Sabtu 16 Mar 2013 08:46 WIB
Resonansi

Piala Masa Depan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Asma Nadia

“Berapa piala yang pernah Bunda dapatkan waktu kecil?” Pertanyaan itu muncul saat Adam, bungsu kami, semangat menyiapkan diri untuk lomba pidato di sekolahnya. Ia latihan pagi, siang, malam. Di rumah, lapangan sepak bola, juga dalam perjalanan pergi dan pulang sekolah.

Kabarnya, guru-guru memuji pidato Adam yang menurut mereka unik, lucu, informatif, dan menarik karena didukung presentasi yang tidak biasa.

Pertanyaan itu belum sempat saya jawab sebab tenggelam oleh kegembiraan karena Adam kemudian terpilih mewakili sekolah pada lomba pidato yang sama tingkat Kota Depok.

Anehnya, lomba pidato diawali dengan babak seleksi di mana anak-anak harus menulis isi pidatonya. Waktu mendengar hal ini muncul keheranan, apakah yang sebenarnya ingin dinilai juri? Sebab, menulis dan berpidato adalah dua hal berbeda.

Pulang lomba, wajah anak itu terlihat lemas karena tidak lolos. Juri hanya memanggil peserta berdasarkan tulisan terbaik. Adam kalah lomba pidato, bahkan sebelum sempat berbicara. Meskipun sejak kecil, bocah yang juga penulis-sebagaimana kakaknya-dikenal sebagai motivator cilik yang sering diundang ke berbagai daerah menyemangati anak-anak untuk berprestasi.

Kembali ke lomba yang diikuti Adam, beredar kabar dari sumber yang bisa dipercaya bahwa salah satu pemenang adalah anak seorang juri (semoga ia menang karena kualitas dan bukan karena hal lain). Terlepas dari keanehan teknis lomba dan lain-lain, saya membesarkan hati si bungsu. Saya jelaskan, 'piala' bukan satu-satunya tujuan dalam sebuah pertandingan. Bahwa bunda mereka dulu bahkan tidak pernah memperoleh piala satu pun.

“Kok bisa?” Ini pertanyaan berikut. Sebab, mereka tahu ada satu-dua kali saya memenangkan lomba ketika kecil. Saya baru akan menjelaskan, tapi terpotong telepon seorang sahabat yang curhat tentang anaknya yang baru saja kalah lomba berpidato karena tidak menyetorkan teks naskah kepada juri.

Saya mengerutkan kening. Semestinya untuk lomba pidato, yang terpenting adalah isi dan bagaimana pidato dibawakan, tidak masalah bahkan jika tanpa naskah. Terbuka ruang untuk improvisasi dan spontanitas sebagaimana yang dilakukan ananda tersebut. Kelebihan yang membuat si anak kalah. Meski nilainya termasuk paling tinggi dan masuk tiga besar jika nilai teks pidato tidak diperhitungkan.

Dalam ajang lain, seorang anak menerima pengakuan juri seusai pengumuman pemenang bahwa pidatonya yang sangat bagus bisa menang seandainya lebih panjang 30 detik, hingga mencapai waktu lima menit yang disyaratkan. Sesuatu yang sebenarnya tidak esensial jika dibanding kualitas dan cara berpidato.

Di luar aturan teknis yang terkesan kaku, dalam sebuah perlombaan, selera, dan wawasan juri berbicara. Juga kompetensi. Beberapa remaja pernah dikecewakan ketika lomba Palang Merah Remaja (PMR). Meski telah berlatih menerangkan prosedur penanganan pertolongan pertama dengan cepat, ketika lomba, sang juri-seorang mahasiswa-dengan alasan tidak konsentrasi, berkali-kali meminta mereka mengulangi kalimat. Akibatnya, adik-adik remaja ini kehabisan waktu untuk menerangkan seluruh prosedur.

Saya paham, peserta yang biasa tampil bagus saat perlombaan, kadang kala layak kalah, termasuk Adam ataupun anak-anak yang disebutkan di awal. Lomba sendiri merupakan latihan bagi mereka untuk berani tampil dan berekspresi di depan umum. Dan, itu penting untuk proses pembelajaran hidup.

Ketika mereka memprotes para juri, saya meluruskan bahwa sesuatu sering tidak berjalan atau sesuai dengan standar yang diinginkan. Tidak selamanya yang terbaik menang, tidak selamanya yang bekerja lebih keras mendapat lebih. Di dunia ini ada yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, inkonsistensi, ketidakprofesionalan, dan berbagai keburukan lebih besar yang akan mereka hadapi. “Jadi, karena itu Bunda tidak dapat piala?”

Sebuah senyum meledek menghiasi wajah Salsa, si kakak. Percakapan kembali ke titik awal. Untuk alasan yang tidak saya mengerti, sepertinya panitia lomba yang saya ikuti dulu, selalu tidak memiliki cukup piala. Ketika saya menang juara harapan lomba baca puisi se-Jakarta Pusat, piala hanya tersedia sampai dengan juara ketiga. Ketika saya menang juara kedua, piala hanya tersedia untuk juara pertama.

Anak-anak melongo, memandang beberapa penghargaan yang kemudian hari diterima bunda mereka. Alhamdulillah. Allah Maha Melihat usaha hamba-Nya. Bukan piala, melainkan berikhtiar untuk menjadi yang terbaik merupakan proses yang menentukan di masa depan.

Jika sudah berusaha maksimal, tapi tetap kalah, hanya dua pilihan. Evaluasi, jika dikalahkan oleh yang lebih baik, karena itu pertanda latihan yang dilakukan belum maksimal. Jika dikalahkan oleh peserta yang tidak lebih baik, santai saja. Tahu-tanpa perlu menjadi sombong-bahwa kita lebih baik dan percaya pada akhirnya yang lebih baik akan menang. Mungkin tidak di lomba tersebut, tetapi pada kesempatan lain.

Dengan dukungan orang tua, anak-anak yang kalah lomba tetap bisa melanjutkan kehidupan tanpa beban. Ada banyak anak yang berlatih keras tampil bagus, tapi kalah karena kesalahan juri atau sistem lomba yang tidak tepat, harus menanggung lebih banyak akibat yang beberapa di antaranya tak berkorelasi dengan lomba itu sendiri.

Karenanya, semua pihak harus berusaha yang terbaik. Tidak boleh bersikap asal dengan kesungguhan anak-anak mengikuti lomba. Jika tidak serius, lebih baik perlombaan tidak usah diadakan, tidak usah menjadi juri. Karena anak-anak sudah punya masalah dalam kehidupan mereka.

Sementara itu, penting bagi orang tua dan pendidik yang mungkin sering diminta menjadi juri untuk bertindak profesional. Sebab, tahapan kehidupan anak-anak saat ini, mungkin saja menjadi titik paling menentukan yang memengaruhi pencapaian mereka pada masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement