Kamis 31 Jan 2013 14:13 WIB

Banjir dan Climate Change

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Banjir dan Climate Change Banjir. Hujan dan banjir Jakarta sejak awal Januari 2013 agaknya merupakan banjir terbesar sepanjang ingatan dan rekaman BMKG.

Meski curah hujan pada awal 2013 jauh lebih sedikit dibanding banjir besar Jakarta 2007, banjir yang terjadi belakangan ini jauh lebih masif dengan cakupan wilayah terkena bencana dan korban harta benda serta jiwa yang juga kian banyak.

Dengan kecenderungan seperti itu hampir bisa dipastikan, banjir kian besar mengancam dari waktu ke waktu. Faktor meningkatnya gejala tidak menggembirakan ini juga banyak terkait climate change secara global. Pada tingkat nasional, sumber bencana itu, antara lain, kebijakan dan program pemerintah terlihat tidak sungguh-sungguh menangani banjir, tambahan lagi pembangunan gedung dan perumahan yang kian menghabisi ruang hijau dan lahan penyerapan air.

Tidak kurang pentingnya, banyak pula terkait dengan gaya hidup banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki kepedulian pada lingkungan hidup dan ekologi yang sehat. Tetapi jelas, perubahan iklim yang dalam dasawarsa terakhir kian terlihat dalam berbagai bentuk di hampir seluruh bagian dunia. Di Indonesia, gejala perubahan iklim, selain banjir yang kian mewabah juga adalah musim kemarau yang kian kering dan lebih panjang.

Banjir dan kemarau panjang menimbulkan banyak korban sosial-ekonomi, harta benda, dan jiwa. Sementara itu, di bagian dunia lain, seperti Australia, suhu panas sekarang mencapai lebih 45 derajat Celsius sehingga juga menimbulkan kebakaran liar (wildfires) di mana-mana. Pada saat yang sama kawasan utara Bumi mengalami musim salju kian tebal--lebih daripada biasanya.

Tetapi, dalam tahun-tahun terakhir di banyak negara Eropa Utara dan Amerika Utara tidak ada salju pada akhir Desember dan Januari. Di musim dingin kadang-kadang temperatur malah hangat, lazim disebut Indian summer. Jadi, perubahan iklim bukan lagi sekadar teori dan wacana. Tetapi, sudah hadir di hampir setiap lingkungan kehidupan, termasuk Indonesia.

Bagaimana langkah meresponsnya sudah banyak dianjurkan berbagai lembaga dan pakar yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan pemanasan (dan juga pendinginan) global. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas mutlak penduduknya beragama Islam, sepatutnya kaum Muslimin memainkan peran lebih aktif mengantisipasi dan merespons perubahan iklim dengan berbagai bentuk dampaknya.

Secara normatif, misalnya, Islam sangat menekankan penyelamatan lingkungan dan ekologi. Misalnya, di dalam Alquran terdapat sekitar 1.500 ayat tentang alam, bumi, dan lingkungan hidup lainnya. Juga, terdapat banyak hadis mengenai subjek ini. Kerangka doktrinal normatif Islam tersebut tentu saja merupakan panduan penting bagi kaum Muslimin untuk ikut dalam merespons perubahan iklim, pemanasan, dan pendinginan global.

Namun sayang, tidak banyak kaum Muslimin yang menyadari--apalagi memahami dan melaksanakan ajaran normatif Islam--dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya adalah ekologi dan lingkungan hidup kaum Muslimin paling rusak dibandingkan dengan wilayah atau negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Kerusakan lingkungan hidup di Dunia Muslim, terutama terkait kemiskinan, terjadi banyak negara berpenduduk mayoritas Islam di Asia Selatan dan Afrika.

Akibatnya, kebanyakan masyarakatnya hidup dalam ekologi yang sangat rusak dan tidak sehat. Selain itu, karena kebijakan pembangu- nan yang pada prakteknya hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan sumber daya lingkungan, seperti yang terjadi Indonesia.

Memang ada upaya penyelamatan ekologi, tetapi pembalakan liar dan penambangan batu bara serta tambang lainnya yang sangat merusak terus berlanjut. Sekali lagi, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, seyogyanya para ulama, pemimpin umat, ormas, dan lembaga Islam lainnya lebih berperan aktif merespons masalah perubahan iklim yang dapat menjadi katastropi bagi alam dan makhluk Allah.

Suara mereka tentang hal urgen ini tidak sering terdengar dan sayup-sayup sampai. Dan, ini sejalan dengan kesepakatan para pemimpin Kristianitas, Islam, Hinduisme, Buddhisme, dan Sikhisme dalam Deklarasi Antaragama tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen pada 2009.

Mereka sepakat untuk meningkatkan peran agama dalam penyelamatan ekologi. Selain itu, semakin banyak pula pemimpin dan pemuka aga ma yang mengembangkan green religion dan eco-theologydalam konteks agama masing-masing.Ulama dan pemikir Islam dapat pula mengembangkan tidak hanya green reli- giondan ecotheology, tetapi juga ecofiqh.

Ijtihad dalam ketiga bidang ini niscaya dapat menjadi pedoman dan bimbingan tidak hanya bagi penyelamatan ekologi, tapi juga bagi masa depan Indonesia.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement