Rabu 13 Mar 2013 08:21 WIB
Resonansi

Mulia-Hina Jabatan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Kedapatan bermain golf ketika terjadi pemogokan buruh, (mantan) menteri Tenaga Kerja Korea Selatan menuai kritik publik yang pedas. Tanpa menunggu pembuktian kesalahannya secara legal-formal, ia pun secara sukarela meletakkan jabatan.

Bermain golf memang bukanlah suatu pilihan yang salah, apalagi ia pun tidak menyadari akan adanya pemogokan buruh. Secara legal-formal tidak ada hal yang ia langgar yang memaksanya harus mundur. Tetapi, ia sadar bahwa jabatan publik adalah suatu amanah-kepercayaan publik.

Bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang pejabat harus mundur, tetapi juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan merawat keperayaan publik ini tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, melainkan bisa juga karena kelalaian atau bahkan kesialan.

Publik di sini tidak selalu identik dengan rakyat seluruhnya. Ruang publik merupakan ranah diskursif, tempat opini kritis diungkapkan. Seorang pejabat boleh jadi dipilih oleh mayoritas rakyat, tetapi, dalam banyak kasus, bisa jatuh karena opini publik segelintir orang.

Tentu tidak semua kritik publik harus dijawab dengan pengunduran diri. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, “Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Atas dasar itu, pejabat negara harus memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal. Secara internal, ia harus jujur pada hati-nuraninya sendiri; secara eksternal, harus mampu membaca ayat-ayat publik untuk bisa menakar otentisitas aspirasi massa kritis. Dengan itu, ia bisa menentukan jenis kelalaian dan tuntutan publik seperti apa yang sepantasnya direspons dengan meletakkan jabatan.

Dengan kepekaan etis seperti itu, keputusan mengundurkan diri tidaklah perlu diratapi sebagai pertanda kekalahan atau kehinaan, sebaliknya merupakan pertanda kemuliaan budi-pekerti. Bagaimanapun, menjadi pejabat tinggi, dalam bahasa Wakil Presiden Boediono, adalah suatu “dedikasi kepada bangsa dan negara”. Oleh karena itu, pusat perhatiannya bukanlah pada kepentingan diri sendiri, melainkan pada kemaslahatannya bagi bidang pengabdian. Tidak sepantasnya jabatan dipertahankan, dengan dalih pengabdian, sekiranya hal itu justru berdampak negatif bagi pemerintahan dalam upayanya memulihkan kepercayaan publik. Seperti kata Lord Acton, “There is no worse heresy than that the office sanctifies the holder of it.”

Jabatan bukanlah segala-galanya. Jika masih dipercaya mengembannya, tunaikanlah secara bertanggung jawab; jika sudah tak dipercaya, lepaskanlah dengan penuh tanggung jawab. Meletakkan jabatan secara elegan, tanpa perlu menunggu prosedur formal atau ongkos sosial-politik yang mahal adalah bagian dari tatakrama demokrasi.

Dalam hal ini, demokrasi Indonesia kontemporer bukannya tak ada contoh. Setelah Pidato Pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR, ia mengundurkan diri dari pencalonannya dalam pemilihan presiden. Akbar Tanjung mencoba membujuknya dengan menjanjikan untuk mengonsolidasi suara Golkar. Habibie tetap bergeming, dengan alasan bahwa rakyat sudah tidak mempercayainya. Padahal, sekiranya ia tetap bertahan, mungkin saja memenangkan pemilihan.

Tetapi, apalah artinya mempertahankan jabatan jika hal itu menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan serta menyulitkan pemulihan kepercayaan publik pada pemerintah. Di sinilah kualitas kenegarawanan seseorang diuji, sosok demokrat seseorang dibuktikan.

Tes terakhir seorang negarawan demokrat (di Indonesia) bukanlah dalam kesediaan untuk memangku jabatan, melainkan kesediaan untuk meletakkan jabatan. Di sini, problem utama kenegaraan terletak pada surplus para pemburu jabatan. Jabatan dicoba diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, yang merusak tatanan kenegaraan dan demokrasi. Hanya sedikit perkeculian orang yang memiliki jiwa asketis, yang tidak tergoda kekuasaan atau bisa mengendalikan diri secara etis dalam meraih kekuasaan serta mau melepas jabatan secara sukarela.

Intelektual dalam kekuasaan dituntut memberikan keteladanan di tengah kegersangan etis jagad politik Indonesia. Dalam perspektif Weberian, kaum intelektual diidealkan mampu mempertahankan jarak dan perspektif kritisnya terhadap kekuasaan. Namun, keterlibatan intelektual dalam dunia politik dan pemerintahan bisa ditolelir sejauh mampu mempertahankan otonomi individunya untuk tidak terperosok dalam keguyuban malpraktik politik dan menjaga agar dunia politik tidak menjadi kuburan bagi nilai-nilai etis dan kebebasan individu.

Penguatan etika politik merupakan pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia. Masalah korupsi dan kelemahan pertanggujawaban publik di negeri ini bukanlah karena defisit hukum, tetapi terutama karena erosi etika politik. Padahal, etika politik inilah yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, seperti kata Paul Ricoeur, etika politik merupakan kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.

Dalam panggung politik saat ini, klaim-klaim etis sering dipakai untuk memojokkan pihak pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsyafi kelalaian etis pejabat negara sendiri. Loyalitas partai-partai koalisi ditutuntut dengan klaim etis, tetapi melupakan prinsip etis yang paling fundamental menurut demokrasi konstitusional, bahwa loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum. Gotong-royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan dan keburukan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement