Rabu 27 Mar 2013 06:00 WIB

'In RD We Trust'

Fernan Rahadi
Foto: Republika/Daan
Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi/Editor ROL

Jujur saja, saya awalnya merasa kecewa dengan susunan pemain yang ditampilkan pelatih Timnas Indonesia Rahmad Darmawan (RD) pada laga melawan Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Sabtu (23/3) lalu. Munculnya nama Ponaryo Astaman di lini tengah mendampingi Imanuel Wanggai sama sekali tidak saya sangka-sangka.

Padahal RD masih memiliki sejumlah nama seperti Taufiq, Ahmad Bustomi dan Firman Utina di dalam daftar 23 pemainnya yang didaftarkan untuk laga tersebut. Bahkan pemain naturalisasi Raphael Maitimo agaknya lebih pantas masuk ke dalam starting line-up ketimbang memasukkan Ponaryo yang telah memasuki usia senja, 33 tahun.

Kecurigaan adanya motif politis kemudian menyeruak ke benak saya. Jangan-jangan RD mempertimbangkan persoalan dualisme kompetisi sehingga Ponaryo yang notabene lama malang-melintang di kompetisi Indonesia Super League (ISL) lebih dipilih sebagai starter ketimbang Taufiq, Maitimo atau mungkin sang bintang Persebaya Surabaya Andik Vermansah.

"Pertimbangan saya adalah menduetkan satu pemain muda dengan satu pemain berpengalaman di lini tengah. Saya menduetkan Ponaryo yang punya pengalaman dengan Wanggai yang lebih memiliki determinasi," ujar RD dalam konferensi pers usai pertandingan.

Mendengar pernyataan itu langsung dari mulut RD juga tidak serta-merta membuat saya percaya perkataan pelatih Arema Malang itu. Jika Ponaryo dipilih berdasarkan pengalaman mengapa tidak memilih Firman yang jelas-jelas lebih lama memperkuat timnas? (Firman debut 2001, ponaryo debut 2003-red). Apalagi Firman adalah tokoh sentral saat Piala Asia 2007 silam dimana Indonesia nyaris mengimbangi Saudi, sebelum akhirnya juga kalah dengan skor 1-2 lewat gol di menit-menit terakhir.

Lalu mengapa Ponaryo? Saya baru menemukan jawabannya selang sehari usai laga tersebut, lewat pesan Blackberry Messenger-nya, seorang rekan yang kebetulan juga menonton langsung laga itu menjelaskan Ponaryo barangkali merupakan salah satu pemain dengan kinerja terbaik di lini tengah Garuda.

Keesokan harinya ulasan akun twitter @labbola mempertegas hal itu. Statistik passing Ponaryo adalah 43 dari 46 percobaan passing, atau memiliki persentase akurasi sebesar 93 persen. "Bicara per individu, untuk urusan passing catatan Ponaryo sebagai poros tengah masih yang terbaik meski performanya disorot kurang memuaskan," ujar @labbola.

Rekan saya itu kemudian juga mengatakan pemain paling fungsional dalam laga tersebut adalah Sergio van Dijk, disusul berikutnya adalah Hamka Hamzah dan Kurnia Meiga. Saya kemudian mempertanyakan pilihannya terhadap pemain naturalisasi dari Belanda itu. Bukannya pemain berjuluk SvD itu tiga kali membuang peluang emas Indonesia yang seharusnya bisa berbuah gol?

Ternyata, pilihan teman saya itu juga dibenarkan statistik. "Di barisan depan, Sergio van Dijk menunjukkan kemampuan duel udaranya yang baik dengan catatan sembilan kali berhasil dari 13 duel," kata @labbola. Hal ini luput dari perhatian saya dan bisa jadi sebagian besar penonton di GBK yang malam itu merasa kecewa dengan debut pemain Persib Bandung itu.

Saya sepakat seandainya Meiga disebut sebagai man of the match pada laga tersebut setelah berkali-kali menggagalkan tendangan sudut Saudi dan melakukan sejumlah penyelamatan krusial. Belum jika assist-nya untuk gol Boaz Solossa masuk hitungan.

Namun Hamka? Apa bagusnya bek Mitra Kukar itu? Ternyata statistik tidak hanya men-judge saat ia dan Victor Igbonefo gagal mengawal striker Saudi, Yousef Mansour, yang dengan mudah menceploskan bola ke gawang Meiga. "Di pertahanan Hamka Hamzah punya catatan bagus dengan sembilan kali intercept dan sembilan kali clearance (terbanyak untuk Indonesia))," tulis @labbola.

Soal tidak dimainkannya Andik dan juga Greg Nwokolo yang baru turun di pertengahan babak kedua ternyata teman saya itu memberikan alasan yang hampir mirip dengan RD usai pertandingan. "Ada berapa kemungkinan complete pass kalau Andik dan Greg dimainkan bersamaan? Yang ada justru angka turnover tinggi," kata teman saya itu.

Oleh sebab itulah RD lebih memilih Muhammad Ridwan, yang selain lebih lihai dalam mengumpan juga lebih berguna dalam membantu pertahanan. "Saya membutuhkan pemain yang kuat bola atas untuk mengantisipasi bola-bola mati Arab Saudi," kata RD.

Statistik pun mendukung pernyataan keduanya. @labbola menganalisa penguasaan bola timnas cukup jauh meningkat dibandingkan saat melawan Irak, yakni 42%-58% berbanding 21%-79%. Sedangkan passing berhasil dan akurasinya pun meningkat. yakni (Berhasil/Jumlah(%)) versus Irak: 144/198(72%) dan versus Arab: 290/371(78%).

Percobaan tembakan ke gawang pun meningkat seiring dengan penguasaan bola yang lebih banyak. Total percobaan tembakan saat melawan Irak adalah satu kali (1 on target). Sedangkan melawan Arab Inodnesia memiliki 11 percobaan (6 on target, 4 off target, 1 blocked).

Melihat data-data statistik tersebut membuat kekecewaan saya terhadap para pemain pilihan RD meluntur, meskipun tentu saja hal itu belum bisa menghapuskan kekecewaan saya karena kekalahan kedua timnas di kualifikasi Piala Asia 2015 tersebut.

"Dengan masa persiapan yang cukup, saya harus katakan kita masih punya kans. Syaratnya kita bersiap dengan lebih baik, dengan ujicoba-ujicoba internasional, sehingga mengembalikan kepercayaan diri pemain, menambah pengalaman pemain," kata RD ditanya tentang kans Indonesia pada partai ketiga melawan Cina 15 Oktober mendatang.

Saat ini RD telah kembali ke Arema, klub yang mengontraknya. Namun agaknya saya, selain akan lebih memperhatikan lebih detail perihal statistik pascapertandingan sepak bola, ke depannya juga ingin mencoba menonton partai skuat Merah Putih di suatu sudut tribun bersama sekelompok orang berkostum biru-biru dengan segala macam atribut Aremania.

Bersama mereka saya ingin menyanyikan chant: 'In RD we trust!' (Kepada RD kami percaya!)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement