Rabu 16 Oct 2013 06:25 WIB
Resonansi

Pengabaian Tanggung Jawab

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif

Bung Hatta mengingatkan, “Demokrasi tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab adalah dua serangkai yang tidak dapat dipisah-pisah. Sebagaimana hak dan kewajiban adalah dua segi daripada keutuhan yang satu, demikian pula pemerintahan demokrasi dan tanggung jawab adalah dua segi timbal balik daripada tuntutan moral.”

Tetapi, demokrasi kita hari ini dirayakan oleh kegaduhan pencitraan di satu ujung serta ketiadaan responsibilitas di ujung yang lain. Di tengah-tengahnya kita legalisasikan penjarahan kekayaan nasional, kita sucikan kebatilan korupsi, dan kita maafkan pengkhianatan. Nurani yang terpojok cuma bisa menggemakan jeritan Julius Caesar, “O! Keterpurukan macam apa ini, saudara sebangsaku; seketika aku dan kamu dan semua di antara kita jatuh terjerembab, sedang pengkhianatan merajalela menikam kita.”

Tiada contoh yang lebih baik dari cermin retak pengabaian tanggung jawab itu seperti kasus yang menimpa (mantan) Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sebagai pejabat tinggi negara yang bertanggung jawab menjaga moral konstitusi dan sandaran akhir para pencari keadilan, ia justru memperlihatkan tindakan amoral dan ketidakadilan dengan mengorbankan kehormatan dan tanggung jawabnya di bawah perbudakan uang, dalam kondisi hidup yang berkecukupan.

Dalam merebaknya pengkhianatan, negara terjerembab ke dalam genggaman adu kepentingan para sindikat. Belum lama berselang, publik terhenyak oleh baku-bongkar kejahatan antarlembaga negara yang secara telanjang mempelihatkan cengkeraman jejaring kejahatan di segala lini bersamaan dengan robohnya rasa tanggung jawab penyelenggara negara pada kebajikan publik.

Hulu dari segala kejahatan adalah kejahatan kebijakan. Peraturan semestinya disusun secara berdaulat demi kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Namun, dalam kealpaan tanggung jawab legislator, banyak undang-undang disusun untuk melegalisasikan penjarahan dan pemiskinan rakyat. Undang-undang tentang minyak dan gas bumi, pengelolaan air, dan penanaman modal asing, hanyalah beberapa contoh legalisasi penjarahan kekayaan nasional oleh modal asing.

Dari berbagai kasus korupsi juga terkuak praktik persekongkolan penjarahan keuangan negara yang melibatkan anggota partai politik yang bertugas di DPR dan yang menjadi pejabat di kementerian. Yang paling mengenaskan, praktik megakorupsi politik ini tak kenal warna asas kepartaian. Bahkan, kementerian yang dikuasi oleh partai bercorak keagamaan pun terindikasi melakukan kejahatan serupa, dengan konsekuensi melakukan sakralisasi tindakan korupsi.

Dalam demokrasi surplus pengkhianatan, kejahatan besar begitu sulit untuk dihukum, tetapi begitu mudah dimaafkan. Kasus megaskandal bank Century dan Hambalang terus digantung sedangkan gembong narkoba kelas kakap begitu mudah diberikan grasi.

Akhirnya, harus disebutkan tentang godaan terakhir sebagai suatu pengkhianatan, yakni melakukan tindakan yang benar untuk tujuan yang salah. Saling bongkar kejahatan antarpejabat negara memang membantu publik mengenali modus-modus korupsi dan pengkhianatan. Namun, motif tersembunyi di balik tindakan tersebut acap kali menghentikan langkah-langkah pembongkaran kejahatan itu sebatas pencitraan, dengan posisi berdiri yang mudah bergeser. Selebihnya, publik hanyalah menyaksikan suatu biduk republik yang retak, dengan para awaknya yang saling bertikai, tanpa kekompakan di bawah garis kepemimpinan sang kapten.

Di setiap penggal sejarah Indonesia, selalu ada para pengkhianat. Namun, belum pernah nalar dan nurani publik begitu terpuruk seperti sekarang ini. Krisis demokrasi kita terjadi persis karena nilai-nilai keadaban publik tidak memiliki sarana yang efektif untuk memengaruhi kebijakan politik. Merebaknya tendensi privatisasi dalam ekonomi dan politik menempatkan kepentingan pribadi di atas nilai-nilai kebajikan publik. Timbullah gejala “civic schizophrenia” yang cenderung melakukan peminggiran atas segala yang “civic” dan “public”.

Dalam situasi seperti itu, meminjam ungkapan Winston Churchill, “Akan menjadi suatu reformasi besar dalam politik sekiranya kearifan bisa tersebar secepat kedunguan.” Tetapi, perembesan kearifan ke dalam kehidupan politik perlu mendudukkan demokrasi di bawah imperatif etis: cita kerakyatan, permusyawaratan, dan hikmah-kebijaksanaan.

Dalam imperatif etis ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha (minorokrasi), tetapi dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga negara tanpa pandang bulu.

Di bawah orientasi etis hikmah-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; serta nilai-nilai persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial. Orientasi etis “hikmah-kebijaksanaan” juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam dengan jangkauan jauh ke depan serta kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan “the virtue of civility”, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama melampaui kepentingan kelompok untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Jika politik memang diabadikan bagi kebaikan hidup bersama, harus ada usaha penataan ulang institusi demokrasi yang memudahkan orang-orang arif bijaksana mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik dari para pengkhianat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement