Kamis 07 Feb 2013 07:00 WIB

Senja Kala Partai Islam?

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Penahanan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) oleh KPK pada akhir Januari 2013 karena dugaan terlibat suap bersama tiga tersangka lain sedikit banyak telah mengakibatkan merosotnya citra partai Islam ini. Memang, PKS dengan sigap mengganti presidennya; tetapi damage has been done. Apalagi, dengan pernyataan pimpinan PKS yang menyatakan penahanan tersebut sebagai “konspirasi” belaka.

Pembelaan diri PKS semacam itu dipandang banyak kalangan sebagai kontraproduktif untuk memulihkan citra dirinya. Meski PKS kini memiliki presiden baru Anis Matta, persoalan internal partai tampaknya masih jauh dari selesai. Terdapat kalangan internal sendiri, seperti Yusuf Supendi-salah satu pendiri PKS yang kini sudah tidak lagi berada dalam partai Islam ini-yang mempersoalkan integritas Anis Matta dan sejumlah petinggi PKS lainnya.

Di luar PKS sendiri pasti lebih banyak lagi yang berpandangan sama. Karena itu, banyak kalangan memprediksi, PKS tidak bakal mampu mencapai targetnya dalam Pemilu 2014 menjadi salah satu dari tiga partai yang akan memperoleh suara terbanyak. Bahkan, tanpa kasus LHI sekalipun, sangat meragukan PKS bisa meningkatkan perolehan suara sebanyak 7,88 persen pada Pemilu 2009.

Bisa bertahan saja dengan hasil Pemilu 2009 itu pada Pemilu 2014 bisa dibilang luar biasa. Sebagai indikator saja, hasil survei SMRC pekan ini menyebut, PKS bakal memperoleh hanya 2,7 persen-sangat anjlok. Masalah yang dihadapi PKS belakangan ini jelas memupus harapan kalangan Muslim yang ingin parpol Islam mendapatkan suara lebih signifikan pada Pemilu 2014.

Selain PKS, masih ada satu parpol Islam lain, yaitu PPP yang dalam Pemilu 2009 memperoleh suara di bawah PKS sebanyak 5,32 persen. Menurut survei SMRC, PPP bakal mendapat suara 4,1 persen saja dalam Pemilu 2014. Kedua partai ini merupakan parpol Islam par-excellence karena masing-masing berasaskan Islam.

Jelas, perolehan suara kedua parpol Islam tersebut dalam Pemilu 2009 dan prediksi survei akhir-akhir ini hanya mampu mendapat suara jauh lebih rendah dibanding parpol, semacam Partai Golkar dan PDIP. Karena itu, banyak kalangan publik menganggap kasus PKS bersikutan dengan kinerja PPP yang belum menunjukkan peningkatan sebagai senja kala parpol Islam.

Di luar PKS dan PPP, masih ada dua parpol lain yang sering dianggap sebagai “parpol Islam”, yaitu PAN dan PKB yang dalam Pemilu 2009 masing masing mendapat 6,01 dan 4,94 persen. Anggapan ini keliru karena keduanya berdasarkan Pancasila, bukan Islam.

Paling banter, keduanya hanya bisa disebut sebagai parpol “berbasis massa ormas Islam” (Muslim-based political parties) yang kini justru kian menjauh dari basis massa tersebut. PAN kian renggang dari massa Muhammadiyah, sedangkan PKB hanya dapat menyerap sebagian kecil suara kaum Nahdliyyin. Massa kedua ormas Islam terbesar itu, selain karena telah memutuskan keterlibatan dalam politik parpol dan kekuasaan, juga sebab massanya terekrut atau memberikan suara kepada parpol-parpol lain.

Perenggangan politik (political disengagement) massa ormas-ormas Islam dengan parpol-termasuk parpol Islam, banyak terkait dengan merosotnya citra parpol Islam itu sendiri. Seperti juga banyak parpol lain, parpol Islam masih bergulat dengan banyak masalah sejak dari kurangnya kepemimpinan dengan integritas kuat, faksionalisme internal, lemahnya SDM dan keuangan, serta kegagalan memperjuangkan kepentingan umat dan publik secara keseluruhan.

Akibatnya, kian banyak pemilih Muslim mengambang (floating) dan swinging beralih kepada parpol lain dalam memberikan suaranya. Faktor lain yang tidak kurang penting dalam kaitan dengan kemerosotan popularitas parpol Islam adalah peningkatan pendidikan dan sosioekonomi umat dalam tiga dasawarsa terakhir.

Meningkatnya pendidikan umat menambah jumlah kelas menengah Muslim yang perilaku politik dan voting behavior-nya amat dipengaruhi pertimbangan isu, program, dan kinerja parpol dapat memperbaiki keadaan negara-bangsa Indonesia.

Bagi kelas menengah Muslim, parpol Islam mestinya berdiri di depan untuk membenahi keadaan Indonesia yang masih sangat kacau dan carut-marut, semacam korupsi yang kian merajalela, penegakan hukum yang lemah dan inkonsisten, konflik komunal laten, dan masih merajalelanya kemiskinan dan pengangguran.

Jika parpol Islam tidak memedulikan masalah-masalah ini dan bahkan terlibat di dalamnya, seperti korupsi, bisa dipastikan banyak kalangan kelas menengah Muslim menghindari diri untuk mencoblos parpol yang berasas Islam sekalipun. Sikap kelas menengah Muslim tersebut tidak lepas dari sosiologi politik keagamaan Indonesia yang telah berubah sejak 1990-an dengan lenyapnya “politik aliran”.

Meski terlihat peningkatan semangat dan ekspresi keislaman secara signifikan, kian banyak kalangan Muslim yang tidak lagi melihat parpol sebagai wahana dan lokus perjuangan ideologis. Di sinilah mereka melihat parpol Islam telah kehilangan relevansinya.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement