yang terbit dari London.

Koran Mesir Al Wafd memandang kunjungan pejabat tinggi Rusia merupakan peristiwa 'bersejarah' dan sangat 'penting'. Bersejarah lantaran ini merupakan kunjungan tingkat tinggi pertama Rusia ke Mesir dalam beberapa dekade terakhir. Pada 1972, setahun sebelum mengalahkan militer Israel, mendiang Presiden Anwar Sadat mengusir ribuan penasihat militer dan para ahli Uni Sovyet dari negaranya. Sejak itu Mesir pun berkiblat ke Washington.

Kunjungan itu juga dinilai penting karena Mesir sedang membutuhkan bantuan dan dukungan negara besar seperti Rusia. Terutama setelah  AS memberhentikan dana bantuan ke Mesir sebesar 1,3 miliar dolar pada Oktober lalu. AS menganggap pemerintahan baru Mesir telah melanggar HAM dan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu terjadinya kudeta militer dan aksi kekerasan terhadap pendukung Presiden Mursi yang digulingkan tentara. Dikabarkan, dari kunjungan dua petinggi Rusia itu telah terjadi komitmen kontrak investasi dan pembelian senjata senilai 4 miliar dolar AS.

Tidak seperti AS, bantuan dari Rusia tanpa syarat apapun. Rusia tidak mempersoalkan negara-negara sahabatnya tentang demokrasi, HAM, atau ideologi politik apa pun. Sejak Uni Sovyet bubar disusul runtuhnya Tembok Berlin, kepentingan Rusia dalam berhubungan dengan negara-negara lain boleh dikata hanyalah kerja sama ekonomi dan keamanan.

Belum bisa diketahui apakah kunjungan dua menteri Rusia ke Mesir ini akan mengubah peta politik di Timur Tengah. Misalnya, Mesir bergabung dengan poros Iran-Suriah, yang selama ini dekat dengan Rusia. Yang jelas, AS dan Rusia saat ini memang saling berebut pengaruh dalam percaturan politik di dunia. Bagi Kremlin dan Gedung Putih, negara-negara lain mungkin sudah kayak kue yang harus mereka perebutkan. Yaitu rebutan pengaruh yang tujuan akhirnya adalah transaksi perdagangan, senjata, dan bidang ekonomi lainnya.

Pemberian suaka terhadap Edward Snowden oleh Rusia harus dibaca sebagai perebutan pengaruh tadi. Saat ini Snowden merupakan most wanted nomor wahid bagi Gedung Putih lantaran telah membocorkan penyadapan yang dilakukan AS dan Australia terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam rangka perebutan pengaruh ini pula Presiden Obama telah mendesak Kongres Amerika agar tidak mengeluarkan sanksi baru terhadap Iran. Ia lebih memilih penyelesaian masalah nuklir Iran dengan perundingan dan diplomasi.

Sebelumnya, Obama sempat berbicara dengan Presiden Iran, Hassan Rouhani, per telepon saat yang terakhir ini menghadiri Sidang Umum PBB di New York pada September lalu. Pembicaraan ini merupakan yang pertama sejak kedua negara putus hubungan diplomatik pada 1979, menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran.

Langkah Obama tersebut tentu membuat kecewa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang telah beberapa kali ingin menyerang pusat-pusat reaktor nuklir Iran. Kekecewaan Netanyahu ini segera ditanggapi Presiden Rusia, Vladimir Putin. Yang terakhir ini kemudian menerima dengan senang hati kunjungan Netanyahu ke Moskow.

Sebelumnya, juga dalam rangka memantapkan pengaruh di Timur Tengah, Rusia – bersama dengan Cina – telah dua kali memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berisi kecaman terhadap kekerasan oleh pasukan rezim Presiden Basar Assad terhadap rakyat sipil. Presiden Putih juga telah berhasil menggagalkan rencana Amerika dan beberapa negara sekutunya untuk menyerang basis-basis kekuasaan Assad, ketika rezim Suriah ini menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya.

Peta politik dunia sekarang memang sedang berubah. Hubungan antar-negara tidak lagi didasarkan pada ideologi politik seperti yang terjadi pada periode Perang Dingin. Amerika yang mendorong demokratisasi terhadap negara-negara dunia ternyata menjadi pendukung utama para penguasa monarki. Kekuasaan secara turun temurun, seperti halnya di negara-negara Teluk, Yordania, dan lainnya.

Sementara Rusia dan Cina kini juga tidak lagi ‘memaksakan’ sistem sosialis dan komunis terhadap negara lain. Hubungan dan perebutan pengaruh kini lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dan pertahanan/keamanan. Dan, dalam peta dunia yang berubah seperti ini mungkin diperlukan agen-agen rahasia secanggih James Bond.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement