Jumat 25 Oct 2013 07:08 WIB
Resonansi

Erick, Jadikan Inter Bukti Kebesaran Indonesia

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

“Erick tohir. Saya tidak tahu, apakah dia anggota parpol atau tidak. Kalau tidak, alhamdulillah....” Itulah status Facebook seorang kawan. Rupanya dia belum cukup mengetahui Erick Thohir. Padahal, jika mau sedikit usaha, profil pengusaha muda ini mudah ditemui di jagat internet. Sejak dia membeli Internazionale Milano atau lebih dikenal dengan Inter Milan, namanya menjadi salah satu yang paling populer. Hasil penelusuran Google, ia menduduki peringkat keempat. Ini menunjukkan antusiasme publik Indonesia terhadap pembelian salah satu klub elite di Liga Seri A Italia.

“Resonansi” edisi ini saya mencoba terus memenuhi tuntutan pembaca agar lebih sering menulis hal-hal yang membawa optimisme. Padahal, sebagai wartawan yang lama berkecimpung dalam liputan politik, tangan ini gatal untuk menulis soal Bunda Putri. Sebagian pembaca justru menolak hal itu. Bangsa ini sudah lelah mendengar tentang kisah buruk Indonesia. Indonesia terlalu gaduh membicarakan hal-hal buruk dan bertarung antarsesama. Padahal, jika kita mengikuti forum-forum internasional, mereka mengagumi perkembangan Indonesia yang pesat akhir-akhir ini.

Skala ekonomi Indonesia melesat jauh, stabilitas politik terjaga dengan baik, pluralitas bangsa dan toleransi bisa berjalan beriringan, dan Indonesia merupakan negeri demokrasi dengan jumlah penduduk nomor tiga terbesar di dunia. Prestasi-prestasi individual warga Indonesia di tingkat internasional juga banyak tercatat. Namun di negeri sendiri, hal-hal baik itu tak cukup terlihat.

Kini, kita dibahagiakan oleh berita pembelian 70 persen saham Inter Milan oleh tiga pengusaha muda Indonesia: Erick, Rosan Roeslani, dan Handy Soetedjo. Erick memimpin konsorsium tersebut. Pria kelahiran tahun 1970 ini memulai bisnisnya di media. Namun, ia memiliki hobi yang kuat di bidang olahraga sejak ia masih di bangku sekolah, terutama basket. Karena itu, sepulang menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat, ia membeli klub basket. Lalu, membesarkannya dengan nama Satria Muda Britama. Ia kemudian terpilih sebagai ketua umum asosiasi basket Indonesia (Perbasi). Dia membangun liga basket yang sehat dan profesional. Hasilnya, basket Indonesia bisa bersaing dengan raksasa Filipina. Setelah itu, ia terpilih sebagai presiden asosiasi basket Asia Tenggara (SEABA). Di sini ia membangun liga basket Asia Tenggara. Satu-satunya liga olahraga di kawasan ini. Tak heran jika kemudian ia terpilih sebagai wakil ketua umum Komite Olahraga Indonesia. Hobinya di basket dilanjutkan dengan pembelian klub Philadelphia 76ers, sebuah klub di satu-satunya liga basket terbaik di dunia, NBA.

Keterlibatannya di sepak bola dimulai dengan ikut konsorsium pembelian saham Persib. Setelah itu, ia memimpin konsorsium pembelian saham DC United, anggota liga utama sepak bola Amerika Serikat (MLS). Akhirnya, ia membeli Inter Milan. Proses pembelian ini memakan waktu berbulan-bulan. Bukan proses yang mudah dan sederhana. Bahkan hingga kini, setelah penandatanganan pembelian pun, masih ada saja yang mengganggunya. Muncul julukan miring terhadap Inter. Kata Internazionale dipelesetkan menjadi Indonezionale. Julukan miring lainnya adalah Jakartone dan Tho Inter. Sebagian publik Italia masih belum rela ada investor asing memiliki klub mereka. Hal ini berbeda dengan situasi di liga Inggris. Di negeri ini sudah bukan hal baru sebuah klub dimiliki orang asing. Manchester United, Manchester City, Chelsea, Liverpool, atau Arsenal adalah klub-klub yang sudah dikuasai investor asing. Namun, di Italia hal itu belum lumrah. Karena itu, perundingan pembelian Inter berlangsung alot dan panjang. Di sinilah kita sebagai bangsa Indonesia bisa berbangga hati.

Pertama, orang Indonesia bisa memiliki klub elite di liga terbaik ketiga di dunia. Kedua, ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah bisa go international. Selama ini kita lebih terbiasa menyaksikan investor asing yang datang ke Indonesia. Kali ini kita datang ke negeri lain. Bukan di dunia ketiga, tapi di Eropa. Italia juga juara dunia empat kali, terbanyak kedua setelah Brasil. Ketiga, kita bisa memanfaatkan pembelian ini untuk memajukan persepakbolaan nasional. Kita bisa belajar tentang manajemen sepak bola dan menyinergikan pembinaan pemain Indonesia. Tentu, kita berharap ada pemain Indonesia yang bisa lolos untuk bermain di liga Italia.

Keberhasilan pembelian ini juga bisa membangkitkan rasa percaya diri kita. Tak gampang untuk meyakinkan bangsa kulit putih. Mereka selalu merasa lebih tinggi dibandingkan dengan ras berwarna. Pandangan ini tampak rasis. Namun, realitas itu bisa kita rasakan, bahkan kadang terucapkan. Untuk bisa memenangkan pembelian ini pun dibutuhkan kemampuan bernegosiasi dan penyusunan tim yang tepat. Bukan semata soal uang. Walau bagaimanapun klub ini sudah dimiliki tiga generasi keluarga Moratti. Tak gampang untuk melepaskan sesuatu yang sudah melekat. Ada persoalan harga diri dan citra diri. Apalagi, pria berumur 43 tahun harus bernegosiasi dengan pria yang pantas menjadi bapaknya. Massimo Moratti berumur 68 tahun. Kita beruntung dengan budaya Indonesia yang mengajarkan kerendahan hati, keramahtamahan, dan kesederhanaan. Titik itu menjadi keuntungan tersendiri saat bernegosiasi. Ternyata, budaya Indonesia merupakan titik unggul tersendiri. Karena, sebetulnya sudah ada pengusaha dari negara lain yang berminat, tapi mentok karena faktor pembawaan diri.

Latar belakang Erick yang dididik keras oleh ayahnya membentuk dirinya menjadi orang yang gigih dan tahan banting. Ayahnya sengaja memasukkan anak bungsunya ke sekolah negeri saat SMA. Bukan disekolahkan ke luar negeri. Dalam suatu kesempatan, sang ayah bercerita bahwa hal itu membentuk Erick untuk lebih mencerna budaya bangsa dan bisa bermasyarakat. Ayahnya sadar hal itu membuat anaknya bisa menjadi sasaran olok-olok. Sesuatu yang kemudian benar-benar terjadi. Justru di saat itulah ia diajarkan untuk bertahan. Untuk bisa membeli Inter, Erick menjadi sasaran media-media Italia yang tajam. Bahkan, mereka mengirim reporternya ke Jakarta untuk memburu Erick. Hal itu tak menggentarkannya. Ia ingin menunjukkan bahwa sudah saatnya Indonesia mengepakkan sayapnya di segala bidang di langit dunia. Saat ini, GDP Indonesia yang terbesar ke-16 di dunia. Pada 2030-an, Indonesia akan menjadi kekuatan ketujuh ekonomi dunia. Tentu, hal itu tak bisa dicapai jika manusia Indonesia tak bisa bertarung di level internasional.

Cina sudah bergerak lebih jauh. Negeri yang dulu sangat melarat itu kini menjadi kekuatan kedua ekonomi dunia. Perusahaan-perusahaan Cina sudah mencaplok perusahaan-perusahaan asing. Pengusaha India pun demikian. Langkah Erick semestinya menjadi pemicu bagi pengusaha lain. Jangan salahkan Erick jika memulainya dari sepak bola. Itu karena memang bidangnya. Kita berharap usaha di bidang lain pun terbang bak lebah mengisap sari madu dari banyak hutan. Lalu, kembali ke sarang untuk dikumpulkan. Sarang itu adalah Indonesia.

Pada akhirnya, pembelian Inter telah menjadi sesuatu yang emosional. Julukan-julukan miring terhadap Inter saat ini telah menyentuh kesadaraan kebangsaan kita. Namun, kita tak boleh cengeng. Hal itu juga menjadi pengingat bahwa keberhasilan pembelian justru merupakan awal. Erick harus menjawabnya dengan prestasi Inter; secara bisnis maupun di lapangan hijau. Ada Merah Putih di setiap denyutnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement