Jumat 22 Nov 2013 17:09 WIB

Posisi Australia

Bendera Australia dan Indonesia. Ilustrasi.
Foto: brecorder.com
Bendera Australia dan Indonesia. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Donny Syofyan*

Pascakebuntuan pembicaraan seputar manusia perahu pekan lalu, hubungan antara Indonesia dan Australia kembali memanas. Pemerintah Indonesia memanggil pulang Duta Besar RI di Canberra atas tuduhan bahwa agen mata-mata Australia menyadap ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam konferensi pers pada Senin (18/11) menyatakan bahwa Indonesia sangat terganggu oleh hal ini. Lebih lanjut ia menegaskan, aksi penyadapan ini bukanlah perbuatan cerdas karena melanggar asas-asas kepatutan serta hukum nasional dan internasional.

Sungguhpun Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, sangat menyesalkan implikasi dari pemberitaan media terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi ia menolak minta maaf. Abbott berdalih bahwa Australia tak perlu meminta maaf atas langkah-langkah yang diambil untuk melindungi negaranya sekarang atau di masa lalu. Ini sama halnya dengan mengharapkan negara-negara tertentu meminta maaf kepada negara lain atas kesalahan yang dilakukan pemerintah negara itu di masa lalu.

Tanpa tedeng aling-aling, sikap Abbott ini sudah menegaskan bagaimana pendirian seorang Perdana Menteri Australia terhadap skandal yang mereka lakukan terhadap simbol negara lain yang bernama presiden. Bagi Indonesia, aksi penyadapan ini memang tidak bisa ditoleransi.

Tindakan The Defence Signals Directorate (DSD)—yang sekarang disebut The Australian Signals Directorate (ADS)—sama saja dengan membiarkan pihak Australia mengobok-obok bendera negara atau kedaulatan bangsa. Aksi ini seharusnya dijadikan sebagai momen untuk meneguhkan resistensi domestik berupa penguatan kemandirian bangsa.

Dalam banyak hal, semisal sektor pendidikan dan perdagangan, posisi Australia sangat diuntungkan dalam hubungannya dengan Indonesia. Asia Research Centre (ARC) dari Universitas Murdoch (2013) melaporkan bahwa terdapat sekitar 12 ribu mahasiswa Indonesia studi ke Australia setiap tahun, sedangkan siswa Australia yang belajar di Indonesia hanya sekitar 50 orang per tahun. Jumlah mahasiswa Indonesia yang beroleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) sekitar 300-400 orang per tahun tak sebanding dengan jumlah mahasiswa Indonesia lainnya yang menuntut ilmu ke Negeri Kanguru tersebut dengan dana pribadi.

Ketimpangan proporsi peluang pendidikan ini seharusnya mendorong perguruan tinggi di Indonesia mengambil peran lebih dominan dan proaktif meningkatkan kemandirian bangsa lewat jalur perguruan tinggi. Perlu percepatan untuk mentransformasikan pelbagai perguruan tinggi di Indonesia sebagai universitas berbasis riset, bukan semata-mata pengajaran.

Inilah kunci untuk mendongkrak kualitas perguruan tinggi di Tanah Air untuk bisa menyamai berbagai universitas ternama di Australia, Singapura, atau Malaysia. Hingga kini, puluhan sekolah di Australia datang ke Indonesia saban tahun guna menjemput rezeki mengingat tingginya animo kelas menengah ke atas untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Australia.

Dalam perdagangan, Indonesia memiliki pasar yang lebih besar dan lebih dinamis daripada di Eropa, belum lagi bahwa Indonesia merupakan pasar terdekat untuk pemasaran produk-produk Australia dibandingkan pasar lainnya yang lebih besar di seluruh dunia. Bagaimana dengan nasib sapi-sapi Australia, ke mana akan diekspor? Indonesia adalah pasar ekspor terbesar sapi-sapi Australia meskipun Australia hanya menempati urutan ke-12 sebagai negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia.

Kemandirian ekonomi sejatinya dimulai dengan mengembalikan kedaulatan peternak atau para pengusaha ternak Tanah Air. Kita memiliki areal peternakan yang sangat luas dengan pasar yang sama luasnya. Basrizal Koto (Basko), sebagai misal, memiliki kawasan peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara yang berada di wilayah Riau, lebih kurang 300 hektare.

Ia adalah pengusaha sukses (from zero to hero) yang berpengalaman untuk memberdayakan para peternak juga menumbuhkan kelas-kelas pengusaha baru. Kerja sama antara petani, peternak, dan pengusaha menjadi keniscayaan untuk mengembangkan kemandirian ekonomi lokal demi terciptanya pengawasan mutu, akses ke pasar, dan ketersediaan finansial.

Aksi penyadapan ini pun mengingatkan banyak pihak bahwa tidak ada makan siang yang gratis (there is no free lunch). Amerika Serikat dan sekutunya seperti Australia ingin tetap mendominasi dunia dengan memonopoli informasi. Mereka menggunakan segala cara yang halus, tersembunyi, dan tidak disadari.

Putra-putri Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Negeri Down Under tak perlu gentar bersikap kritis hanya karena mereka beroleh beasiswa dari Pemerintah Australia. Para intelektual yang didanai beasiswa Fullbright di AS tetap saja kritis terhadap kebijakan negara Paman Sam itu, semisal Arief Budiman, Amien Rais, dan Syafii Maarif. Jauh sebelumnya, Hatta sudah menunjukkan dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda, mekipun ia ke ke sana untuk belajar atas beasiswa dari Kerajaan Belanda.

Di pihak Australia, Abbott bukanlah seorang pembelajar yang arif. Presiden Obama telah meluncurkan telaah komprehensif terhadap seluruh program pengawasan AS dalam menanggapi tuduhaan serupa tatkala intelijen AS memata-matai panggilan pribadi dari banyak pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel. Obama menelepon Merkel dan tokoh-tokoh lain dan mengutarakan penyesalannya. Abbott seharusnya bisa menempuh upaya serupa.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement