Jumat 15 Nov 2013 06:23 WIB
Resonansi

Memaknai Curhat-Curhat SBY

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Tiga presiden terakhir Indonesia memiliki ciri tersendiri dalam hal omongannya. Gus Dur disebut sebagai presiden yang doyan ngomong, cerewet. Apa saja ia komentari. Bahkan punya hari khusus: Jumat. Megawati dikenal irit bicara, seperti bisu. Sedangkan SBY dinilai sebagai presiden yang suka curhat, mengeluh. Tentu saja publik memiliki legitimasi untuk memberikan penilaian terhadap presidennya. Itu hak mereka. Itu semacam kritik atau protes.

Tulisan ini tak hendak mengulas tiga presiden tersebut. Tulisan ini hanya akan mengupas presiden saat ini, yaitu SBY. Pada 20 Oktober lalu, SBY genap memerintah selama sembilan tahun. Pada Oktober tahun depan, ia akan mengakhiri jabatannya selaku presiden untuk periode kedua. Sesuai aturan yang berlaku, SBY tak bisa lagi maju sebagai capres pada pemilu tahun depan. Ia bisa maju lagi pada pemilu berikutnya ataupun berikutnya lagi. Konstitusi kita hanya mengizinkan dua kali berturut-turut.

Dalam sembilan tahun kepemimpinannya, SBY telah membawa Indonesia ke posisi yang spektakuler. Saat naik menjadi presiden pada Oktober 2004, APBN kita hanya di kisaran Rp 300 triliun. Kini, sudah lebih dari Rp 1.600 triliun. Tak lama lagi nilai APBN kita bisa mencapai Rp 2.000 triliun. Pendapatan perkapita Indonesia juga meningkat drastis, dari kisaran 1.000 dolar AS menjadi sekitar 4.000 dolar AS. Angka pertumbuhan ekonomi juga stabil di kisaran 5-7 persen per tahun. Sejumlah indikator-indikator makro lainnya juga memperlihatkan kemajuan yang berarti yang bisa dicapai SBY. Itulah yang membuat posisi Indonesia bak gadis molek yang diminati banyak pihak.

Semua itu tak lepas dari kepemimpinan SBY. Strateginya di bidang ekonomi dan didukung strateginya di bidang politik telah membuat Indonesia bisa bergerak maju. Tentu saja banyak kritik terhadap kebijakan SBY. Misalnya soal angka kemiskinan, pengangguran, pemerataan, kedaulatan ekonomi, dan sebagainya. Kritik yang tak kalah pedas adalah dalam hal pemberantasan korupsi. Namun yang membuat SBY pusing adalah persoalan politik. Hal ini akan menimpa siapa saja yang menjadi presiden Indonesia.

Ini karena tak ada partai yang bisa menguasai mayoritas mutlak di parlemen. Walau SBY memenangkan pilpres 2009 dengan 60,8 persen dalam satu kali putaran, tapi Partai Demokrat hanya menguasai 26,7 persen kursi di parlemen. Hal ini membuat SBY tak aman di parlemen. Karena itu ia merangkul banyak partai di kabinet, bahkan jika perlu semua partai memiliki wakil di kabinet. Gerindra dan PDIP sudah coba dirangkul, namun gagal. Hanya Hanura yang tak pernah terdengar untuk masuk kabinet.

Posisi Demokrat yang tak bisa menguasai parlemen membuat SBY berpaling ke publik. Itulah yang ia jaga. Tak heran jika kemudian SBY selalu menjaga pesonanya. Walau mungkin tak secara sadar, ia selalu menjaga tingkat popularitasnya di mata publik. Ia memperhatikan betul rating dirinya di lembaga survei. Hal ini menimbulkan tudingan miring pada dirinya sebagai presiden yang selalu tebar pesona dan gemar pada pencitraan. TB Silalahi, salah satu penasihat penting SBY, bahkan mengemukakan untuk menjaga penampilannya agar sesuai dengan karakter dasarnya, SBY menyewa konsultan dari Inggris. Gerak tengan dan bahasa tubuh SBY menjadi ciri khasnya saat berpidato. Bagi yang mengikuti SBY sejak di militer, tentu tak mendapati gayanya yang seperti itu – walaupun kesantunan dan kecerdasannya sudah melekat.

Namun kegaduhan politik tetap saja membuat siapapun yang menjadi presiden Indonesia menghadapi tekanan yang luar biasa. Hal ini bisa kita saksikan di awal-awal SBY menjadi presiden. Karena itu ia selalu hati-hati dalam membuat kebijakan. Namun kantung matanya demikian menebal dan menggantung tak lama setelah ia menjadi presiden. Wajahnya tak sesegar di masa kampanye pada 2004. Seperti kata Megawati, menjadi presiden itu gampang, yang susah adalah menjadi pemimpin. Ia pernah merasakan itu dalam kepemimpinannya yang singkat sebagai presiden. Seperti pepatah Belanda, //leiden is lijden//. Memimpin adalah menderita. Harus mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan diri dan keluarganya. Tak akan makan sebelum seluruh rakyatnya makan. Mengorbankan seluruh kepentingan dirinya sebelum menuntut rakyatnya berkorban. Memikul tanggung jawab lebih dulu sebelum meminta rakyatnya bertanggung jawab. Tak menuntut hak sebelum rakyatnya mendapatkan hak-haknya.

Tapi presiden tetaplah manusia. Ia ingin berbagi cerita. Ia ingin melaporkan apa yang ia sudah perbuat. Tujuannya bisa macam-macam, salah satunya agar semua bisa belajar dan berkembang bersama. Karena itu ketika berbicara di hadapan pimpinan media, ia mengatakan bahwa dirinya korban pers. Ketika berbicara dengan peternak ia menyampaikan banyaknya kritik terhadap dirinya. Saat berdialog dalam rapim Polri ia menyampaikan dirinya tak henti dihujat. Ia juga berencana membuat buku tentang pengalamannya memimpin Indonesia, yang oleh sebagian pihak justru disebut buku curhat. Namun SBY mengatakan bahwa ia ingin berbagi pengalaman agar siapapun yang menjadi pemimpin harus siap dengan segala risikonya dan menyiapkan diri tentang hal ihwalnya.

Memang, pada akhirnya, menjadi pemimpin itu menjadi penyendiri. Ia sendiri di puncak pohon, di puncak piramida. Tak ada kawan, tak ada tim sukses. Butuh pribadi kuat untuk bisa melaluinya. Karena itu, tak jarang, di balik setiap tokoh besar ada tokoh kecil yang berfungsi menjadi tempolong dan keranjang sampah. Ini semata agar sang pemimpin selalu tampak gagah dan kuat di hadapan publik. Menjadi presiden itu banyak urusannya, hilang dan menyatu dengan rakyatnya. Di sanalah integritas dan harga diri kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement