Selasa 14 May 2013 17:06 WIB
Resonansi

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (I)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif 

Yang saya maksudkan dengan teologi dalam tulisan ini adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam Alquran banyak ayat yang menegaskan tentang keberpihakan ini. Artinya, Tuhan tidaklah netral dalam sejarah.

Tetapi, dengan kekalahan beruntun umat Islam dalam perlombaan peradaban selama rentang waktu yang panjang, apakah pemihakan itu sudah tidak berlaku lagi? Mengapa? Di sinilah pergumulan teologis dan realitas hidup itu semakin menegangkan dan sulit dipahami.

Dari sisi pihak lain, keterangan Karen Armstrong patut juga didengar. Menurut penulis perempuan Inggris ini, banyak orang Inggris tidak percaya lagi kepada Tuhan, dengan alasan Tuhan tidak berbuat sesuatu untuk menyetop Perang Dunia (PD) II yang telah membawa malapetaka dahsyat bagi Eropa itu.

Berbeda dengan orang Inggris, sepanjang pengetahuan saya, betapapun umat Islam telah mengalami kekalahan demi kekalahan, mereka tidaklah sampai meninggalkan iman mereka kepada Allah. Paling-paling sebagian mereka salah tingkah dalam menjawab tantangan yang tidak mampu dihadapi.

Mereka bahkan masih terus berdoa agar umat ini bangkit kembali dari segala macam keterpurukan dan kehinaan yang datang silih berganti. Tengoklah apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan di kawasan lain, umat Islam hidup dalam kegelisahan, ketidakamanan, dan penderitaan yang mengenaskan. Bom bunuh diri meledak di berbagai tempat. Pengungsi bertebaran di mana-mana, akibat hidup sudah tidak aman lagi.

Belum lagi bentrok sektarian antara puak Suni dan puak Syiah yang terus saja terjadi sejak ratusan tahun yang lalu di berbagai bagian dunia. Ironisnya, konflik sektarian ini sama-sama mengklaim sebagai umat beriman.

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini: kepada golongan mana pemihakan Tuhan dalam masalah konflik sektarianisme ini. Atau, memang tidak ada pemihakan itu karena masing-masing sekte sudah teramat jauh dari jalan kebenaran dan jalan ketakwaan. Yang tersisa adalah sikap saling mengklaim kebenaran tanpa kriteria yang jelas.

Apa yang berlaku di dunia Arab sejak 2010 adalah drama berdarah-darah akibat hilangnya kepercayaan rakyat banyak kepada penguasa zalim yang seagama dengan mereka. Ribuan sudah menjadi korban, di samping harta dan bangunan yang merata dengan tanah.

Kerentanan ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan Neoimperialisme Barat untuk semakin meremukkan jiwa dan tubuh umat Islam yang telah lama tak berdaya membela martabat dan hak mereka di muka bumi. Jika logika Alquran dijadikan acuan tentang intervensi Tuhan baru akan menjadi kenyataan jika umat Islam bersedia mengubah sikap mental mereka yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta, kembali ke jalan yang benar dan lurus. (Lihat QS al-Ra’du ayat 11).

Ayat ini masih sering diucapkan, tetapi apakah kita sungguh-sungguh memahami dan kemudian melaksanakannya dalam menata hubungan sesama umat Islam? Kita piawai dalam soal kutip-mengutip, tetapi hati telah lama gersang untuk menangkap maknanya yang autentik dan terdalam. Inilah yang sangat merisaukan dan mendera kita semua sampai detik ini.

Kerisauan ini merupakan derita bagi banyak penulis Muslim sepanjang abad, tetapi suasana ke arah perbaikan belum juga kunjung datang. Alangkah sabarnya para penulis ini dalam menunggu pemihakan Tuhan kepada umat ini. Umat ini sulit sekali sadar untuk mengubah kelakuan, mengubah sikap mental sebagai konsekuensi logis dari seorang yang beriman yang tulus.

Tidak jarang para penulis itu melakukan “protes” terhadap kebijakan Tuhan atas umat Islam, seperti terbaca dalam karya Iqbal Shikwa wa Jawab-i-Shikwa (“Keluhan dan Jawaban atas Keluhan) yang dibacakan pertama kali tahun 1909 di Lahore. Kita kutip satu di antaranya:

Ada umat dengan iman yang berbeda, sebagian mereka zalim.

Sebagian rendah hati; sebagian mabuk dalam semangat kesombongan.

Sebagian pemalas, sebagian dungu, sebagian punya otak,

Ratusan yang lain ada pula yang putus asa terhadap nama-Mu.

Rahmat-Mu terguyur atas rumah-rumah orang tak beriman, semuanya asing.

Hanya atas si Muslim yang papa, kemurkaan-Mu ibarat kilat yang menyambar.

(Lihat Muhammad Iqbal, Shikwa wa Jawab-i-Shikwa. Terjemahan dari bahasa Urdu oleh Khushwant Singh. Delhi: Oxford University Press, 1983, halaman 41).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement