Selasa 19 Feb 2013 06:56 WIB
Resonansi

Menggali Makam Ibu

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Resonansi kali ini sangat pribadi sifatnya, tetapi sebagian pembaca mungkin telah mengalami pula kejadian yang mirip, atau bahkan lebih berat. Demikianlah, saat saya berusia 18 bulan pada tahun 1937, ibu wafat, sehingga bagaimana wajah dan perawakannya tak terbayangkan sama sekali. Usianya ketika itu baru sekitar 32 tahun, tanggal kelahiran yang pasti tidak diketahui, mungkin sekitar 1905.

Saya adalah anak bungsu di desa tersuruk dari empat bersaudara. Sekarang semua kakak telah wafat dalam usia yang bervariasi. Adalah sebuah kelalaian yang patut disesali, ketika ayah dan kakak-kakak masih hidup, saya tidak bertanya kepada mereka tentang ibu yang wafat muda itu. Yang sangat dirasakan, semakin lanjut batang usia ini, kerinduan kepada ibu semakin dalam tak terukur. Kata orang ibu saya cukup modern di zamannya. Jika berpergian agak jauh suaminya menyediakan seekor kuda tunggangan untuknya.

Cerita dari orang-orang yang pernah mengenalnya, ibu saya itu cantik sekali. Tuan dan puan bisa bayangkan, di lingkungan Desa Sumpur Kudus (Sumatra Barat) yang sangat terpencil dan miskin itu sudah ada empat perempuan yang naik kuda bila bepergian. Ibu saya adalah salah seorang dari mereka itu. Siapa yang tidak bangga dengan fakta ini, sementara sebagian besar perempuan masa itu buta huruf belaka.

Agama mengajarkan agar seorang anak tidak lupa mendoakan kedua orang tuanya, baik saat masih hidup, apalagi bila sudah wafat. Saya melakukan itu semua, sekalipun doa itu tidak selalu dalam suasana khusyuk, tergantung pada kualitas iman pada saat-saat tertentu. Saya merasakan benar bahwa iman itu turun naik. Ada saatnya meningkat, ada pula saatnya merosot. Kata hadis, iman itu bertambah dan berkurang. "Al-iman yazid wa yanqush."

Demikianlah, di waktu Subuh bulan Januari 2013, ke dalam otak dan hati saya melintas keinginan yang sangat kuat untuk menggali dan memindahkan makam ibu dari lokasi yang penuh semak dan pohon karet itu ke pekarangan rumah milik ibu dan ayah agar mudah diziarahi. Realisasi keinginan kuat ini telah menjadi kenyataan pada hari Jumat, 15 Februari 2013. Ada dua makam yang perlu dipindahkan: ibu dan kakak yang wafat 33 tahun yang lalu. Dalam proses penggalian itu, saya sungguh bersyukur kepada Allah karena gotong royong masyarakat sekitar luar biasa mengagumkan. Hanya dalam tempo tiga jam empat puluh lima menit, penggalian dan pemindahan rampung semuanya dengan sempurna.

Kejadian yang meluluhkan batin saya adalah saat serpihan kecil tulang ibu ditemukan yang sekaligus memberi petunjuk tentang keberadaan orang yang saya rindukan sepanjang hayat itu akan menjadi kenyataan dalam tempo singkat. Secara berangsur, satu persatu kerangka ibu terkuak, termasuk tengkorak.

Alangkah terkejut, tetapi bangga sambil air mata meleleh tak tertahankan, menyaksikan gigi ibu masih utuh, tak satu pun yang rontok, sekalipun ada yang goyah. Gigi itu bersih dan rata, seperti sikat rambut. Tetapi rambut tak lagi dijumpai. Rupanya sudah hancur, entah beberapa tahun yang silam. Tulang kaki dan tangan masih ada. Maha Besar Allah dengan segala kekuasaan-Nya yang tanpa batas itu.

Sekarang ibu dan kakak sudah menyatu dalam sebuah liang lahat. Ibu di bagian dalam, kakak di sebelahnya. Aduh, pada akhirnya saya bertemu dengan ibu yang sudah jadi kerangka itu. Sudah berada dalam makam selama 75 tahun. Terima kasih, ya Allah, dengan segala rahmat dan kurnia Engkau yang luar biasa tak bertepi.Ya Allah, mohon diampuni segala dosa dan kekurangan ibu-ayahku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement