Kamis 25 Jul 2013 07:00 WIB
Resonansi

Indonesia, Turki, dan Arab (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Penggulingan Presiden Mesir Muhammad Mursi oleh militer Mesir pada Kamis dini hari 4 Juli 2013 meningkatkan ketidakpastian transisi demokrasi di dunia Arab. Menduduki jabatan presiden hanya sekitar satu tahun setelah menang Pilpres 2012 dengan sekitar 51 persen suara, Mursi segera menghadapi gelombang protes yang terus membesar karena nepotisme kekuasaan pada al-Ikhwan al-Muslimun (IM). Selain itu, Presiden Mursi dipandang tidak memperlihatkan tanda-tanda mampu mengatasi krisis ekonomi Mesir berlanjut.

Mesir pasca-Mursi tambah rumit. Meski militer menyerahkan kekuasaan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Adly Mansour sebagai presiden interim yang kemudian mengangkat Mohammad Elbaradei sebagai wakil presiden dan Ziad Bahaa el-Din sebagai perdana menteri, eskalasi konflik kian jauh daripada selesai. Sepanjang pergolakan ini sekitar 60 orang tewas —sementara para pembela Mursi bersumpah terus berjuang.

Dengan demikian, sejak ‘Arab Spring’ menemukan momentum pada Januari 2011 di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, dan Suriah masa depan demokrasi kian tidak jelas. Di keempat negara Arab tersebut, rezim-rezim otoriter telah ditumbangkan dan diganti pemerintahan baru hasil pemilu. Tetapi, perkembangan terakhir di Mesir menunjukkan harapan terwujudnya sistem dan politik demokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy) masih jauh dari jangkauan.

Nepotisme partai politik penguasa —dalam hal ini Hizb al-Hurriyah wa al-‘Adalah, Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik IM —berkombinasi kegagalan mengatasi masalah ekonomi beserta kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat, merupakan pil pahit bagi ekspektasi besar masyarakat Mesir agar demokrasi dapat menyelesaikan berbagai masalah secara cepat. Harapan ini yang tampak kian sulit terwujud mendorong kian menguatnya oposisi yang berujung pada kudeta militer.

Masih di dunia Arab, situasi di Suriah juga terus kian tak menentu. Bermula dari gelombang peningkatan aspirasi masyarakat untuk democracy opening berikutan Arab Spring di Tunisia dan Mesir, Suriah tenggelam ke dalam perang saudara di antara kekuatan militer Presiden Bashar Assad melawan barisan oposisi yang mendapat dukungan Barat, Arab Saudi, dan Qatar.

Dalam perkembangannya, perang saudara menjadi perang sektarian ketika rezim Bashar Assad yang Syiah didukung pasukan Hizbullah yang berpusat di Lebanon dan dibantu Iran berhadapan dengan lasykar Suni dukungan Arab Saudi dan Qatar. Dilaporkan pula terdapat anasir Alqaidah yang ikut bertempur atas nama kaum Suni. Keadaannya tambah runyam karena perang saudara disebabkan faktor politik agaknya ‘lebih mudah’ terselesaikan dibanding perang sektarian.

Sementara itu, perkembangan politik di Turki mulai mencemaskan. Setelah menang tiga kali pemilu, PM Tayyip Recep Erdogan dengan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) kini menghadapi tantangan serius. Meski Erdogan berhasil memadamkan gelombang protes di Taksim Square, Istanbul, di Ankara dan beberapa kota lain selama Juni dan Juli 2013, oposisi terus berlanjut. Bukan tidak mungkin kaum oposisi menemukan momentum baru dalam waktu dekat.

Sejak kebangkitan Arab Spring, saya telah mendapat undangan dari beberapa negara dan lembaga internasional di Amman, Stockholm, Den Haag, Jakarta, Madrid, Mexico City, dan Tokyo untuk membahas kebangkitan kekuatan rakyat dan transisi menuju demokrasi. Konferensi-konferensi tersebut sering melibatkan kalangan pemimpin, politisi akademisi, dan stakeholders lain dari Mesir, Libya, Tunisia, dan Yordania. Dari presentasi mereka saya dapat memahami kerumitan dan komplikasi politik, sosial, dan budaya Muslim Arab dalam transisi menuju demokrasi.

Biasanya saya diminta pula memberikan perspektif komparatif dengan Indonesia —sebagai negara Muslim terbesar di dunia— yang mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi setelah rezim Soeharto jatuh pada Mei 1998. Para conveners konferensi meminta saya menjelaskan mengapa transisi demokrasi di Indonesia lebih smooth dengan friksi dan konflik relatif minimal. Apakah semua ini ada hubungannya dengan corak Islam Indonesia dan karakter masyarakat Muslim Indonesia?

Pembahasan komparatif juga ditampilkan Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina pada 17 Juli 2013. Tampil sebagai pembicara Komaruddin Hidayat, rektor UIN Jakarta, dan saya sendiri. Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.

Mengapa perbandingan antara Indonesia, Turki, dan Arab? Alasan utamanya sudah jelas. Indonesia adalah negara dengan mayoritas absolut penduduknya memeluk Islam. Menurut sensus penduduk 2010, sekitar 88,2 persen dari 240-an juta warga Indonesia adalah Muslim. Karena faktor demografi ini, kaum Muslimin menjadi faktor utama dari apakah demokrasi bisa diterima atau tidak. Tanpa penerimaan mereka, demokrasi sulit bertumbuh atau tanpa dukungan mereka, transisi dan konsolidasi demokrasi sulit berjalan baik.

Jelas, kaum Muslimin Indonesia umumnya menerima demokrasi. Mereka memandang demokrasi kompatibel dengan Islam. Pada dasarnya tidak ada masalah di antara Islam dan demokrasi. Dengan penerimaan dan penerapan demokrasi, Indonesia bukan hanya merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, tetapi sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement