Rabu 30 Oct 2013 07:13 WIB
Resonansi

Yang Muda yang Berilmu

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yudi Latif

Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume no. 14/1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ‘kaoem moeda’ sebagai ‘semua orang Hindia (muda atau tua) yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti atoeran koeno, namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmoe’.

Sejak itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas pengetahuan/keterpelajaran seperti tecermin dalam kemunculan entitas “pemuda-pelajar”. Istilah Belanda ‘jong’, yang kerap digunakan untuk menamai satuan-satuan organisasi pemuda-pelajar pada dekade awal abad ke-20, tidak merujuk pada sembarang pemuda, melainkan memiliki konotasi khusus pada “yang muda--yang terpelajar--yang berilmu”. Jenis pemuda macam inilah yang kemudian melahirkan ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober 1928, sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia.

Dengan modal pengetahuannya, kaum muda menjebol kelembaman kaum tua dengan ”menemukan” politik. Bukan saja, hingga awal abad ke-20, bahasa Melayu-Indonesia tidak memiliki kata yang spesifik untuk ’politik’; tetapi yang lebih penting, lewat proses mimikri dari subjek-subjek kolonial, mereka mulai merumuskan visi dan ideologi politik-perjuangan.

Yang diperjuangkan oleh pergerakan kaum muda adalah kemerdekaan bangsa. Dalam alam pemikiran keindonesiaan, kemerdekaan pun mengandung prasyarat pengetahuan. Kata ‘merdeka’ sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Kawi/ Sansekerta ‘maharddhika’, yang berarti "rahib/biku" atau "keramat, sangat bijaksana/berilmu (alim). Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para "pandita" atau biku Buddha, yang karena keluhuran ilmu dan kebijaksanaannya menduduki stratifikasi sosial yang tinggi. Ditinjau dari sudut ini, perjuangan kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan dengan memperkuat modal pengetahuan/kebijaksanaan.

Dengan kesadaran penuh akan kemuliaan pengetahuan/kebijaksanaan itu pula gagasan kedaulatan rakyat hendak dibumikan. Demokrasi yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa tidaklah disandarkan pada legitimasi suara mayoritas, melainkan pada daya-daya deliberatif (permusyawaratan) dengan mengandalkan kekuatan rasionalitas-keilmuan dan kebijaksanaan.

Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia: cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan.

Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.

Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Orientasi etis ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.

Ketika kekuatan argumentasi (hikmat-kebijaksanaan) berhenti, yang akan berlangsung adalah dua kemungkingan yang destruktif. Pertama, toleransi negatif yang mengarah pada politik dagang sapi untuk kepentingan jangka pendek. Kedua, ‘kekuatan logika’ akan digantikan ‘logika kekuatan’ yang menutup proyek demokrasi dengan konflik-anarkisme di jalanan.

Pada titik inilah, titik genting perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahwa, gelombang pasang kebebasan demokratis di Indonesia beriringan dengan gelombang surut modal pengetahuan. Tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi manusia Indonesia saat ini mendapatkan ancaman dari pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyedian instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Politik tidak dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan, melainkan oleh kekuatan pragmatisme dan uang.

Usaha apa pun untuk memancangkan kembali marwah keindonesiaan harus mempertimbangkan fitrah keindonesiaan yang perjuangan emansipasi berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Untuk itu, Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum untuk memulihkan kembali etos kaum muda, kaum yang ingin mencapai rasa percaya diri dan kemajuan melalui kekuatan pengetahuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement