Ahad 10 Nov 2013 07:37 WIB
Resonansi

Mengurai Benang Kusut Kemacetan Jakarta

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Pernyataan Presiden tentang kemacetan di Jakarta yang merupakan tanggung jawab Gubernur DKI Jakarta memicu pemberitaan luas.

Terlebih komentar tersebut ditanggapi sang gubernur dengan kalimat bahwa tidak sepenuhnya kemacetan di Jakarta menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.  Ada jalan dan trotoar yang sebenarnya masih dalam tanggung jawab pemerintah pusat, selain kebijakan mobil murah--yang ditentang oleh gubernur--juga berpotensi besar menambah kemacetan.

Sekalipun masih dalam batas wajar, persinggungan ini bagaimanapun menunjukkan kebijakan yang tidak sejalan antara Pemerintah Provinsi DKI dan pemerintah pusat. Pa dahal, untuk masalah sebesar ini seharusnya terbina kerja sama yang baik karena terkait kepentingan banyak orang.

Perbedaan ini juga lebih mepertajam ketidaksesuaian visi kedua pihak dalam mengatasi kemacetan di Jakarta, yang bukan hanya terus terjadi, melainkan terbilang kronis.

Pemerintah pada Sep tember 2010 sudah merancang 17 langkah untuk mengurai kema cetan di Ja karta. Salah satu rekomendasinya adalah pengadaan enam ruas jalan layang di DKI. Kementerian PU setuju menjadikan jalan tersebut sebagai jalan tol. Rancangan terkait pun di rekomendasikan jauh sebelum mantan wali kota Surakarta ini menjabat kursi nomor satu di Jakarta.

Akan tetapi, di Balai Kota baru-baru ini pada November 2013, Jokowi justru menganggap pembangunan jalan tol bukanlah prioritas. "Kita mendahulukan transportasi massal. Monorelnya didahulukan, MRT-nya itu didahulukan. Memang kita kekurangan ruas jalan baru 6 persen idealnya 11 persen. Tapi, kalau (transportasi massal) itu sudah, baru itu (tol) dibangun."

Kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian material senilai Rp 12,8 triliun pertahun. Belum lagi kerugian operasional, tingkat stres, dan waktu. Bayangkan uang sebesar itu cukup membangun ribuan kilometer jalan baru.

Lalu, bagaimana solusinya?

Saya bukan sosok ahli dalam urusan dan manajemen tata kota, tetapi saya percaya butuh ide-ide revolusioner untuk bisa mengatasi kemacetan di Jakarta. Mencoba menyelami berbagai ide yang pernah bermunculan, saya melihat beberapa terobosan besar yang tampaknya tidak buruk untuk kembali dipertimbangkan. Ide genap-ganjil, misalnya, sampai sekarang belum diuji. Padahal, hitungan sederhananya akan mengurangi 50 persen kendaraan. Kemungkinan terburuk yang terjadi, para orang kaya membeli mobil lagi, dan terjadi peningkatan jumlah kendaraan roda empat, tapi hanya sekitar 10 persen-an. Sebab, bagaimanapun tidak banyak masyarakat bisa membeli dua mobil.

Ide lain yang terdengar lebih revolusioner adalah memindahkan ibu kota negara keluar wilayah Jakarta, yang akan menempatkan kota metropolitan sebagai kota bisnis sebagaimana New York atau Sydney, kota besar yang bukan ibu kota.  Afrika Selatan bahkan memiliki ibu kota pemerintahan dan ibu kota legislatif di kota yang terpisah.

Dalam sejarah, Indonesia bukan tidak pernah mengalami perpindahan ibu kota beberapa kali. Beberapa negara lain banyak yang berhasil membuktikan perpindahan ibu kota se bagai pilihan tepat.

Ditambah, tidak bisa di mungkiri, sumbangan kemacetan di Jakarta acap kali terjadi terkait dengan kegiatan pemerintah pusat. Ketika ada tamu negara atau kepala negara lewat, tentu saja beberapa ruas jalan di tutup sementara. Selain itu, jika terjadi demonstrasi di depan istana atau di depan gedung parlemen, apalagi jika demonstran berjalan sepanjang jalan utama, sebagian besar jalan utama di Jakarta akan lumpuh.

Pemindahan ibu kota bukan sekadar mengurangi kemacetan, melainkan bisa jadi akan membuat bangsa ini meraih berbagai pencapaian baru, di samping jelas akan memakmurkan daerah di belahan lain Indonesia.

Biayanya memang tidak murah, tapi bukankah kita membuang Rp 12,8 triliun per tahun akibat kemacetan?

Kalimantan sebagai pulau yang bebas dari risiko gempa bumi bisa menjadi kandidat yang baik untuk ibu kota negara dibandingkan Jakarta yang 40 persennya telah berada di bawah permukaan air, rawan banjir, gempa, dan rawan macet.

Papua dan Sulawesi juga kandidat yang bagus, setidaknya ibu kota legislatif tempat anggota parlemen berkumpul dan tinggal. Ide ini tidak hanya sekadar mengurai kemacetan, tapi benar-benar membuat anggota palemen berkonsentrasi untuk membuat perundang-undangan.

Sepertinya terlalu banyak godaan di Jakarta sehingga produktivitas wakil rakyat kita sering terganggu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement