Ahad 01 Sep 2013 10:02 WIB
Resonansi

Bahaya Kemapanan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Ketika pertama kali mendengar petuah “Kemapanan adalah musuh besar kesuksesan”, saya membutuhkan waktu untuk mencerna. Akan tetapi, apa yang dialami seorang teman, kemudian memperjelas arti kalimat tersebut.

Laki-laki yang akan saya ceritakan ini merupakan lulusan universitas negeri ternama. Selesai kuliah, tidak seperti sarjana baru lain yang masih berjuang mencari pekerjaan, dia justru langsung memegang posisi strategis dan diangkat sebagai satu-satunya staf perwakilan perusahaan asing yang sedang merintis bisnis di Indonesia. Singkat kata ia merupakan manager, negosiator, researcher, dan melakukan berbagai fungsi yang dibutuhkan perusahaan yang belum memiliki kantor resmi di Indonesia itu.

Untuk memenuhi mobilitas yang tinggi, perusahaan memberinya fasilitas gaji lumayan besar, mobil operasional, kantor, dan segala kelengkapannya. Pendeknya, hidup sang teman dan keluarga terbilang sangat nyaman.

Suatu hari, setelah belasan tahun bekerja membangun jaringan kantor nyaris sendirian, perusahaan akhirnya memutuskan untuk membuka kantor di Indonesia. Awalnya teman saya menganggap ini sebagai berita baik, sebab kini ia tidak perlu melakukan banyak hal sendiri.

Namun, ternyata keputusan tersebut justru menjadi awal kehancuran. Setelah staf asing datang, peran sang teman berkurang. Melihat hal ini perusahaan juga mengurangi fasilitas yang diberikan kepadanya. Ruang bagi si teman semakin lama semakin sempit. Beberapa waktu menimbang-nimbang, dia kemudian mengundurkan diri dari perusahaan. Keputusan yang mengakibatkan seluruh fasilitas kantor yang tersisa, ditarik.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, teman saya tersadar. Selama ini dia mengira memiliki segala, ternyata tidak. Hampir seluruh fasilitas yang mempermudah hidupnya dan keluarga adalah semu. Belasan tahun bekerja, rumah, kendaraan, dan lain-lain belum mereka miliki, sebab selama ini merasa telah tercukupi fasilitas yang diberikan perusahaan. Berbagai kemudahan yang ternyata dengan amat cepat terampas ketika situasi berubah. Zona kemapanan yang nyaman, namun tak nyata. Keluarga mereka kini harus memulai segala sesuatu dari awal lagi. Dan ini sama sekali tidak mudah.

Untuk mencari pekerjaan, akan sulit menemukan perusahaan yang mampu memberi gaji sebesar yang diterimanya dulu. Persoalan lain, rata-rata perusahaan memilih wajah-wajah muda dibanding mereka yang sudah berusia di atas tiga puluh apalagi empat puluh tahun.

Apa yang harus dilakukan? Apalagi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak-anak mustahil dihentikan. Hanya dalam hitungan bulan, sedikit simpanan keluarga pun habis.

Pintu keluar yang akan menyelamatkan mereka sekeluarga, kemudian justru terlihat dari peluang untuk menjadi pekerja migran gelap di Amerika. Benar hanya sebagai buruh, yang di mata sebagian orang merupakan pekerjaan kasar, namun di negeri Paman Sam bisa menghasilkan pendapatan sekelas manajer di Tanah Air.

Dan teman saya tak sendiri. Ada cukup banyak profesional dan manajer lain yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Terlambat menyadari bahwa mereka tak punya apa-apa dan telah terlena kemapanan yang semu. Musibah, ujian dari Allah. Siapa yang sanggup menjamin tidak akan menghampiri?

Saat sang teman bercerita, dengan niat berbagi pelajaran, dalam hati saya mencatat banyak hal. Betapa penting untuk tidak terbius kehidupan mapan yang selama ini mungkin dinikmati. Apalagi jika hanya pinjaman atau fasilitas terkait pekerjaan atau posisi. Di lain pihak, sikap cepat puas dengan apa yang terhampar di depan mata harus dihilangkan.

Tak ada yang abadi. Demi anak-anak yang terus tumbuh dan membutuhkan banyak dukungan orang tua, persiapan untuk menghadapi berbagai ‘skenario buruk’ yang akan merebut kehidupan nyaman dan mapan yang dinikmati harus dilakukan sedini mungkin. Sebagaimana belasan abad lalu, Rasulullah telah berpesan, "Gunakanlah (carilah keberuntungan) pada yang lima sebelum datang yang lima, yaitu masa hidupmu sebelum datang kematianmu: masa sehatmu sebelum datang waktu sakitmu; waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum jatuh miskin." (HR al-Hakim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement