Selasa 19 Mar 2013 20:35 WIB
Resonansi

Perginya Seorang Sahabat

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, ketua sebuah lembaga di lingkungan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendapat undangan dari Jerman untuk menghadiri pertemuan di sana. Teman ini memerlukan bantuan untuk beli tiket pergi-pulang sebesar 1.000 dolar AS. Pengusaha Deddy Julianto saya kontak jika mungkin membantu. Tanpa banyak bertanya, langsung dijawab oke.

 

Pengalaman lain banyak sekali untuk dicatat dalam perkara bantu-membantu ini. Pak Deddy adalah seorang pengusaha nyah-nyoh (suka memberi) terhadap siapa saja yang memerlukan bantuan, termasuk membatu panti asuhan di Jawa Tengah.

 

Entah sudah berapa ratus juta yang dikeluarkan untuk kepentingan sosial. Kadang-kadang juga di bantunya anak-anak muda yang terlibat dalam pem bentukan partai politik, sekalipun mereka berujung pada kegagalan. Anak-anak muda yang punya ambisi politik ini pada umumnya hanya punya modal idealisme, sedangkan modal ekonomi hampir tidak mereka miliki.

 

Akibatnya, mereka sering terombang-ambing menghadapi realitas politik yang ganas, akibat selera dan gesekan kepentingan para pemodal. Saat saya tidak lagi duduk di jajaran PP Muhammadiyah pada Juli 2005, Pak Deddy langsung menawarkan agar mau tinggal di apartemen bila ada keperluan ke Jakarta, tidak lagi lingkungan kantor PP Muhammadiyah di kawasan Menteng Raya. Maka, kemudian didapatlah sebuah apartemen di Taman Rasuna, Kuningan.

 

Semula disewa di lantai 19, kemudian malah dibelinya yang berada di Tower 2 Lt 10B yang saya tempati sampai hari ini jika ke Jakarta. Semua biaya adalah tanggungan sahabat kita ini. Pernah saya mau pindah ke kantor Maarif Institute di kawasan Tebet, Pak Deddy tetap saja menyarankan agar tetap saja di Kuningan.

 

Saya tidak tahu mengapa perhatian Pak Deddy atas diri saya demikian besar, padahal untuk sekadar tinggal selama satu atau dua hari di Jakarta dengan kekuatan sendiri masih mungkin.

 

Bukan saja Pak Deddy, anak sulungnya Defy dan sopirnya Gazali turut pula peduli dalam mengurus saya. Saya tidak mungkin membalas jasa keluarga ini yang telah berbuat baik selama bertahun- tahun kepada saya.

 

Tidak hanya sampai di situ. Pernah pula saya di beri kartu kredit BNI yang boleh digunakan untuk keperluan transaksi keuangan, termasuk untuk beli tiket pesawat, sekalipun saya tidak sampai hati menggunakannya. Mungkin karena tidak pernah dimanfaatkan itu, setelah dua tahun tidak diperpanjang lagi.

 

Cobalah Anda bayangkan, betapa Pak Deddy "memanjakan" saya, yang tidak punya pertalian darah apa pun. Ada ketentuan di BNI, kartu kredit hanya diberikan kepada orang yang berusia di bawah 60 tahun, padahal saya ketika itu sudah kepala tujuh. Karena Dirut BNI adalah teman dekatnya, kartu itu diberikan juga.

 

Kini sahabat saya ini setelah operasi jantung by-passdi RS Harapan Kita pada 13 Maret, hari berikutnya sekitar pukul 11.40 WIB telah dipanggil Allah SWT untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, semoga husnul khatimah, amin.

 

Pak Deddy punya jaringan yang luas, baik dengan sesama pengusaha, lintas agama, para jenderal, maupun dengan politikus dan anak- anak muda. Sebagai alumnus PII (Pelajar Islam Indonesia) dengan tempaan semangat perjuangan yang kental, Pak Deddy punya kepedulian sangat tinggi terhadap masalah-masalah bangsa dan negara.

 

Mungkin pada sisi inilah pandangan Pak Deddy dan pandangan saya bertemu pada suatu titik, sekalipun tidak ba nyak yang dapat disumbangkan untuk kepentingan bangsa dan negara yang sarat beban ini.

 

Sahabat dekatnya banyak sekali, diantaranya, Ir Salahuddin Wahid dan Dr dr Wahyu Kasih SH MH. Untuk Pak Salahuddin, tidak perlu dikomentari lagi karena sudah sangat terkenal.

 

Tetapi, buat Bung Wahyu, catatan apresiatif perlu ditambahkan dalam kaitannya dengan Pak Deddy dan dunia pendidikan. Sebagai seorang pengusaha yang berhasil, Bung Wahyu, seorang penganut agama Buddha berasal dari Kalimantan, telah sejak lama mengembangkan STIE Kasih Bangsa di kawasan Kebon Jeruk, sebuah sekolah setengah gratis untuk mahasiswa yang serba kekurangan.

 

Pak Deddy dan saya telah diminta untuk duduk sebagai pembina kehormatan bagi sekolah ini. Hebatnya, belum lagi rampung kuliah, mahasiswa STIE telah diserap dunia kerja. Pekerjaanlah yang mencari mereka, bukan sebaliknya.

 

Selama Pak Deddy dirawat sampai dioperasi, Bung Wahyu telah terlibat secara kejiwaan dalam menunggui sahabat kita ini. Dalam proses pemakaman menjelang shalat Jumat, 15 Maret, di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, saya perhatikan betul wajah Bung Wahyu yang menanggung perasaan berat melepas sahabat kami ini. Selamat jalan Pak Deddy Julianto, semoga dalam perjalanan di alam sana, semuanya berjalan lancar di bawah naungan rahmat, ampunan, dan  keridaan Allah. Dan kepada keluarga yang ditinggal diberikan-Nya ketabahan, kesabaran, dan ketegaran dalam menghadapi musibah kematian yang tidak ringan ini. Kita semua pasti menyusul, cepat atau lambat!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement