Sabtu 19 Jan 2013 08:36 WIB

Berani Berkata Tidak

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Berapa banyak kesulitan hidup bermula akibat ketidakberanian kita berkata tidak? Ketika berkunjung ke rumah seorang bibi, saya terkejut melihat sebuah mesin cuci yang baru mereka beli dengan harga Rp 9 juta, terpasang di sudut belakang rumah. Yang membuat kaget adalah karena saya tahu betapa keluarga bibi sangat sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi sanggup membeli sebuah mesin cuci yang harganya berkali-kali mencapai sembilan kali lipat dari harga biasa.

Selidik punya selidik, ternyata mereka memaksakan diri untuk membeli mesin cuci itu dengan mencicil selama satu tahun. Berawal dari munculnya seorang //sales// yang meminta izin untuk memperagakan mesin cuci. Dengan gigih dicampur suara memelas, sales tersebut beberapa kali memohon agar diizinkan dengan alasan supaya tidak kehilangan pekerjaan dan bahwa tidak ada keharusan bagi tuan rumah untuk membeli.

Didorong perasaan tidak tega, sang bibi mengizinkan. Singkat cerita, setelah sekian lama mencoba dan menunjukkan kualitas mesin, sang //sales// --dengan sedikit memaksa-- akhirnya menawarkan harga fantastis Rp 9 juta dengan iming-iming mesin kuat sampai 10 tahun. Sekalipun bibi tahu harga yang ditawarkan terlalu mahal, namun perasaan tidak enak kemudian lebih mendominasi.

Ia merasa sales tersebut sudah repot-repot membawa kemudian memperagakan mesin tersebut hingga cukup membuang waktu. Meski setengah hati, akhirnya bibi setuju menandatangani perjanjian jual beli dan terpaksa menderita cicilan 12 bulan untuk sebuah mesin yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan bisa digantikan dengan mesin lain yang jauh lebih murah dan tentu saja sangat terjangkau oleh kemampuan Bibi. mesin lain yang seperdelapan kali lebih murah.

Cerita saudara saya lain lagi. Di sebuah mal ia diajak untuk mencoba sebuah kursi pijat, gratis. Ketika duduk di sofa yang nyaman, tangan dan kakinya dipijat. Anak-anaknya ikut bolak-balik mencoba kursi pijat lain yang kosong. Ujung-ujungnya ia ditawarkan harga kursi pijat yang mencapai belasan juta. Tentu saja kursi tersebut bukan kebutuhan, bahkan sebelumnya tidak menjadi sebuah keinginan.

Tetapi, perasaan tidak enak, apalagi mengingat anak-anak sudah telanjur mencoba berbagai alat yang ada, akhirnya ia memilih sebuah alat pijat termurah di sana yang harganya sekitar 2 juta, meski tidak diperlukan. Manipulasi marketing seperti ini tidak hanya di Tanah Air. Seorang kenalan bersama rombongannya yang sedang berada di Cina, setelah berjalan-jalan mampir di sebuah rumah peristirahatan yang menyediakan pijat gratis, yang memang banyak terdapat di sana.

Mereka datang dengan bus besar berpenumpang lebih dari 50 orang. Untuk menyambut rombongan tersebut, sudah tersedia sebuah ruang besar dengan sofa nyaman berbaris yang siap menghilangkan lelah. Tidak berapa lama kemudian datang sekitar lima puluh pemijat dengan baskom berisi air hangat dan handuk, langsung melayani seisi rombongan dengan memberi pijatan gratis.

Sejurus kemudian mereka ditanyakan apakah ada yang ingin diperiksa kondisi kesehatannya oleh dokter gratis. Tanpa berpikir, tentu saja banyak yang menunjuk tangan. Maka beberapa dokter pun datang dan menyentuh pergelangan tangan, lalu dengan cepat menyampaikan hasil prediksi penyakit yang diderita. Cukup akurat dan meyakinkan, tetapi setelah itu ia pun menuliskan resep tradisional obat yang harganya mencapai belasan juta rupiah.

Sang dokter meyakinkan betapa bagusnya obat-obatan Cina yang direkomendasikan dan besarnya risiko jika penyakit yang diderita tidak diatasi. Ketika ada yang berkelit dengan mengatakan tidak memegang uang tunai, dengan sigap para dokter akan menenangkan, untuk tidak usah khawatir sebab tersedia layanan pembayaran dengan kartu kredit.

Demikianlah strategi marketing mereka. Kenalan saya dan rombongannya tidak bisa dengan cepat lari atau meninggalkan ruangan karena sepatu sudah dibuka dan kaki dipegang pemijat. Maka jutaan uang keluar untuk sesuatu yang awalnya tidak merupakan sebuah kebutuhan. Beberapa ilustrasi di atas benar terjadi dan hanya sepenggal dari begitu banyak kisah mereka yang terjebak sistem marketing yang memanfaatkan rasa tidak enak, malu, atau gengsi sebagai strategi penjualan.

Bagaimana cara melepaskan diri dari hal ini? Jurusnya sebenarnya sederhana. Jika mereka tidak peduli dan bahkan tak sungkan memanipulasi perasaan bersalah calon pelanggan, lalu mengapa kita harus merasa tidak enak? Kuatkan hati, nyamankan saja ketika berkata, “Terima kasih!” sebelum kemudian pergi secepatnya dari lokasi.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement