Selasa 10 Sep 2013 07:43 WIB

Selamat Jalan Para Tamu Allah!

M Subarkah
Foto: IST
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: HM Subarkah (Reporter Republika)

 [email protected]

Tanpa terasa musim haji 1434 H telah tiba. Secara berangsur-angsur seluruh rombongan calon jamaah haji yang kini jumlahnya mencapai 168.800 berangkat ke Tanah Suci. Kedatangan mereka akan disambut dan dilayani oleh 836 petugas pelayanan haji yang sudah sepekan berada di Jeddah, Makkah, dan Madinah.

Dapat dipastikan secara perlahan tapi pasti kesibukan di 12 embarkasi haji yang tersebar di berbagai wilayah, kini mulai menggeliat. Suasana asrama haji yang sehari-harinya sepi kini ingar-bingar. Para jamaah berdatangan diantar kerabat, handai taulan, hingga para sahabat. Jelas di antara mereka ada kesedihan ketika harus berpisah, namun sekaligus juga ada sikap tawakal serta pasrah ketika melepas para tamu Allah itu. Derai tangis dan alunaan kalimat talbiyah menjadi penanda perpisahan mereka: Labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syarikalaka labbaik. Innalhamda wan ni'mata, laka wal mulk. Laa syarikalak.

Selain menjadi nilai iman dari seorang Muslim, ibadah haji semenjak zaman Rasulullah sampai sekarang tetap mempunyai arti yang strategis. Pada tataran nilai keislaman maka ibadah ini merupakan penyempurna dari kekokohan rukun Islam yang jumlahnya lima itu. Sedangkan dari sisi nilai sosial, ibadah haji merupakan pencapaian dari nilai keberkahan pihak individu dari para calon jamaah haji yang kini bersiap berangkat ke Tanah Suci itu. Apalagi fakta jelas menyatakan di masyarakat Indonesia sosok haji dituntut harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Dia harus bisa menjadi sinar sekaligus pengayom dan pemimpin bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

Tuntutan ideal seperti itu memang terasa muluk. Tapi, ini merupakan tugas sejarah yang harus terus didengungkan kepada setiap telinga para jamaah haji. Haji jelas ibadah penyempurna dari keislaman seseorang, maka tuntutannya setelah menunaikannya posisi moral dan sosial dari para jamaah ini akan mencapai titik tertinggi atau menjadi haji yang mabrur. Mereka seharusnya bukan lagi hanya sekadar menjadi 'warga negara biasa' tapi juga mampu menjadi 'warga negara utama'.

Nilai dan peran haji inipun sudah terulur sepanjang zaman. Dari catatan sejarah sudah menunjukkan betapa pentingnya peran para haji dalam masyarakat Indonesia. Pada akhir tahun 1400-an, catatan para pengelana Spanyol dan Portugis ketiba tiba di kepulauan rempah Maluku sudah jelas menceritakan bahwa para haji saat itu telah menjadi 'lentera' bagi kemajuan masyarakat. Mereka tulus memberikan darma baktinya dengan mengajar dan membimbing rakyat setempat yang masih sederhana.

Di Jawa, misalnya, para haji ini kemudian dikenal sebagai para pendakwah atau guru sufi. Kepada masyarakat mereka tak hanya mengajarkan soal agama saja, namun mereka juga memperkenalkan perangkat sistem sosial dan hukum yang lebih baik, mengenalkan cara berpakaian, hingga mengenalkan mengenai cara menjaga kesehatan, seperti mandi secara rutin, membuat jamban dan sumur.

Pada bidang politik para haji juga semenjak dahulu sudah menunjukkan kepeloporannya. Kepergian mereka ke Makkah misalnya tak hanya dimanfaatkan hanya sekadar sebagai 'kepergian biasa saja', tapi juga dimaknai sebagai sebuah perjalanan untuk menuntut ilmu dan bertukar pengalaman mengenai soal ketatanegaraan. Dari 'forum pelaksaaan haji' inilah kemudian lahir sosok ilmuwan dan pemimpin besar, mulai dari Sunan Gunung Jati, Hamzah Fansuri, Tgc Chik Pante Kulu, Raja Ali Haji, Syekh Yusuf, dan para tokoh pahlawan bangsa lainnya. Pada sisi ini pergi haji pada hakikatnya adalah mengasah permata nurani yang selama ini tersimpan dalam diri!

Namun, untuk mencapai posisi 'haji mabrur' memang butuh pengorbanan. Bukan hanya dari sisi calon hajinya, tapi sisi penyelenggaraan haji pun dituntut untuk terus-menerus memperbaiki pelayanan. Sampai hari ini publik terus menunut pelayanan tertinggi kepada pihak penyelenggara haji. Apalagi publik pun paham uang untuk penyelenggara haji bukanlah sedikit, jumlah dana abadi umat yang terkumpul sudah mendekati Rp 50 triliun dengan bunga mencapai sekitar Rp 4 triliun per tahun. Jelas jumlah yang luar biasa besar.

Pada hari terakhir inipun sudah mulai muncul keluhan. Yang paling nyata adalah fakta yang dialami para jurnalis yang menjadi peliput penyelenggaraan haji. Ada kabar mengejutkan dan datang mendadak. Entah dengan alasan apa tiba-tiba para jurnalis yang biasanya sudah bertugas di Jeddah, Makkah, dan Madinah sebelum jamaah haji datang, kini baru bisa datang kota itu dua pekan setelah kedatangan kloter pertama. Situasi ini jelas membuat repot. Banyak media massa, baik cetak, radio, maupun elektronik memperkecil porsi liputan hajinya. Padahal, laporan mereka seperti pada tahun-tahun sebelumnya selalu ditunggu para keluarga jamaah haji yang berada di Tanah Air. Malahan, khusus untuk tahun ini laporan para jurnalis ini sangat penting artinya sehubungan dengan adanya renovasi kawasan Masjidil Haram sehingga membuat jumlah kuota haji diopotong hingga 20 persen.

Namun, apa pun kendalanya, semua berharap penyelenggaraan haji tahun ini sukses. Mereka yang pulang dari Tanah Suci bisa mendapat predikat sebagai haji mabrur! Amien.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement