Jumat 11 Oct 2013 06:00 WIB

Dinasti Atut yang Terguncang

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Angin atau badai? Hembusan atau hempasan? Kita sedang bertanya dan menunggu jenis yang mana yang sedang bertiup di Banten. Kuncinya hanya satu: keberanian KPK.

Ratu Atut Chosiah, gubernur Banten, adalah penerus trah Tb Hasan Sochib. Ayah Atut ini sudah almarhum. Selain dikenal sebagai pengusaha, Hasan juga dikenal sebagai jawara. Dalam tradisi Banten, jawara adalah lembaga sah dalam struktur sosial Banten. Hampir mirip dengan “orang berani” dalam struktur sosial Bugis. Mereka bertugas melindungi masyarakat. Mereka mengabdi atas dasar kehormatan. Para jawara ini independen dan dihormati. Mereka dilengkapi dengan ilmu beladiri dan ilmu kesaktian. Mereka memiliki murid, yang selanjutnya menjadi subordinat. Namun untuk ilmu pemungkas hanya diwariskan berdasarkan ikatan darah. Karena itu keluarga jawara bersifat turun temurun.

Seiring dengan derap modernisasi tak semua kelurga jawara meneruskan tradisi ini. Karena itu sebagian ilmu kesaktian di Banten mulai punah. Pada sisi lain, modernisasi juga membawa kesetaraan dan peluang pada siapa saja. Konsep jawara pun bergeser. Kadang tak harus memiliki kemampuan beladiri atau kesaktian. Para jawara pun tak melulu hanya menjadi penjaga keamanan kampung. Mereka bisa berevolusi, termasuk menjadi politisi dan pengusaha.

Hasan Sochib termasuk di antara jawara yang berhasil melakukan transformasi. Setelah Hasan sukses menjadi pengusaha, anaknya, Atut, menjadi gubernur Banten. Setelah itu, secara perlahan, mereka berhasil menempatkan sanak kerabatnya di berbagai jabatan penting. Hanya Lebak, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang yang belum mereka pegang. Sedangkan lima kabupaten/kota lagi sudah ada wakil keluarga mereka, sebagai bupati/walikota ataupun wakil bupati/wakil walikota. Selain itu, mereka juga menempatkan keluarganya di DPR RI, DPD RI, DPRD, dan lembaga-lembaga lain seperti KNPI. Poligami yang dilakukan Hasan juga menjadi titik 'lebih'. Mereka tak kehabisan stok untuk menempatkan keluarganya di banyak tempat.

Ruchir Sharma, penulis buku dan peneliti, menyinggung bahaya politik dinasti. Hal itu ia ungkapkan saat menjadi pembicara di forum APEC CEO Summit di Bali, awal pekan ini. Di hadapan para top eksekutif perusahaan dari berbagai negara kawasan Asia Pasifik itu ia mengingatkan Indonesia tak boleh terjebak politik dinasti. Jika hal itu terjadi maka Indonesia akan kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi. Hal itu, katanya, telah menimpa Argentina. Dalam diskusi bertema breakout nations itu, Dirut Pertamina Karen Agustiawan setuju Indonesia tak boleh terjebak politik dinasti.

Politik dinasti merupakan virus yang bisa melumpuhkan demokrasi. Walau dilakukan melalui prosedur formal demokrasi, politik dinasti merusak, menyabot, dan menggergaji demokrasi. Ia seperti parasit, yang membuat tubuh tak bisa berkembang optimum. Politik dinasti tak hanya terjadi di Banten, tapi juga di berbagai wilayah lain di Tanah Air. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah. Bahkan di partai, seperti di Partai Demokrat. Politik dinasti berkecambah di negeri yang sedang tumbuh (emerging country) seperti Indonesia. Dulu, Argentina dan Filipina merupakan dua negara yang berhasil berkembang mendahului negeri-negeri lain. Namun kemudian surut karena digerogoti politik dinasti. Karena itu, Indonesia tak boleh masuk perangkap yang sama. Jika benalu tumbuh di banyak ranting sebuah pohon maka pada saatnya pohon itu akan layu dan mati. Jika politik dinasti menyelinap di banyak wilayah dan lembaga, maka Indonesia hanya menyisakan para drakula.

Hasan Sochib tak hanya jawara, dia juga bergelar tubagus. Ini adalah gelar ningrat warisan kesultanan Banten. Walaupun bukan gelar untuk ulama, pada umumnya para tubagus di masa lalu merupakan ahli agama. Hingga kini, di perdesaan Banten, para ulama biasanya lahir dari keturunan tubagus. Para jawara merupakan kompatriot dari para tubagus. Bisa dibayangkan legitimasi sosial yang direngkuh Hasan Sochib karena memiliki dua kekuatan dalam stratifikasi sosial Banten. Apalagi dia juga sukses menjadi pengusaha dan kemudian menjadi penguasa melalui anaknya. Tak heran jika politik dinasti di Banten menjadi keniscayaan belaka. Trah Hasan Sochib telah memiliki segala persyaratan untuk menduduki puncak stratifikasi. Namun kini mereka sedang terguncang.

Tb Chaeri (Wawan) Wardhana, adik Atut dan suami Airin Rachmi Diani (walikota Tangerang Selatan), kini menjadi tersangka kasus suap. Ia diduga menyuap hakim Mahkamah Konstitusi dalam kasus sengketa pilkada Lebak. KPK juga mencekal Atut. Kita masih menunggu waktu, apakah KPK akan menetapkan Atut sebagai tersangka atau tidak. Atut dan Wawan adalah dua figur sentral keturunan Hasan Sochib. Tak heran jika kasus ini memanaskan Banten. Sejumlah mahasiswa beramai-ramai menggunduli kepalanya. Mereka girang. Aksi unjuk rasa mulai terjadi. Di sisi lain, sejumlah jawara juga ikut bergerak. Mereka berziarah ke makam Hasan Sochib.

Sudah saatnya kita bertindak cepat. Pemerintah dan DPR agar segera menghadirkan undang-undang anti-dinasti. Ini untuk menyelamatkan Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi alasan pentingnya pembatasan ini. Pertama, masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik. Kedua, gap sosial masih tinggi. Ketiga, birokrasi yang sangat korup. Keempat, oligarki politik sedang tumbuh. Kelima, good governance belum melembaga. Keenam, kontrol sosial masih lemah. Dengan kondisi yang demikian, jika tak ada upaya pembatasan, maka politik dinasti pelan-pelan akan mekar di mana-mana. Hal itu seperti benalu dan parasit yang tumbuh di pohon yang rindang, dan akhirnya pelan-pelan menuju pada kematiannya.

Saat ini, biarlah KPK bekerja dengan jernih. Lembaga hukum yang benar akan memenggal setiap penyimpangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement