Jumat 14 Jun 2013 07:17 WIB
Resonansi

Indonesia Perkasa

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Salah satu cara kerja wartawan adalah mencari diksi dan frasa baru. Bukan saja untuk ketepatan istilah tapi juga memberikan sesuatu yang baru. Ini agar lebih menarik perhatian publik, membangun imajinasi baru dan harapan baru. Selama dua hari ini, Kamis dan Jumat pekan ini, para pemimpin redaksi seluruh Indonesia menggagas sebuah pertemuan puncak di Bali. Sebuah prakarsa baru dalam sejarah pers Indonesia.

Forum Pemred sendiri merupakan institusi baru. Berdiri pada 18 Juli 2012. Diprakarsai 55 pemimpin redaksi dari Jakarta dan sejumlah daerah lain di Jawa, Bali, Sumatra, dan Sulawesi. Dalam deklarasinya, forum ini memperjuangkan independensi wartawan, kebebasan pers, profesionalisme wartawan, dan membangun prakarsa bagi masa depan bangsa dan negara. Pertemuan puncak ini, yang dilaksanakan menjelang usianya yang satu tahun ini, bagian dari mewujudkan komitmen dalam deklarasi tersebut. Konsolidasi masyarakat pers harus makin dikuatkan. Makin banyak kekerasan terhadap wartawan, termasuk pembunuhan wartawan.

Tema yang diusung pun sangat menarik: menuju Indonesia perkasa. Diksi perkasa terasa sangat maskulin. Terjadi perdebatan yang sangat menarik ketika memilih kata ini. Mengapa tidak kuat, maju, jaya, dan semacamnya? Di sinilah posisi profesi wartawan ikut menentukan. Kata-kata kuat, maju, jaya sudah menjadi bahasa yang sering dipakai. Maka kata perkasa terasa baru jika disambungkan dengan kata Indonesia. Dan memang benar, pilihan kata ini menarik minat banyak orang. Mengapa memilih perkasa? Pada satu titik, pilihan ini menjadi berhasil.

Kata perkasa seolah menjadi kebutuhan kita untuk mengekspresikan keindonesiaan kita. Bangsa ini dibangun oleh keperkasaan seorang Sukarno. Frasa-frasa yang sering digunakan salah satu proklamator tersebut begitu menggelora, melambung, dan menggedor negara baru Indonesia. Rasa percaya diri dan semangat untuk menjadi bangsa yang maju demikian menggelegak. Kita pasti mengenal istilah jembatan emas atau menggantungkan cita-cita setinggi langit. Sejarah Nusantara pun dibuat menjadi demikian perkasa. Konon Majapahit menguasai Nusantara dan telah menjelajah ke negeri-negeri jauh. Bung Karno juga membangun proyek-proyek mercusuar. Namun secara perlahan kita membentur realitas. Kita gagap secara ekonomi, kita rapuh membangun fondasi politik, hingga kemudian Orde Lama tumbang. Soeharto, pemimpin berikutnya, tak lagi bergelora. Walaupun tetap menyimpan mimpi Bung Karno. Hingga kemudian, di era reformasi ini, kita mendapati diri kita makin tak berdaya. Timor Timur lepas, Sipadan-Ligitan diambil Malaysia. Di sektor-sektor lain pun kita hanya menjadi pasar negeri-negeri maju. Bahkan kita menjadi semacam laboratorium uji coba barang-barang yang belum teruji buatan Cina seperti sepeda motor dan pesawat terbang.

Tema itu dirumuskan untuk membangunkan kembali “semangat '45”. Tentu saja dengan harapan bangsa ini memiliki strategi yang lebih benar. Tidak sekadar modal semangat, atau modal kuasa. Apalagi sistem politik kita semakin mapan. Ekonomi kita tumbuh positif secara konsisten. Tingkat pendidikan masyarakat kita sudah bagus. Kelas menengah kita makin kuat. Karena itu kita tak bisa menyerahkan nasib bangsa ini pada pihak-pihak tertentu saja. Semua elemen masyarakat harus berpartisipasi. Pers juga bisa ikut berprakarsa. Memang di lingkup pers, sudah ada beberapa organisasi. Tapi tak ada salahnya bila para pemimpin redaksi berhimpun. Apalagi di ormas-ormas kewartawanan, sebagian besar pemimpin redaksi tak bisa aktif. Tak punya cukup waktu. Sedangkan Forum Pemred bukanlah ormas. Ini hanya sebuah forum bersama.

Salah satu kekuatan pers adalah membangun opini publik. Kita berharap jika pers bisa menyuarakan hal yang sama maka akan terbangun kesadaran bersama. Pertemuan puncak ini, selain dihadiri para pemimpin redaksi seluruh Indonesia, juga melibatkan dunia usaha dan pemerintah. Kita berharap ada dialog yang sehat dan konstruktif. Pers agar tak terjebak pada keseharian berita. Pers bisa membuat agenda setting, apalagi jika dirumuskan secara bersama dengan dunia usaha dan pemerintah. Pers sendiri bukanlah entitas yang tunggal dan homogen. Apalagi bangsa ini. Makin banyak prakarsa dari banyak elemen, makin sering ada dialog. Ini sangat penting dalam membangun fondasi yang kokoh.

Berdasar pengalaman masa lalu bangsa ini serta makin terdidiknya masyarakat, kita menjadi lebih tahu. Indonesia yang perkasa tak bisa dibangun di atas khayalan. Tapi berdasarkan realitas. Jangan biarkan negeri ini berjalan tanpa navigasi, apalagi tanpa pilot. Jika kita sering melakukan kritik bahwa Indonesia adalah negeri autopilot, maka prakarsa di Bali ini bagian dari upaya mencegahnya. Tak ada yang sia-sia dari setiap niat, apalagi sebuah langkah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement